Seruan Mendesak (Urgent Appeal) - Seruan Mendesak (Urgent Appeal) PENGADILAN KASUS PENYIKSAAN HARTOYO: PERADILAN MENYIMPANG DI PN BANDA ACEH Pada hari Rabu 8 Oktober 2008, Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh melakukan proses pengadilan yang tidak layak dalam mengadili para Polisi pelaku penyiksaan terhadap Hartoyo. Proses pengadilan atas perkara penyiksaan ini dapat dikategorikan sebagai proses peradilan yang menyimpang (misconduct trial). Tidak hanya prosesnya, Hakim PN Banda Aceh juga memutus kasus penyiksaan sebagai tindak pidana ringan. Sejak awal, proses penegakan hukum terhadap kasus penyiksaan yang dilakukan anggota-anggota Polisi Polsek Bandaraya Aceh berlangsung berlarut-larut. Sejak dari kejadian di bulan Januari 2007, terlihat tidak ada keseriusan dari aparat penegak hukum untuk memproses kasus ini dan menindak para pelakunya, padahal yang dilakukan oleh para Polisi tersebut merupakan kejahatan hak asasi manusia yang kejam dan serius. Tidak ada informasi yang layak kepada korban mengenai perkembangan kasusnya. Namun ketika tiba-tiba pihak Polisi memanggil korban Hartoyo untuk memberikan keterangan saksi di persidangan pada hari ini (8/10), ternyata persidangan berlangsung tidak semestinya dan telah melecehkan keadilan. Sidang kasus penyiksaan di PN Banda Aceh ini dipimpin hanya oleh hakim tunggal, Sugeng Budiyanto, SH (wakil Ketua PN Banda Aceh) didampingi seorang panitera. Penyidik dari Kepolisian Brigadir Sudjono, S.Sos (NRP 79051137) bertindak menjadi/mewakili penuntut umum, yang seharusnya fungsi ini dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum! Para terdakwa adalah anggota Polisi bernama Rahmat Hidayat, Wahyu Pratama, Wahyudi Saputra dan Amrizal. Sidang dibuka dengan menanyakan identitas para terdakwa. Selanjutnya hakim bertanya kepada penyidik apakah dia menghadirkan saksi untuk pemeriksaan kali ini. Penyidik mengiyakan dan menyebut ada 2 orang saksi korban yang akan memberi kesaksian yaitu Fb dan Hartoyo tetapi hanya 1 orang yang bisa hadir yaitu saudara Hartoyo. Pemeriksaan dimulai dengan mengambil sumpah pada saksi korban dan selanjutnya di ajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan identitas dan selanjutnya tentang kasusnya sendiri. Ironisnya, ternyata Hakim Sugeng Budiyanto, S.H. tidak hanya menggali persoalan penyiksaan yang dialami saksi korban sdr. Hartoyo tetapi lebih menekankan ke persoalan pribadi sdr Hartoyo dan orientasi seksualnya. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang justru dipakai Hakim untuk menekan Toyo secara psikologis. Bahkan di luar konteks perkara yang disidangkan, Hakim memberikan pendapatnya dengan menasihati sdr. Hartoyo soal pilihan orientasinya dan memintanya bertobat, menemui ustadz dan psikolog. Beberapa pernyataan dan pertanyaan dari Hakim mengesankan seolah-olah terdakwa para pelaku penyiksaan “dibenarkan” melakukan tindakan kejam kepada saksi korban tersebut karena ia memiliki pilihan orientasi seksual yang berbeda dengan mayoritas. Pemeriksaan kepada saksi tidak diarahkan untuk mengungkap kejamnya perbuatan penyiksaan yang dilakukan oleh para terdakwa melainkan malah menyudutkan posisi sdr. Hartoyo sebagai saksi korban. Setelah kesaksian dari sdr. Hartoyo, Hakim Sugeng Budiyanto, S.H. menanyakan kepada keempat terdakwa apakah mereka menerima atau keberatan dengan kesaksian saksi korban. Semua terdakwa tidak mengajukan keberatan dan menerima semua kesaksian saksi korban. Selanjutnya hakim mempersilahkan keempat terdakwa ini mengungkapkan apa saja kepada korban. Mereka semua meminta maaf. Setelah proses ini, saksi korban dipersilahkan menempati tempat duduk penonton dan selanjutnya hakim menawarkan kepada penyidik apakah mau langsung memeriksa terdakwa, dan Penyidik setuju. Lalu para terdakwa diperiksa keterangannya. Setelah itu Hakim menskors sidang dengan alasan panggilan perut untuk kesehatannya. Ternyata tidak beberapa lama kemudian, Hakim membuka kembali sidang dan langsung membacakan Putusannya. Hakim menyebutkan bahwa Pengadilan memutus menghukum para pelaku 3 (tiga) bulan penjara, percoabaan 6 bulan dan denda Rp. 1.000 (seribu rupiah). Pelaku tidak harus menjalani hukuman di dalam penjara karena dihukum percobaan. Dengan alasan : 1. Para Pelaku adalah anggota Polisi yang masih dibutuhkan oleh Negara 2. Para pelaku mengakui perbuatannya 3. Sudah terjadi saling memaafkan antara pelaku dan saksi korban 4. Para pelaku hanya melakukan tindak pidana ringan Artinya, para pelaku tidak boleh melakukan tindak pidana selama 6 bulan ke depan, jika tidak, akan menjalani hukuman 3 bulan