Precedence: bulk


INDONESIA DALAM PERSPEKTIF TEORI EVOLUSI

Oleh Parakitri

Dibawakan dalam diskusi dan peluncuran buku tulisan WF Wertheim, Gelombang
Pasang Emansipasi, terbitan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) di Gedung
YTKI, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 25 Mei 1999

1. Sebenarnya ISAI meminta saya membicarakan gejala kekerasan sepanjang
proses perubahan sosial di Indonesia dilihat dalam perspektif teori evolusi
Wertheim. Namun demikian, karena alasan-alasan yang segera akan saya
paparkan, saya merasa harus memperluas perspektif tersebut dengan teori
evolusi Darwin.

2. Teori evolusi Wertheim mencakup gagasan-gagasan evolusi sebelum dan
sesudah terbitnya karya Charles Darwin, The Origin of Species, 1859. Memang
bertahun-tahun sebelumnya gagasan tersebut sudah tersebar luas, terutama di
kalangan pemikir sosial seperti Auguste Comte di Prancis (1798-1857) dan
Herbert Spencer (1820-1903) di Inggeris, di samping pemikir biologi seperti
Jean Baptiste Lamarck (1744-1824) di Prancis.  Dalam hal ini, teori evolusi
Darwin dinilai sebagai sintesis ilmiah pertama atas gagasan-gagasan evolusi
itu, karena Darwin-lah yang pertama menunjukkan fakta evolusi dengan data
yang meyakinkan dan yang secara jitu menerka mekanismenya, "natural
selection". Sesudahnya, teori evolusi biologis Darwin terus berjaya,
sementara teori evolusi sosial-budaya versi Wertheim terseok-seok di tangan
beberapa tokohnya seperti V. Gordon Childe (1951) dan Julien H. Steward (1955).

        Memang hingga hari ini, teori evolusi Darwin paling sedikit sudah mencapai
sintesa ilmiah yang ketiga. Kendati secara jitu telah menemukan "natural
selection" sebagai mekanisme evolusi, pada 1859 Darwin tidak bisa
menjelaskan dengan cara bagaimana mekanisme itu bekerja. Hal itu baru
terjawab pada 1900, ketika secara kebetulan ditemukan laporan percobaan
Gregory Mendel (1822-84), seorang pastor di Austria, yang ditulis pada 1865
mengenai pembibitan silang berdasarkan hukum-hukum pewarisan tertentu.
Itulah sintesa ilmiah kedua.

        Akan tetapi apa yang membuat hukum itu betul-betul berlaku? Jawabannya baru
diperoleh pada 1944 ketika para biolog, khususnya OswaldT. Avery dari Kanada
(1887-1955) menemukan DNA. Lalu, yang tidak kalah menggemparkan, dan mungkin
dapat dianggap sebagai tahap awal menuju sintesa keempat, terjadi pada 1975
ketika Richard Dawkins, zoolog dari Inggeris, dalam bukunya The Selfish Gene
menegaskan bahwa evolusi Darwin pastilah tidak hanya berlaku di bidang
biologi, tetapi juga di bidang sosial-budaya, kendati dengan replikator yang
berbeda.

        Jika replikator dalam evolusi biologi adalah gen (gene), maka dalam evolusi
sosial budaya adalah mem (meme). Lebih dari itu, proses "natural selection"
sangat mungkin terjadi tidak pada tingkat group, apalagi tingkat species,
sebagaimana banyak diduga sebelumnya, tetapi pertama-tama dan terutama pada
tingkat gene. Individu hanyalah sekedar sarana pelestarian (survival
machine) bagi gen, sedangkan grup, spesis, dan semesta hanyalah lingkungan
yang lebih luas demi kepentingan pelestarian itu. Jadi Dawkins menegaskan
hakikat gen yang selfish.

        Selama tahun 90-an ini, implikasi gagasan evolusi Darwin yang bersifat
menyeluruh dan berdasarkan kacamata selfish gene dan meme tersebut di atas
terhadap berbagai bidang kehidupan manusia semakin menggetarkan berkat
pemikiran ilmuwan yang lebih muda. Berkat pembahasan mereka, seperti Daniel
C. Dennett (Darwin's Dangerous Ide: Evolution and the Meanings of Life,
1996) atau Richard Brodie (The Virus of the Mind: The New Science of the
Meme, 1996), timbul harapan yang menyejukkan bahwa gagasan evolusi Darwin
tidak perlu menjungkir-balikkan keyakinan, pemikiran, dan tradisi luhur
manusia. Sebaliknya malah, implikasi gagasan evolusi itu akan dapat
memperkukuh kesadaran kita tentang makna kehidupan.

