http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2008121800023617
      Kamis, 18 Desember 2008 
     

      BURAS 
     
     
     

Naiknya Besar, Saat Turun Kecil! 

      H. Bambang Eka Wijaya 
      "ADA teka-teki! Waktu naiknya besar, saat turun jadi kecil! Apa?" ujar 
Temin.

      "Tarif angkutan umum!" jawab Teman. "Waktu naik bisa 25 persen lebih, 
tapi saat turun, cuma enam koma sembilan persen!"

      "Itu dia!" timpal Temin. "Maka itu tepat sekali usul Marselina 
Djayasinga, pengamat ekonomi dari Unila, idealnya tarif angkutan umum turun 20 
persen!"

      "Kalau turunnya sebanding naiknya, bisa terasa lebih enak bagi rakyat!!" 
tukas Teman. "Tapi kalau kecil, sudah pun tidak terasa, jadi lebih repot pula 
rakyat dibuatnya! Contohnya, tarif angkot dari Rp2.500, turun 6,9 persen atau 
Rp172,5, susah cari uang pas, demikian pula cari kembaliannya!"

      "Kerepotan rakyat itu bukan tidak ada artinya buat pemerintah!" sambut 
Temin. "Pertama, dengan recehan logam secara terpaksa kembali digunakan, mata 
uang rupiah jadi mbejaji--bernilai tinggi--di mata rakyat! Kedua, kesibukan 
cari penukaran uang receh itu membuka lapangan kerja penukaran uang receh di 
terminal-terminal!"

      "Dilihat dari sisi itu pemerintah memang hebat!" tegas Teman. "Tapi dari 
sisi lain terlihat, kalau menambah berat beban yang harus dipikul oleh rakyat, 
pemerintah tidak merasa perlu berpikir panjang, sedang jika mau meringankan 
beban rakyat, waduh, kayaknya berat sekali, malah kalau bisa dielakkan! 
Pokoknya, kalau menyangkut hak rakyat tidak mudah dipenuhi! Sebaliknya kalau 
terkait kewajiban, selalu dipaksakan! Bahkan, kalau bisa hal yang merupakan hak 
bagi rakyat juga diubah jadi kewajiban--seperti hak pilih dalam pemilu mau 
diubah jadi kewajiban, malah dengan sanksi haram!"

      "Lalu, apa dengan tambahan kerepotan mencari tukar recehan itu, sekaligus 
dengan memegang banyak recehan daya beli rakyat bisa naik seperti tujuan 
penurunan harga BBM?" kejar Temin.

      "Bukan daya beli yang naik, tapi gaya belinya yang berubah!" jawab Teman. 
"Kalau dengan uang kertas tukaran besar beli minyak goreng literan, dengan uang 
receh beli minyak goreng ditakar canting! Beli tomat biasa kiloan, ganti gaya 
pakai hitung butiran! Betul-betul mengaktualisasikan gaya hidup 
pas-pasan--belanja cukup untuk sekali makan! Lalu pergi mengais lagi untuk 
makan berikutnya! Gaya hidup mengekspresikan sikap konsekuen tanpa 
reserve--tidak punya cadangan sedikit pun untuk waktu makan selanjutnya!"

      "Ah, gaya hidup seperti itu kan merupakan kebiasaan mayoritas warga kita 
yang miskin!" timpal Temin.

      "Tapi kebijakan pemerintah dengan memperbesar peredaran uang logam 
recehan justru menjustifikasi gaya hidup itu menjadi gaya yang ideal!" tegas 
Teman. "Sebab, warga yang sebelumnya belanja dengan uang kertas tukaran besar 
juga didorong mengikuti gaya hidup tersebut!"

      "Lalu dengan kondisi sulit yang diciptakannya itu pemerintah mendapat 
bahan kampanye cerdas!" timpal Temin. "Penguasa dan partainya sukses mewujudkan 
pola hidup sederhana! Seru, entah siapa melakukan apa, asal main klaim saja!
     

Kirim email ke