Kamis, 11 Feb '10 07:52 
Publik kini dikejutkan dengan adanya RUU TIPITI yang menimbulkan kontroversi. 
Ada yang mengatakan RUU ini dapat menghalangi kebebasan berpendapat, 
menghalangi proses anak didik untuk belajar TI, dll. Disini saya akan berusaha 
mengemukakan pendapat secara objektif namun tetap konstrutif terhadap kebijakan 
pemerintah. RUU ini dapat Anda unduh di 
http://bocahmiring.com/files/ruu-tipiti.pdf

Pada dasarnya RUU TIPITI memiliki tujuan yang baik yaitu mendukung ketertiban 
pemanfaatan Teknologi Informasi (BAB II Pasal 3). Maka dari itu disusunlah 
beberapa peraturan yang mengatur tentang ketertiban pemanfaatan TI seperti 
sanksi mengenai pencurian melalui TI (BAB VI Pasal 10), sanksi akses tanpa hak 
(BAB VI Pasal 11), sanksi pemalsuan identitas (BAB VI Pasal 13), sanksi 
mengenai Pornografi Anak-anak (BAB VI Pasal 17), sanksi mengenai bantuan 
kejahatan (BAB VI Pasal 18), sanksi mengenai perusakan situs internet (BAB VII 
Pasal 22), sanksi mengenai perusakan Database atau enkripsi (BAB VII Pasal 25), 
sanksi mengenai penyalahgunaan surat elektronik (BAB VII Pasal 27 ayat 1 dan 
2), sanksi mengenai pelanggaran hak cipta dan hak privasi (BAB VII Pasal 28 dan 
29), dan masih banyak lagi.

Namun, disisi lain ada tiga "pasal karet" yang dikhawatirkan dapat 
"dimanfaatkan" pemerintah untuk "mempertahankan kekuasaan" yang dapat berakibat 
pembungkaman masyarakat untuk menyampaikan suatu kebenaran atas pelanggaran 
yang dilakukan pemerintah. Pasal yang saya permasalahkan adalah:

  a.. BAB VII Pasal 23 mengenai Penyadapan Terhadap Jaringan Komunikasi Data 
  b.. BAB VIII Pasal 33 ayat 2 dengan penjelasan Pasal 33 ayat 1 mengenai 
catatan elektronik dan Pasal 32 ayat 1 mengenai penyidik 
  c.. BAB VIII Pasal 37 ayat 1 butir b dengan penjelasan pasal 34 
Lebih jelasnya akan saya uraikan berikut (titik berat permasalahan dicetak 
tebal dan garis bawah sedangkan penjelasan dari pasal yang dipermasalahkan 
dicetak dengan huruf tebal dan miring):
_____________________________________________________

 

BAB VII (Tindak Pidana Yang Berkaitan dengan Teknologi Informasi sebagai 
Sasarannya)

Pasal 23 (Penyadapan Terhadap Jaringan Komunikasi Data)
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum terbukti melakukan penyadapan 
terhadap jaringan komunikasi data atau sistem komputer yang terhubung dalam 
jaringan komputer lokal maupun global (Internet), yang selanjutnya digunakan 
untuk kepentingan sendiri atau untuk kepentingan pihak lain, dipidana penjara 
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun


BAB VIII (Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan)

Pasal 32
1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai 
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen atau Kementrian yang lingkup 
tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi diberi kewenangan 
khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang 
- Undang Hukum Acara Pidana. Untuk melakukan penyidikan tindak pidana 
pemanfaatan Teknologi Informasi

Pasal 33
1. Selain alat bukti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, 
catatan elektronik yang tersimpan dalam sistem komputer merupakan alat bukti 
yang sah. 
2. Catatan elektronik dalam ayat (1), yang akan dijadikan alat bukti sah di 
pengadilan wajib dikumpulkan oleh penyidik dengan mengikuti prosedur sesuai 
ketentuan yang berlaku

Pasal 34
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras 
melakukan tindak pidana pemanfaatan Teknologi Informasi berdasarkan bukti 
permulaan yang cukup

Pasal 37
1. Berdasarkan bukti yang cukup sebagaimana dimaksud pasal 34, penyidik berhak :
b. Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga 
digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan dan melakukan tindak pidana 
pemanfaatan Teknologi Informasi
_____________________________________________________

Hal pokok yang saya permasalahkan adalah masalah penyadapan. Peraturan yang 
melarang penyadapan ini justru dapat menghalangi lembaga independen (seperti 
KPK, Komnas HAM) untuk menyelidiki pelanggaran hukum yang dapat terjadi pada 
lembaga dalam pemerintahan seperti polisi, kejaksaan, maupun departemen karena 
yang diberi kewenangan untuk menyadap hanya penyidik yang tercantum dalam pasal 
32.

