Merebut Mimpi Indonesia Khazanah, PIKIRAN RAKYAT, 16 Agustus 2008
KEMERDEKAAN nasional adalah proklamasi kebudayaan emansipatif sebuah bangsa. Karena sebuah bangsa dan kebudayaan adalah mimpi kolektif atau imajinasi kolektif sekelompok manusia pada konteks tempat dan waktu tertentu. Bahkan sebuah bangsa sebenarnya sebuah perasaan saja kata Gustavo de las Casas, perasaan bersatu kolektif yang menjadikan sekelompok manusia sebagai sebuah keluarga besar (Foreign Policy, Maret-April 2008), tentu juga terkait tempat dan waktu tertentu. Bila hari ini, 63 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, semua warga dari Sabang sampai Merauke, tanpa ragu mengucapkan kata Indonesia, sebagai bangsa, negara, tumpah darah, serta hikmat mengikuti upacara bendera setiap hari Senin seperti putera saya Mahatma (11) dan Krishna (10) di sekolah dasar mereka untuk menghormati, "Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.", tidakkah mereka serta kita semua menyadari bahwa kata Indonesia hanyalah sebutan antropologis dari seorang antropolog Inggris J.R. Logan pada 1850? Di awal abad ke-20, hampir tak ada penduduk dari ujung Sumatra hingga Papua yang menyebut nama Indonesia atau mengaku orang Indonesia. Indonesia adalah sebutan rekaan saja dari J.R. Logan yang memerlukan sebuah nama untuk menyebut penduduk serta kepulauan yang membentang antara benua Australia dan Benua Asia dalam karya ilmiahnya. Oleh karena itulah Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan bahkan menyebut para "pahlawan Indonesia" yang kita kenal seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan lainnya tidaklah mengenal Indonesia sebagai tujuan perjuangannya, mereka adalah "pahlawan` dalam masa pra-Indonesia, bahkan bersedia "saling berkelahi" untuk kepentingan masing-masing, sama sekali bukan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Terasa pahitkah kenyataan ini? Sama sekali tidak, Indonesia adalah momen dalam kebebasan manusia, sebuah pernyataan kebebasan dalam sekian kemungkinan pilihan dalam sejarah. Tentu saja ada yang ingin hidup dalam feodalisme lama, bahkan ingin tetap setia dalam kolonialisme, dan sungkup masyarakat tertutup untuk kemurnian ras, agama, dan ideologi. Tetapi kita memilih Indonesia, memilih kebebasan, kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam momen kebebasan itulah para Bapak dan Ibu pendiri Indonesia memutuskan untuk melakukan, (1) pembebasan nasional; (2) pembebasan sosial dan; (3) pembebasan individu. Tentu saja pembebasan nasional adalah prasyarat (conditio sine qua non) dari pembebasan sosial dan pembebasan individu. Pembebasan nasional harus dipilih karena, "kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan." Tetapi pembebasan nasional tak berarti banyak bila tak ada pembebasan sosial, "memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial." Lalu apa setelah pembebasan nasional dan pembebasan sosial? Tentu saja pembebasan individu, "supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas." Sebuah perjuangan emansipasi yang mahakeras tetapi tetap akan berujung pada kemegahan kemanusiaan, seperti kata penyair Arthur Rimbaud (1857-1907), and at the dawn/armed with scorching patience/we shall enter the cities of splendour (Di waktu fajar/dengan kesabaran mentubi/kita akan memasuki kota yang megah itu). ** JADI, Indonesia adalah sebuah cita-cita kebudayaan emansipatif tentang (1) pembebasan nasional; (2) pembebasan sosial; (3) pembebasan individu. Bagaimana Indonesia hari ini? Sebuah mimpi-praktis (practical-visionar y) akan bermakna untuk menegaskan bahwa identitas politik, budaya, dan geografis, bila wujudnya kongkret --dinikmati dalam kehidupan sosial sehari-hari- - yang berwujud kesejahteraan, kecerdasan, dan keadilan sosial, serta kehidupan individual (hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Bila mimpi praktis dan kongkret ini tak terwujud, setiap warga negara, tentu saja putra saya juga, Mahatma dan Krishna, akan bertanya-tanya untuk apa tetap bersatu dalam tanah air, negara, dan bangsa Indonesia bukan? Indonesia hari ini adalah Indonesia dalam pertarungan untuk mewujudkan mimpi Indonesia seabad lalu versus realitas konkret yang menceraiberaikannya . Kemiskinan dan ketimpangan sosial yang menghantui sepanjang 63 tahun kemerdekaan hampir serupa wujud kongkretnya seperti di masa kolonial. Ketika Multatuli menulis Saijah Adinda pada 1860-an, kemiskinan dan penindasan adalah realitas kongkret di Lebak (Banten), namun 168 tahun kemudian pada Februari 2008 di Lebak Banten kembali ada empat balita meninggal dunia karena busung lapar tercekik kemiskinan orang tua mereka. Teror kemiskinan serupa terjadi di Makassar, Daeng Basse (hamil lima bulan) dan putranya tujuh tahun juga mati kelaparan, lalu Naila (4) juga meninggal dunia di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Di Jawa Barat saja pada 2007, ada sekitar 5,6 juta orang berada di bawah garis kemiskinan, naik