· Seandainya suami atau isteri anda bertanya pada anda “menurut kamu siapakah aku ini”, apa jawaban anda? Seandainya anak-anak anda bertanya kepada anda sebagai orangtua “merurut bapak ibu, siapa aku ini”, apa jawaban atau reaksi anda? Dst…Saya yakin ketika pada suatu saat kita memperoleh pertanyaan macam itu dari anak-anak, suami/isteri, saudara-saudari kita, maka reaksi kita terkejut dan mungkin marah-marah. Para murid ditanyai oleh Yesus “Menurut kami, siapakah Aku ini?” dan Petrus menjawab “Mesias dari Allah”. Mendengar jawaban ini “Yesus melarang mereka dengan keras, supaya mereka jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun”. Mengapa? Kiranya para murid masih bersifat egois, sehingga pengakuan iman dengan kata-kata itu belum hidup dan menjadi nyata dalam cara hidup dan cara bertindak mereka, yaitu meneladan Yesus yang “harus menanggung banyak penderitaan”, karena Ia datang ke dunia untuk mempersembahkan Diri bagi keselamatan seluruh dunia dan untuk itu harus menghadapi tokoh-tokoh masyarakat yang egois serta menentangNya. Maka marilah dengan rendah hati kita mengakui dan menghayati diri sebagai orang yang lemah dan rapuh, yang kiranya kurang atau tidak setia pada tugas perutusan atau panggilan kita. Kita mengakui diri sebagai suami/isteri, orangtua, guru, anak, murid/peserta didik, imam, bruder atau suster, pemimpin atau pejabat dst..namun cara hidup dan cara bertindak kita masih egois, bukan atau belum menjadi man or woman for/with othsrs. Jika kita mengakui diri sebagai orang beriman, maka kita memperoleh tugas perutusan atau panggilan untuk menjadi man or woman for/with others, hidup dan bertindak demi kebahagiaan dan keselamatan yang lain, dan dengan demikian kita sendiri bahagia dan selamat. Sebaliknya jika kita egois, maka kita tidak bahagia dan tidak selamat dan cara hidup atau cara bertindak kita senantiasa menyengsarakan atau membuat menderita yang lain. Marilah kita didik, bina dan dampingi anak-anak kita untuk tumbuh berkembang menjadi man or woman for/with others, tentu saja harus disertai atau dijiwai dengan keteladanan kita.
· “Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah? Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pkh 3:9-11). Kutipan ini rasanya bagus untuk kita renungkan atau refleksikan. Apa yang sedang kita kerjakan dengan susah payah?, itulah pertanyaan yang harus kita jawab. Apakah kita mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi tugas pekerjaan kita, melainkan pekerjaan sendiri, misalnya: di kantor/tempat kerja mengerjakan pekerjaan pribadi sedangkan di rumah mengerjakan pekerjaan kantor, di sekolah tidak belajar dan diluar sekolah les privat, dst.. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.”(Pkh 3:1), demikian peringatan Pengkotbah yang harus kita renungkan dan hayati. Peringatan ini mengajak kita untuk senantiasa setia pada tugas perutuan atau pekerjaan yang dibebankan kepada kita, setia pada panggilan dan tugas perutusan kita masing-masing. Maka jauhkan dan berantas aneka bentuk penyelewengan atau penyalah-gunaan waktu, sarana-prasarana, jabatan, kedudukan, fungsi , dst.. Berdisiplin itulah yang diharapkan dari kita semua. Berdisiplin berarti “kesadaran akan sikap dan perilaku yang sudah tertanam dalam diri, sesuai dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu keteraturan secara berkesinambungan yang diarahkan pada suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Ini diwujudkan dengan perilaku yang konsisten, taat asas menuju pada tujuan tanpa perlu pengawasan dan dorongan secara terus menerus. Perilaku ini diwujudkan dalam hubungannya dengan Tuhan dan diri sendiri” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 10). Berdisiplin rasanya merupakan keutamaan yang mendesak dan up to date masa kini mengingatkan masih maraknya ketidak-disiplinan dalam hidup bersama, antara lain korupsi, manipulasi atau mark-up , dst., juga ketidak-disiplinan di jalanan yang dilakukan oleh pengendara maupun pejalan kaki. Jakarta, 26 September 2008