Berbicara digunakan untuk kepentingan sendiri atau untuk kepentingan pihak lain 
(pasal 23), sebenarnya hal ini bisa serba multitafsir dari segi moral. Mengapa? 
Karena bisa jadi untuk kepentingan positif (melindungi dan menyelamatkan orang 
yang tidak bersalah atau terjebak dalam kasus hukum untuk kepentingan tertentu) 
maupun kepentingan negatif (melindungi dan menyelamatkan orang yang jelas-jelas 
bersalah dalam suatu kasus hukum agar terlepas dari tuntutan, yang dapat 
menabukan rasa keadilan).

Saya akan coba mengajak Anda untuk flash back kasus Arthalyta Suryani yang 
melibatkan kejaksaan dan kasus Anggodo Widjojo yang terbukti melakukan mafia 
hukum atas rekayasa kasus Bibit Chandra (dua pimpinan KPK yang sempat non aktif 
akibat kasus ini).

Kasus Arthalyta Suryani berhasil terungkap akibat penyadapan rekaman telpon 
yang dilakukan KPK yang berisikan "kongkalikong" antara Arthalyta Suryani 
dengan beberapa orang kejaksaan antara lain jaksa Untung Udji Santoso, jaksa 
Urip Tri Gunawan dan Kemas Yahya Rahman.

Yang kedua adalah kasus Anggodo Widjojo yang terbukti merekayasa kasus Bibit 
Chandra. Kasus Anggodo Widjojo ini terungkap akibat penyadapan rekaman telepon 
yang berisikan rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan Ong Juliana (sempat 
heboh karena mencatut nama SBY); dan pembicaraan Anggodo Widjojo yang menyeret 
nama AH Ritonga (salah satu orang kejaksaan yang akhirnya mengundurkan diri 
setelah kasus ini terungkap) yang pada intinya berujung pada rekayasa kasus 
Bibit Chandra agar kasus korupsi yang melibatkan saudaranya, Anggoro Widjojo 
(terlibat dalam kasus PT MASARO yang hingga kini masih buron) dapat diproses.

Nah... apa akibatnya jika "pasal karet" yang saya maksud diatas sudah 
ditetapkan pada saat itu? Apakah kasus Arthalyta Suryani dan rekayasa kasus 
Bibit Chandra akan benar-benar terungkap seperti yang ada saat ini? Mari 
berpikir dengan logika kita!

Tetapi hal yang paling aneh adalah kewenangan penyidik yang berhak menyadap 
pembicaraan (pasal 37). Benar-benar aneh, membuat peraturan yang isinya 
melarang penyadapan, kok penyidiknya punya hak untuk menyadap? Apalagi dalam 
pasal 33 ayat 2 setiap catatan elektronik hasil penyidikan (salah satunya bisa 
dari hasil penyadapan Komunikasi Data yang telah dijelaskan dalam pasal 23) 
wajib diserahkan kepada penyidik (diatur dalam pasal 32) yang jelas-jelas tidak 
dapat melibatkan lembaga independen (seperti KPK, Komnas HAM, dll). Kalau 
begini, lembaga yang bersifat independen (seperti KPK, Komnas HAM, dll) tidak 
dapat lagi melakukan penyadapan jika ada penyelewengan yang dilakukan 
pemerintah dan instasi-instasi terkaitnya (POLRI, Kejaksaan, Departemen) atau 
penyidik dalam pasal 32. Mari berpikir dengan logika kita, apakah hal ini masuk 
akal?!

Semoga yang saya sampaikan ini dapat menjadi masukan pemerintah untuk membuat 
peraturan yang lebih adil dan bijaksana demi kemaslahatan bangsa kita.

 

 

Terima Kasih

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Kirim email ke