3. Harus diakui, tidak semua ilmuwan atau awam yang mendukung gagasan
evolusi Darwin memancarkan pengharapan seperti itu, atau memahami betul
implikasi gagasan tersebut. Banyak juga yang sombong, demikian juga yang
terlalu tergesa-gesa melompat ke kesimpulan. Berbeda dari Dawkins atau
Dennett, banyak yang tampak balum puas kalau hanya menegaskan fakta saja,
fakta yang memang sudah hebat. Adalah fakta, misalnya, bahwa sejak organisme
mulai muncul di alam ini 3.000 juta tahun yang lalu, baru berkat Darwin
manusia memperoleh pengetahuan yang memadai tentang mengapa dirinya ada di
dunia ini. Juga fakta bahwa dampak pengetahuan ini demikian hebat, sehingga
bisa dimengerti kalau Dawkins bertamsil, seandainya mahluk dari planet lain
mengunjungi bumi kita, boleh jadi yang pertama-tama mereka tanyakan adalah
"apakah [kita] sudah menemukan evolusi?" Lagi-lagi fakta bahwa semua
penjelasan yang kita coba beri tentang apa, bagaimana, dan mengapa kita
hidup di dunia ini sebelum teori evolusi Darwin muncul pada 1859, "just
plain wrong". Akan tetapi alangkah sombongnya sikap seperti yang ditunjukkan
oleh seorang paleontolog terkemuka AS, George Gaylord Simpson (1902-84),
yang berani mengatakan bahwa dengan teori evolusi Darwin, semua upaya
menjawab pertanyaan mengenai makna kehidupan sebelum 1859 menjadi tidak
berguna. Siapa bilang jawaban-jawaban yang keliru tidak berguna?

4. Tentang mereka yang terlalu cepat melompat ke berbagai kesimpulan (yang
menurut Dawkins "totally and utterly wrong") mengenai dampak evolusi Darwin,
yang harus dikatakan adalah bahwa mereka telah menimbulkan banyak
salah-sangka yang berbahaya. Tersebutlah misalnya Konrad Lorenz, Robert
Ardrey, dan Eibl-Eibesfeldt, semuanya sarjana peneliti perilaku hewan dan
yang menulis buku yang pernah sangat berpengaruh. Lorenz menulis On
Agression (1966); Ardrey The Social Contract (1970); Eibesfledt Love and
Hate (1971). Bagi pembaca umum buku-buku ini, dan buku-buku lain yang
ditulis oleh para pengikut yang biasa menamakan diri sarjana sociobiology,
timbul keyakinan bahwa segala yang sangar dan jahat dalam diri manusia tidak
bisa lagi diapa-apakan karena semua itu sudah ditentukan dari sananya oleh
gen (phylogenetic). Para ilmuwan tahu bahwa semua ini didasarkan pada
kekeliruan mendasar dalam memahami proses evolusi. Mereka keliru mengira
bahwa evolusi mengandung tujuan, dan tujuan itu adalah kemaslahatan spesis,
atau kemaslahatan grup. Kalau memang tujuan itu ada (belakangan diketahui
bahwa evolusi tidak mengandung tujuan), maka mungkin saja tujuan tersebut
adalah kemaslahatan individu penyandang gen, atau malah kemaslahatan gen itu
sendiri.

        Implikasinya benar-benar menyedihkan bagi mahluk. Manusia, misalnya, dibuat
menerima dengan pasrah bahwa mereka boleh menghancurkan mahluk lain atau
lingkungan demi kehidupan spesisnya, bahkan menghancurkan golongan lain,
keluarga lain, demi golongan atau keluarga mereka sendiri. Dalam konteks
Indonesia sekarang, percuma memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita
terpaksa menerimanya dengan lapang dada, bahkan perlu mencari jalan untuk
ikut ramai-ramai melakukannya. 

5. Saya benar-benar menaruh hormat dan kagum terhadap para ilmuwan sosial
yang bersemangat menyajikan imbangan bagi pemikiran evolusi yang ternyata
keliru itu, seperti almarhum Prof Dr Wertheim, mau pun pendahulu-pendahulu
mereka seperti Jan Romein, Erich Fromm, Julien Steward, bahkan Herbert
Spencer. Terhadap Wertheim, rasa hormat dan kagum itu masih sempat saya
sampaikan secara pribadi. Konsep-konsepnya dan Jan Romein, seperti
emancipatie, kontrapunkt, de dialektiek van de vooruitgang, atau onvoltooid
verleden, saya rasa menangkap proses yang mirip terdapat dalam teori evolusi
Darwin, yang oleh Dennett disebut control structures in thought processes.
Nanti akan kita bahas. Intinya, konsep inilah yang menjelaskan dalam paparan
Wertheim mengapa Jerman dan Jepang dapat membangun industri yang lebih
canggih daripada Inggeris yang sudah lebih dulu maju dalam bidang itu.

