From: bagus fathi
Subject: Sebuah Agama Bernama Cinta
Date: Saturday, June 6, 2009, 12:37 PM




  Banyak yang menganggap sumbangan terbesar Rumi pada agama 
  adalah aliran sufi Mawlawiyah dan tarian berputar yang seperti 
  gasing. Sesungguhnya aliran Rumi jauh lebih agung dari itu. 
  Fanatisme cinta berbeda dengan agama lain.
  Fanatisme cinta adalah terhadap Yang Maha Cinta
  Tujuan pecinta bukan seperti tujuan lain
  Cinta adalah kompas langit menuju misteri Tuhan
  (Jalaludin Rumi)

  Sumbangan terbesar Rumi terhadap Islam dan agama bukan 
  terletak pada terbentuknya Tarekat Mawlawi, tarian berputar 
  (raqs sema'), ataupun berzikir dengan diiringi musik (sema'). 
  Rumi bahkan mungkin tak pernah ingin mengkotakkan cara 
  beragamanya dalam tarekat tertentu. Baginya, agama tak 
  membutuhkan asabiyah (fanatisme kelompok). Karena agama seluas 
  cinta, dan hanya cinta yang dapat membawa kita kepada Tuhan.

  Ajaran Mawlana Rumi yang universal dan menembus batas-batas 
  golongan ini adalah sebuah perlawanan terhadap semangat untuk 
  menjadikan agama sebagai pembenaran terhadap penaklukan dan 
  fanatisme golongan. Rumi---yang berarti orang Romawi---seakan 
  ingin melawan keinginan para penguasa kekhalifahan Turki untuk 
  melakukan ekspansi besar-besaran, demi terbentuknya kembali 
  kerajaan besar setelah Romawi Bizantium musnah di negeri itu. 
  Lewat tafsir cintanya, Rumi seakan menolak penggunaan agama 
  sebagai alat untuk mengobarkan perang.

  Ajaran Rumi tentang cinta dipengaruhi oleh pertemuannya dengan 
  Shams-e Tabrizi, sang darwish yang berkeliling Timur Tengah 
  untuk mencari "formula" tepat menjadi insan kamil atau manusia 
  sempurna. Dan Shams---dalam dialognya dengan Rumi, seperti 
  Khidr dengan Musa---mengajarkan akan cinta. Dalam bukunya yang 
  ditulis di kemudian hari dan menjadi paling terkenal, 
  Matsnawi, perjalanan Musa dan Khidr mendapatkan porsi besar, 
  terutama di bagian penutup. Kisah yang terangkum dalam surat 
  Al-Kahfi itu memang menarik perhatian banyak sufi. Kisah penuh 
  misteri, yang mengajarkan orang untuk melihat kejadian bukan 
  hanya pada yang tampak di depan mata.

  Namun pertemuannya dengan Tabrizi tak berlangsung lama. Teman 
  diskusinya itu ditemukan tewas, justru tak lama setelah 
  berdialog panjang di suatu malam dengan Rumi.

  Sebagai tanda cintanya kepada Tabrizi, Rumi kemudian menulis 
  kumpulan puisi (diwan) yang kemudian dikenal dengan Divan-e 
  Shams-e Tabrizi. 

  Kenapa aku harus mencari?
  Aku sama dengannya
  Jiwanya berbicara kepadaku
  Yang kucari adalah diriku sendiri!

  Sepuluh tahun setelah kematian Tabrizi, Rumi kemudian 
  menggubah ghazal (puisi cinta) yang dikumpulkan dalam Divan-e 
  Kabir atau Diwan Agung. 

  Cinta dan keindahan membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran 
  tarekat lain. Sejumlah tarekat saat itu lebih banyak 
  berkosentrasi untuk menyempurnakan diri menuju insan kamil 
  lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan faham ketauhidan baru. 
  Penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul wujud) yang berkembang 
  berabad-abad sebelum Rumi di Bagdad adalah salah satu cara 
  pencapaian menuju Tuhan yang tidak dipilih Rumi. 

  Sebagai seorang hakim yang paham syariat, Rumi tidak 
  memasukkan dirinya dalam ritual yang kontroversial. Dan 
  sebagai seorang seniman, ia memiliki cara sendiri dalam 
  mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi 
  ekstrem. Ia memanfaatkan puisi, musik dari seruling (nay) dan 
  gitar (rebab) untuk mengiringi dzikir. Cara ini kemudian 
  dikenal dengan sema' yang berarti mendengar. Dengan arti yang 
  sedikit berbeda, pesantren-pesantren di Jawa memiliki ritual 
  bernama semaan.

  Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah Hijau (Qubat-ul-Azra') 
  yang bertuliskan "Saat kami meninggal, jangan cari kuburan 
  kami di tanah, tapi carilah di hati manusia." Namun ritual 
  sema' itu tak ikut mati. Para pengikutnya, terutama anaknya, 
  Sultan Veled Celebi, melembagakan ajaran itu dalam tarekat 
  bernama Mawlawiyah atau Mevleviye. 

  Aliran Mawlawiyah ini terkenal dengan cara dzikir yang 
  berbeda. Jika para sufi berdzikir sambil bersila dan 
  menggoyang-goyangkan kepala, para darwish di aliran ini justru 
  berdiri dan menari berputar-putar seperti gasing. Jubah mereka 
  berkembang seperti teratai di atas air. Dzikir mereka tidak 
  hanya diiringi oleh bacaan Al-Quran dan puji-pujian pada Nabi, 
  tapi juga suara seruling dan rebab serta fabel dari 
  puisi-puisi Rumi.

  Dalam tarian ini para darwish mengenyampingkan nafsu dan ego 
  mereka dan berkosentrasi pada musik dan lirik yang dimainkan 
  para mawlana. Mereka berputar seperti planet-planet dan 
  elektron dalam dunia makro dan mirkokosmos. 

  Pada perkembangannya, aliran sufi ini justru mampu menarik 
  perhatian para petinggi di Kesultanan Ottoman. Bahkan di masa 
  inilah Mawlawiyah mampu menghasilan sejumlah penyair dan 
  musisi legendaris seperti Sheikh Ghalib, Ismail Ankaravi yang 
  berasal dari Ankara, dan Abdullah Sari. Bahkan ada yang 
  mengatakan masuknya nay atau seruling ke dalam peradaban Eropa 
  adalah berkat merambahnya aliran Mawlawiyah ke daerah 
  "jajahan" Ottoman di Eropa.

  Dengan aliran inilah ajaran cinta Rumi tersebar ke seluruh 
  dunia. Manusia diciptakan dengan cinta untuk cinta. "Semua 
  cinta adalah jembatan menuju Sang Maha Kasih. Karenanya, yang 
  tak pernah merasakan cinta, tak akan pernah mengetahuinya," 
  kata Rumi.




Lebih aman saat online.
Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. Dapatkan IE8 di sini!

Kirim email ke