Madu ditangan kananmu, racun ditangan kirimu
Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku

Good Bon! Nah tulisan yang macam itu yang aku tunggu, mana lagi members WB yang 
brilian, nulis dong kaya Bontje.

 



________________________________
Dari: Boni Triyana <boni_triy...@yahoo.com>
Kepada: wongbanten@yahoogroups.com
Terkirim: Sen, 26 April, 2010 13:49:39
Judul: [WongBanten] Madu dan Racun di Rangkasbitung (Kolom di Majalah TEMPO)

  
Dulur-dulur, saya kirimkan kolom saya di Majalah TEMPO edisi pekan ini (26/4). 
Semoga bermanfaat.

Madu dan Racun di Rangkasbitung

Bonnie Triyana, Sejarawan

INI bukan roman tapi gugatan," demikian tema peringatan 190 tahun kelahiran 
Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Acara itu berbarengan dengan perayaan 150 
tahun penerbitan Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia 
Belanda karya Multatuli, yang diselenggarakan di Belanda tahun ini. Dirayakan 
di tanah kelahirannya, Dekker dan Max Havelaar nyaris dilupakan di negeri yang 
pernah dibelanya: Indonesia. 

Max Havelaar diajukan Universitas van Amsterdam sebagai salah satu warisan 
dunia. Karya itu pernah dianggap sebagai roman picisan berdasarkan khayalan 
belaka. Tak sedikit orang yang menganggap Multatuli manusia frustrasi yang 
menumpahkan kekecewaannya pada sosok Bupati Lebak Raden Adipati Karta 
Natanagara yang ia benci. Sempat pula muncul pernyataan bahwa Multatuli tak 
berbeda dengan orang Belanda kulit putih lainnya yang datang ke Indonesia 
dengan satu tujuan: menjajah. 

Dekker alias Multatuli datang ke Rangkasbitung, Lebak, Banten pada pengujung 
Januari 1856. Posisi sebagai asisten residen ia dapatkan berkat lobi khusus E. 
de Waal kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist. De 
Waal-kelak menjadi menteri urusan daerah kolonial-adalah kerabat dekat Everdine 
Huberte Baronesse van Wijnbergen, istri Dekker. 

Sebelum ke Rangkasbitung, Lebak, Dekker telah malang-melintang dalam berbagai 
penugasan sebagai amtenar-di Sumatera Barat, Karawang, Bagelen, Manado, dan 
Ambon. Penugasan ke Rangkasbitung adalah pengalaman baru bagi Dekker. Lebak, 
seperti beberapa daerah di Banten lainnya, adalah daerah minus yang menjadi 
ladang subur bagi tumbuhnya pemberontakan. Paling tidak ada dua pemberontakan 
besar yang terjadi pada abad ke-19: pemberontakan Haji Wakhia (1850) dan 
pemberontakan petani Banten (1888). 

Beberapa pekan setelah tiba di Rangkasbitung, Dekker tidak menunjukkan 
tanda-tanda bermusuhan dengan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara. Ia 
malah pernah menawarkan uang kepada Bupati karena pejabat itu menanggung hidup 
banyak orang di luar keluarga inti. Hubungan baik yang dijalin oleh Dekker 
tampak dalam surat yang tak sempat ia kirimkan ke Gubernur Jenderal Van Twist. 
Kata Dekker, "Bupati adalah orang yang sangat menyenangkan. " 

Kalaupun Dekker mencium gelagat tak beres dari cara Karta Natanagara 
memerintah, ia tak langsung menegur. Dekker malah mengajak Bupati bicara dari 
hati ke hati layaknya sahabat. Patih Lebak yang menyaksikan pertemuan itu 
mengatakan baru pertama kali melihat pejabat Belanda bicara halus dan ramah. 
Pada waktu yang bersamaan, Natanagara sedang menyiapkan jamuan besar menyambut 
kunjungan Bupati Cianjur yang masih kerabatnya. Dekker mengulurkan tangan 
membantu perhelatan itu. 

Tapi hubungan baik itu berubah ketika Dekker mendengar laporan janda C.E.P. 
Carolus tentang kematian suaminya yang tak wajar. Beredar kabar bahwa C.E.P. 
Carolus, asisten residen yang digantikan Dekker, tewas diracun oleh menantu 
Natanagara, Raden Wirakusuma. Sebelum meninggal, Carolus tengah menyusun 
laporan pelanggaran Bupati Lebak. Dekker menemukan dan membaca laporan itu. 

Moechtar dalam bukunya Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, 
Pencari Kebenaran dan Keadilan menyebutkan, setelah mendengar laporan janda 
Carolus dan menemukan laporan asisten residen nahas itu, Dekker menulis surat 
pengaduan kepada Residen Banten Brest van Kempen di Serang. Inilah awal dari 
semua konfrontasi. 

Dalam surat tersebut Dekker mengusulkan agar Natanagara diberangkatkan 
secepatnya ke Serang untuk diadili. Raden Wirakusuma, Demang Distrik 
Parungkujang sekaligus menantu Bupati Lebak, diusulkan untuk ditahan. Dekker 
juga meminta pemerintah menahan semua orang, termasuk keluarga Natanagara, jika 
mereka diketahui menghalangi jalannya penyelidikan. Dekker meminta kasus 
Carolus diselidiki dan laporan atasnya disusun selengkap-lengkapny a. 

