Refleksi : Apakah masih ada syarat-syarat lain yang dilupakan oleh penulis 
artikel?

http://cetak.kompas.com:80/read/xml/2009/03/14/04345116/aritmatika.politik

Aritmatika Politik
Sabtu, 14 Maret 2009 | 04:34 WIB 
Jaya Suprana

Anda ingin menjadi presiden Republik Indonesia ?

Jika ya, banyak syarat yang harus dipenuhi: takwa kepada Tuhan; WNI sejak 
kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri; 
tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan korupsi dan tindak 
pidana berat lainnya; mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan 
kewajiban sebagai Presiden; bertempat tinggal di wilayah NKRI; telah melaporkan 
kekayaan kepada instansi berwenang; tidak sedang memiliki tanggungan utang 
secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang merugikan keuangan negara; 
tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; terdaftar 
sebagai pembayar pajak yang memiliki NPWP dan telah melaksanakan kewajiban 
membayar pajak selama lima tahun terakhir dibuktikan dengan SPT-PPWP Orang 
Pribadi; belum pernah menjabat sebagai Presiden selama dua kali masa jabatan; 
setia kepada Pancasila; UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; 
usia minimal 35 tahun; pendidikan paling rendah tamat SLTA atau sederajat; 
bukan bekas anggota PKI!

Aturan main Pemilu 2009 memaksa para capres bukan hanya memenuhi syarat 
kualitas pada diri sendiri, tetapi juga syarat kuantitas bagi parpol atau 
gabungan parpol yang mendukung pencalonannya. Maka, seorang capres harus 
memiliki kemampuan aritmatika atau kemampuan berhitung. Jenis kemampuan 
berhitung yang terfokus ke wilayah politik, terutama parpol.

Rekayasa

Pada masa kanak-kanak, saya gemar berorganisasi meski terbatas pada organisasi 
yang bisa saya kendalikan. Selain perpustakaan, band bocah, perkumpulan 
olahraga sepeda dan tinju, saya juga mendirikan klub bulu tangkis, terangsang 
keberhasilan Tan Joe Hok menjuarai All England 1959.

Perkumpulan bulu tangkis itu untuk menampung semangat dan bakat bulu tangkis 
teman- teman sekelas dan sebaya mulai usia 10 sampai maksimal 15 tahun. Secara 
berkala, diselenggarakan pertandingan untuk memilih juara. Sebagai pendiri 
sekaligus ketua, jelas saya ingin menjuarai pertandingan yang saya 
selenggarakan. Untuk menjadi juara tunggal, saya pesimistis akibat sadar atas 
keterbatasan kemampuan diri. Maka, peluang bagi saya hanya untuk menjadi juara 
ganda. Untuk itu, saya harus habis-habisan memanfaatkan hak, kekuasaan, dan 
wewenang untuk memilih dan menetapkan pasangan yang tentu harus terbaik.

Sebagai ketua, saya juga memiliki kekuasaan prerogatif untuk merekayasa 
konstelasi babak pertandingan sedemikian rupa sehingga kemungkinan pasangan 
ganda saya berjumpa pasangan kuat lain di babak final agar minimal posisi 
runner up teraih pasangan ganda saya.

Perhitungan aritmatika politik di atas kertas seperti itu ternyata berhasil 
menampilkan pasangan ganda saya sebagai runner up.

Kekuasaan parpol

Pemilihan presiden RI tentu lebih penting dan lebih kompleks ketimbang 
kejuaraan bulu tangkis di klub yang saya dirikan pada masa kanak-kanak itu. 
Namun, pengaruh aritmatika politik bagi saya untuk menjadi runner up klub bulu 
tangkis anak-anak pada masa lalu pada dasarnya serupa tapi tak sama dengan 
pengaruh aritmatika politik bagi capres guna menjadi presiden RI saat ini.

Meski presiden dipilih langsung oleh rakyat, UU pemilihan presiden masih 
memaksakan tiap pasangan calon presiden harus didukung, bahkan resmi dicalonkan 
parpol atau gabungan parpol yang masih dipersulit klausa: yang memenuhi syarat. 
Klausa ini rawan menjadi batu sandungan bagi capres yang hanya memenuhi syarat 
administratif-kualitatif tanpa memerhatikan, apalagi memperhitungkan syarat 
kuantitatif yang harus dipenuhi parpol atau gabungan parpol pendukung 
pencalonan dirinya.

Seorang capres harus beraritmatika politik dalam memilih parpol atau gabungan 
parpol yang secara kuantitas memenuhi syarat untuk mendukung pencalonan 
dirinya. Sedahsyat apa pun kemampuan, kepribadian, dan popularitas seorang 
capres yang mengabaikan perhitungan aritmatika politik demi meraih dukungan 
parpol atau gabungan parpol, dia akan sulit menjadi presiden jika tidak masuk 
babak final pemilihan langsung.

Seperti dulu, saya pasti gagal masuk babak final kompetisi bulu tangkis jika 
keliru memilih pasangan dan keliru beraritmatika politik dalam merekayasa 
konstelasi babak pertandingan! Meski sebutannya megah: pemilihan langsung oleh 
rakyat, sebenarnya secara konstitusional parpol masih memiliki kekuasaan dan 
wewenang absolut untuk memilih dan menentukan siapa layak atau tidak layak 
dipilih langsung oleh rakyat. Selama UU pemilihan presiden masih memaksakan 
capres didukung parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat kuantitatif, 
rakyat harus rela untuk hanya menerima sisa-sisa capres yang telah dikunyah dan 
dicerna para parpol atau gabungan parpol.

Jaya Suprana Budayawan

 

Kirim email ke