dari 2006 sekitar 5,2 juta orang, walaupun ukuran garis kemiskinan hanya Rp 158.000,00/kapita/ bulan atau sekitar Rp 5.300,00/kapita/ hari. Siapakah yang beruntung? Simaklah, pengusaha terkaya Indonesia sekaligus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie dan keluarga (Bakrie & Brothers) pada tahun 2008 (Tempo, 15 Mei 2008) menguasai kekayaan sekitar Rp 49,7 triliun (5,4 miliar dolar AS), padahal pada 2006 hanya menguasai 1,2 miliar dolar AS. Riset terbaru Globe Asia (Mei 2008) menobatkan Aburizal Bakrie sebagai manusia terkaya di Indonesia dan di Asia Tenggara dengan nilai kekayaan 9,2 miliar dolar AS (Rp.84,6 triliun); sebelumnya tahun 2007 senilai 1,05 miliar dolar AS (Rp 9,6 triliun); Bisnisnya menggurita di bidang batu bara, perkebunan, minyak, properti, telekomunikasi, dan media. Lalu ada Jusuf Kalla (Tempo, 15 Mei 2008) wakil presiden Republik Indonesia, di urutan ke-30 orang Indonesia terkaya dengan Rp 2,1 triliun, juga Aksa Mahmud, Wakil Ketua MPR-RI, berkeluarga dengan Jusuf Kalla kekayaannya Rp 3,1 triliun di urutan ke-24. Apalagi bila menyimak penguasa sumber daya alam, minyak, gas, dan tambang sudah dikuasai asing 80 persen, di mana 70 persen di antaranya adalah pengusaha Amerika Serikat (AS). Contoh, tambang tembaga dan emas terbesar di dunia di Papua Barat dikuasai perusahaan AS PT Freeport McMoran. Sungguh tak terbayangkan di lumbung emas dan tembaga dunia ini puluhan orang Papua mati kelaparan di Yahukimo. Untuk Yahukimo tak ada mimpi Indonesia, mimpi pembebasan sosial dan individu terjadi ketika nyawa mereka terbebaskan ke haribaan Tuhan. Inilah pertanyaan yang paling menyesakkan hari ini, adakah pembebasan nasional juga sudah berjalan sebagai syarat tumbuhnya kebudayaan nasional? Apakah proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai pembebasan nasional berjalan setelah 63 tahun, berdaulat atas politik, ekonomi, kebudayaan sebagai prasyarat pembebasan sosial dan individual melalui, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Mudah sekali sekarang menemukan pemuda-pemudi di pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, Sumatra yang berteriak lebih baik merdeka daripada mati dan sengsara dalam Republik Indonesia, mereka bermimpi menjadi negara merdeka dan berdaulat secara politik dan ekonomi dari Indonesia. Tetapi para oligarki politik dan ekonomi kita tak perduli dengan teriakan keputusasaan ini. Nasionalisasi aset strategis salah satu jawaban untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi nasional terhadap Freeport di Papua (Freeport McMoran), Blok Cepu di Jawa Timur (ExxonMobil) , Blok Gas Tangguh di Papua Barat (British Petroleum), Blok Mahakam di Kalimantan Timur (Total E&P Indonesie, Perancis), Blok Natuna di Kepulauan Riau (ExxonMobil) ; juga migas di Riau yang dikuasai Chevron Pacific, Newmont Minahasa dan Nusa Tenggara, Kelian Equatorial Mining (Aurora Gold Australia), dan lain-lain, bahkan Indosat yang kini dikuasai Temasek Holding dan Qatar Telecom sehingga 89% pangsa pasar telekomunikasi Indonesia dikuasai mereka melalui praktik oligopoli dan kartel harga serta suplai. Termasuk wajah 35% daratan Indonesia yang dikuasai 257 pengusaha batu bara, 341 kontrak karya, dan 1.194 kuasa pertambangan. ** BILA sebuah bangsa adalah mimpi kebudayaan emansipatif, itulah Mimpi Indonesia. Namun apa yang terjadi bila mimpi tersebut tergadai kepada tirani modal (dalam dan luar negeri), praktik otoriterisme politik dan budaya tertutup, setelah 63 tahun proklamasi kemerdekaan? Dapatkah kita berbicara tentang kemerdekaan, tentang budaya kemerdekaan, hari ini secara leluasa bila semua prasyaratnya mengerut sampai titik nadir seperti ucapan Bung Karno, "menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa. " Bahkan ditawan fundamentalisme pasar dan budaya tertutup. Mimpi Indonesia adalah sebuah cita-cita tentang (1) pembebasan nasional; (2) pembebasan sosial dan; (3) pembebasan individu. Indonesia adalah sebuah cita-cita kemanusiaan, sebuah agregasi hasrat untuk bebas menentukan kehidupan sendiri sebagai manusia, untuk menjadi manusia di bumi manusia, terlepas dari hasrat membenci bangsa lain (xenophobia) , maupun untuk menindas dan mengisap manusia lain di muka bumi. Oleh karena itu, Sutan Sjahrir (perdana menteri pertama Republik Indonesia, 36 tahun) mengatakan dalam Perjuangan Kita bahkan Indonesia bukanlah sebuah bangsa pada akhirnya, tetapi Indonesia adalah sebuah cita-cita tentang keadilan dan kebenaran, karena, "Semua kebangsaan harus menemui ajalnya di dalam suatu kemanusiaan yang meliputi seluruh dunia menjadi satu bangsa, yaitu bangsa manusia yang hidup di dalam pergaulan yang berdasarkan keadilan dan kebenaran, tidak lagi terbatas oleh perasaan sempit yang memecah sesama manusia karena perbedaan warna kulit, atau karena turunan darahnya berlainan."* ** M. Fadjroel Rachman, Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia], peminat sastra dan kebudayaan.