http://www.solopos.net/zindex_menu.asp?kodehalaman=h04&id=251600

Sabtu, 06 Desember 2008 , Hal.4

Obat kuat & harmoni keluarga 


Secara mengejutkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) baru-baru ini, 
menarik dari peredaran 22 merk obat kuat. Penarikan obat tersebut karena 
diketahui positif mengandung bahan kimia obat keras jenis sildenafil dan 
tadafil. 


Dari 22 item obat ini, lima di antaranya adalah obat tradisional impor, 14 obat 
tradisional, satu suplemen makanan impor, dan dua suplemen makanan lokal.  
Terungkapnya kasus obat ilegal ini berdasarkan laporan dari masyarakat dan 
operasi obat ilegal di sejumlah pasar di DKI Jakarta. Menurut penjelasan Kepala 
BPOM, Sampurno, dalam jumpa pers di Jakarta (tempointeraktif.com, 29/8), obat 
tersebut seharusnya hanya dapat diperoleh dan digunakan dengan resep dokter 
untuk pasien disfungsi ereksi. Penarikan obat kuat ilegal oleh BPOM itu 
kemudian diikuti oleh sweeping yang dilakukan oleh lembaga sejenis di 
daerah-daerah terhadap obat-obatan tersebut. 

Yang menarik dari kasus ini adalah mengapa penarikan peredaran obat-obat kuat 
tersebut baru dilakukan sekarang. Sebagaimana diketahui, obat seperti Tripoten 
dan Blue Moon sudah beredar luas dalam kurun waktu lama. Bahkan iklannya pun 
mencolok di televisi, serta dijual di apotek. Kejadian ini semakin menguatkan 
dugaan kita bahwa koordinasi antarinstansi atau lembaga negara di negeri ini 
masih semrawut, untuk tidak dikatakan amburadul. Bagaimana mungkin obat-obat 
yang dikategorikan berbahaya tersebut beredar luas dengan iklan yang terbuka 
tanpa sepengetahuan lembaga yang berwenang, tiba-tiba ditarik dari peredaran 
karena dianggap berbahaya bagi kesehatan penggunanya. Lantas mekanisme 
perizinan peredaran obat-obatan itu selama ini sudah prosedural atau belum, 
menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat.

Beredar luasnya berbagai jenis obat kuat di pasaran baik yang legal (harus 
dengan resep dokter) maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ketersediaan 
obat-obat tersebut itu dibutuhkan masyarakat dalam hal ini kaum lelaki. Sebab 
timbulnya penawaran tentu karena adanya permintaan. Obat kuat merupakan barang 
yang sungguh mudah laku karena berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia yaitu 
seks. Jika seorang pria sudah merasa tidak sanggup dalam aktivitas seksual, 
obat kuat menjadi pilihan untuk dibeli. Menurut dr Naek L Tobing (2006), 
psikiater dan seksologis, kasus disfungsi ereksi (DE) timbul di samping karena 
faktor psikologis, juga karena adanya gangguan kesehatan dan penurunan kekuatan 
fisik. 

Gangguan kesehatan itu antara lain diabetes dan hipertensi, yang memaksa pasien 
mengonsumsi rutin obat-obatan jenis tertentu. Pemakaian obat-obat tersebut 
dalam waktu lama bisa berdampak terjadinya DE. Kemudian untuk mengatasinya, 
orang mencari obat kuat yang tersedia di pasar, tanpa memedulikan efek 
sampingnya. 

Menyimak maraknya obat kuat di pasaran, bisa dipastikan bahwa kasus DE yang 
menyerang kaum pria menunjukkan tren meningkat. Sebagai salah satu indikator, 
bisa kita lihat dari iklan baris di SOLOPOS, edisi Rabu (3/12), pada kolom 
Pengobatan. Dari 11 iklan, lima di antaranya mempromosikan obat atau layanan 
terapi berkaitan dengan DE. 

Hanya karena kasus ini sangat pribadi serta menyangkut harga diri pria sebagai 
kepala keluarga, maka tidak menjadi pembicaraan terbuka. Namun kalau kita 
menghadiri seminar-seminar (di ruang tertutup), menghadirkan seksologis yang 
membicarakan mengenai gangguan hubungan seks, diskusi menjadi menarik dan riuh 
baik oleh para lelaki maupun perempuan. 
Masalah makin kompleks

Barangkali sudah saatnya kasus DE ini menjadi pembicaraan yang lebih terbuka 
dengan pendekatan ilmiah. Bukan tidak mungkin kasus DE dapat mengancam keutuhan 
rumah tangga. Dengan semakin meningkatnya kesadaran para isteri terhadap 
hak-haknya, mendorong para isteri yang merasa tidak terpenuhi nafkah batinnya, 
dapat menggugat cerai suami. Atau jika tidak, dapat memunculkan kasus pria 
idaman lain (PIL), yang berujung pada retaknya keluarga dan pada gilirannya 
masa depan anak-anak lantas menjadi taruhan. 

Permasalahan sosial ekonomi yang kian kompleks sekarang ini, semakin menambah 
faktor potensial munculnya DE, yang disebabkan meningkatnya tekanan psikologis. 
Ketertutupan pembahasan kasus ini menimbulkan penyelesaian yang tidak tuntas. 
Menurut Naek L Tobing, pada dasarnya DE bisa diatasi. Bagi pasien dari golongan 
ekonomi kuat, berobat ke dokter menjadi pilihan terbaik. Namun ini menyangkut 
biaya yang cukup besar, karena obat DE dengan resep dokter, cukup mahal 
harganya dan pasti tidak dapat ditanggung oleh Askes PNS. 

Obat-obat tersebut antara lain viagra dan levitra. Sebagai gambaran, harga satu 
butir levitra 20 mg sekitar Rp 120.000. Sebaliknya, penderita DE dari golongan 
ekonomi lemah, obat kuat yang tersedia di pasaran maupun jamu menjadi pilihan. 
Selain mudah didapat, juga murah harganya. Walau obat-obatan itu bisa jadi 
mempunyai risiko membahayakan kesehatan, namun sering tidak dipedulikan.  
Perhatian serta peran dari pihak berwenang, dalam hal ini Departemen Kesehatan 
kiranya sudah saatnya diperlukan, melalui sosialisasi yang proporsional dan 
langkah-langkah integral. Kendati tidak segawat HIV, kasus DE langsung atau 
tidak, berkaitan dengan harmoni keluarga. - Oleh : JC Wiryatmoko, Pengamat 
sosial, alumnus Lembaga Pendidikan Jurnalistik SOLOPOS 

Kirim email ke