penjara. Apa yang dilakukan oleh PN Banda Aceh jelas-jelas merupakan pelaksanaan proses peradilan yang menyalahi prinsip-prinsip hukum dan aturan perundang-undangan sehingga semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut harus diperiksa untuk diambil tindakan. Alasan pertama, dari segi formil, proses persidangan bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, prinsip perlindungan terhadap saksi korban dan prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial). Kedua, dari segi materil, Hakim telah memutus suatu kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM serius sebagai tindak pidana yang ringan dengan hukuman yang sangat ringan. Penyiksaan dalam konsep hukum HAM dikategorikan sebagai jus cogens yakni kejahatan yang memiliki level yang sangat tinggi yang bahkan disetarakan dengan perbudakan dan genosida. Definisi penyiksaan disini adalah perbuatan yang menyebabkan penderitaan luar biasa yang dilakukan oleh, atas suruhan atau diketahui pejabat publik dengan maksud memperoleh keterangan atau menghukum seseorang (lihat Pasal 1 Convention against Torture). Inilah yang membuat penyiksaan menjadi kejahatan yang serius karena terjadi atau dilakukan oleh aparat negara yang nota bene memiliki kewajiban melindungi warga negaranya. Dalam UUD 1945 (Pasal 28 I ayat [1]) , hak untuk tidak disiksa termasuk ke dalam non-derogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Indonesia-pun sudah meratifikasi Convention Againts Torture and other Cruel, Inhuman and Degrading Punishment or Treatment (CAT) melalui UU No 5 Tahun 1998. Dengan demikian, Indonesia terikat akan kewajiban melakukan berbagai upaya efektif baik legislative, eksekutif maupun yudikatif unutk menjamin tidak terjadi penyiksaan dan menjadikan tindak penyiksaan sebagai kejahatan yang dihukum pidana dengan hukuman yang berat (Pasal 2 dan Pasal 4 CAT). Dengan demikian, persidangan atas kasus penyiksaan yang dialami Hartoyo merupakan pelanggaran terhadap kewajiban Negara tersebut. Selain itu, bagi korban penyiksaan, ia berhak atas hak-hak korban yang sekaligus menjadi kewajiban Negara yakni hak atas keadilan, hak untuk mengetahui kebenaran, hak atas pemulihan (right to reparation) yang meliputi hak atas kompensasi, rehabilitasi, restitusi dan satisfaction (peringatan agar tidak terulang kembali). Semua kewajiban Negara tersebut di atas telah dilanggar secara nyata dan fundamental. Oleh karena itu, kami mengecam pelecehan keadilan yang terjadi di PN Banda Aceh. Selanjutnya kami mengajak, menghimbau dan menuntut para pihak untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: Mengajak seluruh pihak dan komponen masyarakat mengambil sikap dan tindakan untuk memberikan peringatan kepada Pemerintah RI atas pelanggaran kewajiban negara yang telah dilakukan oleh badan pengadilan dan aparat penegak hukum dalam kasus penyiksaan ini. Menuntut Pemerintah RI memenuhi kewajibannya dengan mengambil tindakan yang efektif untuk meluruskan kembali penyimpangan yang telah terjadi dalam perkara ini, memeriksa aparat penegak hukum yang telah lalai menjalankan tugasnya melindungi warga negaranya. Mendesak Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung RI segera memeriksa Hakim Sugeng Haryanto S.H. terkait dengan pelaksanaan sidang di PN Banda Aceh dalam perkara ini.Mendesak Kapolri dan Jaksa Agung RI untuk memeriksa peristiwa ini, menjelaskan dan memberi pertanggungjawaban kepada Masyarakat.Meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mengambil tindakan sesuai dengan kewenangannya. Demikian Seruan Mendesak (Urgent Appeal) ini kami sampaikan. Kami mohon agar seluruh Masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam menuntut dan mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya demi tegaknya keadilan dan rule of law di negeri ini. Caranya dengan membuat surat ke instansi-instansi tersebut dan mendesak mereka melakukan tindakan-tindakan untuk memperbaiki ketidakpatutan proses ini. Terima Kasih. Jakarta, 8 Oktober 2008 Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Kirimkan desakan dan tuntutan anda ke alamat-alamat kontak di bawah ini: 1. Presiden RI: SMS 9949, Pesan blog: http://kontak.presidensby.info:8000/ , surat PO Box 9949 2. Mahkamah Agung: pengaduan masyarakat: http://www.mahkamahagung.go.id/fPengaduan.asp , email: [EMAIL PROTECTED] 3. Komisi Yudisial: Fax: 021-3522532 4. Kapolri: Fax: +62-21-720 7277 5. Jaksa Agung Fax: + 62 21 7250213; Email: [EMAIL PROTECTED] 6. Komnas HAM: [EMAIL PROTECTED] Wasalam Toyo ( 081376 192516) Berbagi video sambil chatting dengan teman di Messenger