Siapakah C.E.P. Carolus yang dalam roman Max Havelaar diwakili oleh karakter 
Slotering itu? Moechtar dalam buku yang sama mengemukakan bahwa Carolus 
digambarkan sebagai orang yang unik. Ia dapat berbicara dalam bahasa Sunda 
dialek Banten laiknya penutur asli. Istrinya pribumi yang tak bisa berbahasa 
Belanda. Kemampuannya berbahasa lokal membuatnya dekat dengan warga Lebak dan 
warga pun merasa nyaman melaporkan tindakan Bupati yang merugikan rakyat. 

Ada versi lain mengenai kematian Carolus. E. du Perron dalam bukunya De Man van 
Lebak menulis bahwa sebenarnya Carolus telah lama mengidap sakit lever kronis 
dan pernah dirawat oleh dr Benzen dari Serang. Beberapa bulan sebelum Dekker 
datang menggantikannya, sakit Carolus bertambah parah. Benzen lantas 
menganjurkan agar Carolus dirawat di rumah sakit militer di Serang. Pada hari 
terakhir sebelum ajal datang menjemput, ia dibawa ke Serang dengan menggunakan 
kereta kuda yang dipacu kencang. Tubuh lemah Carolus semakin parah karena 
terguncang-guncang dalam perjalanan. Ia wafat tiga jam setelah tiba di rumah 
sakit. 

Cerita orang diracun bukan pertama kali terjadi di Rangkasbitung. Syahdan 
tersebutlah Muller de Montigny, Asisten Residen Lebak yang bertugas di 
Rangkasbitung pada 1906-1908. Montigny dipecat karena dianggap tak bisa menjaga 
relasi baik dengan rekan sekerjanya. Berdasarkan laporan rahasia Residen Banten 
Overduyn tanggal 7 November 1907 Nomor 234/g kepada Direktur Departemen van 
Bineland Bestuur (Departemen Dalam Negeri) yang ditembuskan ke Gubernur 
Jenderal Hindia Belanda di Batavia, disebutkan Muller de Montigny melakukan 
tindakan tak terpuji karena setiap hari memerintahkan bawahannya membawa 
perempuan untuk ditiduri. 

Selain dituduh memelihara gundik dan terlibat dalam skandal seksual, Montigny 
dituduh terlibat dalam peristiwa peracunan seorang pejabat pribumi. Montigny 
menyangkal tuduhan itu dan balik menuduh ada konspirasi yang dirancang oleh 
Bupati Serang untuk meracun dirinya. Belakangan hari terbukti bahwa racun yang 
disebut-sebut oleh Montigny hanyalah obat penyubur jenggot. 

Seperti Montigny, Residen Banten Brest van Kempen terlibat skandal perempuan. 
Berdasarkan cerita dari S. Hasselman-mantan Asisten Residen Pandeglang sebelum 
Dekker bertugas di Lebak-diketahui bahwa Bupati Lebak selalu mencarikan 
perempuan cantik untuk Kempen. Agaknya itulah yang membuatnya tak tertarik pada 
laporan Dekker tentang pelanggaran sang Bupati. Kempen punya kepentingan 
menjaga kasus itu agar tak melebar karena Bupati memegang kartu truf dirinya. 

Dekker akhirnya dimutasi ke Ngawi, Jawa Timur, dengan pangkat lebih rendah. Ia 
menolak pemindahan itu dan mengajukan berhenti pada 29 Maret 1856 atau dua 
pekan setelah ia merayakan ulang tahunnya ke-36. Permohonan pensiun dini baru 
dikabulkan pada 4 April 1856. Setahun kemudian, Dekker kembali ke Eropa mencari 
pekerjaan yang tak pernah ia temukan. Dekker kemudian menyewa sebuah kamar 
hotel di Brussel, Belgia, tempat ia menulis roman Max Havelaar selama tiga 
minggu saja (17 September-3 November 1859). 

Semua kejengkelannya di Lebak ia tumpahkan dalam roman tersebut. Besar 
kemungkinan kabar mengenai penderitaan rakyat Lebak secara lengkap ia ketahui 
dari laporan Carolus. Sementara itu, konfrontasi yang terjadi antara dirinya 
dan Bupati menurut hemat saya pertama-tama bukan karena cara Bupati 
mengeksploitasi rakyat Lebak, melainkan lebih karena perasaan esprit de corps 
yang muncul saat mendengar kabar peracunan terhadap Carolus. Dari laporan yang 
disusun Carolus pula Dekker bisa tahu lebih lengkap tentang kekurangcakapan 
Bupati Lebak menjalankan pemerintahan sehingga rakyatnya sengsara. 

Ketika menulis Max Havelaar, Dekker sudah lebih berjarak dengan peristiwa 
Lebak, yang terjadi tiga tahun sebelumnya. Tampaknya jarak itulah yang membuat 
ia lebih mampu melihat peristiwa Lebak sebagai bagian kecil dari dampak 
kolonialisme yang lebih luas lagi. Dalam Max Havelaar ia pun tak hanya 
menggugat Bupati Karta Natanagara, tapi lebih jauh lagi ia menggugat 
kolonialisme yang dijalankan oleh bangsa terhadap rakyat di Hindia Belanda. 

Penting juga digarisbawahi peran C.E.P. Carolus dalam mengungkap pelanggaran 
yang dilakukan Bupati Karta Natanagara. Carolus adalah orang yang pertama kali 
menyelidiki pelanggaran itu untuk kemudian dilanjutkan Dekker ketika Carolus 
meninggal. Max Havelaar yang ditulis Dekker bak bola salju yang menggelinding- 
membawa perubahan di Hindia Belanda dan memberi inspirasi banyak tokoh 
nasionalis dalam perjuangan membangun nation-state Indonesia. 




Kirim email ke