        Kekaguman itu bersumber tidak hanya pada ketekunan mereka tetapi terlebih
karena ketekunan itu didasarkan pada gagasan-gagasan evolusi Spencer, bukan
Darwin yang berjaya.  Sejak peralihan Abad XIX-XX, teori evolusi Spencerian
yang uniliner (evolusi seluruh kehidupan manusia) dianggap angin lalu oleh
mayoritas ilmuwan sosial, khusus di Amerika Serikat, kendati mereka
sama-sama percaya bahwa sejarah peradaban manusia bergerak mencapai social
progress atau modernization. Kemudian para ilmuwan sosial yang tersisih ini
mengubah dalil mereka yang pokok, dari evolusi uniliner (menyeluruh) ke
evolusi multiliner  (beragam). Dalam konteks inilah Wertheim menyumbangkan
konsep-konsep baru seperti emancipatie dan kontrapunkt. Pembahasannya dalam
bukunya yang kita bicarakan ini, yaitu di bagian Epilog, tentang masalah
causalitas yang dapat diartikan sebagai pengulangan gejala, bukan tidak
mirip dengan proses evolusi Darwin.

        Namun demikian, kita lebih baik melihat dunia kita ini dengan kacamata
teori yang masih tetap bertahan terhadap ujian kenyataan meski teori itu
terkadang keliru, itulah teori evolusi Darwin, daripada bertahan dengan
kacamata teori yang ber-ad hoc strategem saban kali keliru, yaitu teori
evolusi Spencerian yang diwarisi oleh Wertheim dan kawan-kawan. Marilah kita
bicarakan, apa yang kita lihat di dunia ini, khususnya nanti dalam perubahan
yang sudah, sedang, dan akan terjadi di Indonesia, bila kita mengenakan
kacamata evolusi Darwin itu.

6. Sudah disinggung di atas bahwa salah satu kesimpulan pokok perkembangan
teori evolusi Darwin setelah sintese ketiga (penemuan DNA) adalah bahwa
saringan alam (natural selection) pertama-tama dan terutama tertuju pada
inti kehidupan, yang disebut DNA (deoxyribonucleic acid) dan yang mampu
mengubah secuil bakteri menjadi sesuatu yang lain. Saya tidak bisa lupa
ilustrasi yang diajukan oleh Dawkins untuk melukiskan peranan DNA ini.
Konon, gen yang paling dulu berkembang dalam badan seekor bayi burung
kakaktua adalah yang membentuk paruhnya. Begitu si burung lahir paruh itu
langsung mangap memperlihatkan warna merah menyala. Konon pula induk
kakaktua tidak memberi makan anaknya, karena telornya diletakkan saja di
sarang burung lain yang kebetulan ketemu. Nah, yang memberi makan anak
kakaktua itu adalah sembarang burung lain, bisa yang punya sarang, bisa
burung yang sedang terbang membawa makanan untuk anak sendiri. Melihat paruh
merah itu, rupanya semua burung terdorong untuk melolohkan makanan ke sana.
Begitulah bayi kakaktua hidup, dan akan mati (gugur seleksi alam) jika
kebetulan paruh itu tidak bisa mangap.

        Diketahui juga bahwa gen itu selfish. Ini tentu hanya kata yang terpaksa
kita pakai untuk memahami tabiat gen itu, karena gen tidak punya tujuan,
sekali pun yang selfish. Akan tetapi dengan kebisaannya menggandakan diri
sendiri itu (replicator), baik selama mungkin (longevity),  sebanyak mungkin
(fecundity), dan seasli mungkin (copying fidelity), maka gen tampak hanya
mementingkan itu saja, dirinya saja. Demia semua itulah kita ada, yaitu
semua tempatnya bermukim, cuma survival machine buat dia, kita, individu
seperti saya, Anda, dan mahluk hidup lain. Kita boleh hidup atau mampus,
yang penting sang gen dapat terus menggandakan diri sendiri.

7. Bila gen itu selfish, tentu individu yang ditempatinya pun tentu akan
cenderung selfish. Nah, itu berarti, saya dan Anda, kita semua, pada
dasarnya bersifat mementingkan diri sendiri, sifat yang coba dilawan oleh
segala moral dan agama. Dengan kata lain, menerima teori evolusi Darwin
berarti saya harus menolak doktrin tabula rasa para moralis seperti John
Locke atau David Hume, dan ajaran agama yang mirip. Lantas bagaimana kita
dapat hidup di dunia ini dengan sifat selfish yang berurat-berakar dan
merajalela?

         Jawaban pendukung Darwin sangat jitu. Dawkins bilang, "Justru karena
mengetahui kenyataan itulah, kita tahu betapa perlunya membentuk dan
menyebarkan ajaran mengenai welas asih (generosity dan altruism)." 

        Apakah hal ini berdasarkan kemauan diri sendiri semata-mata? Ternyata
tidak, karena evolusi selama 6.000 juta tahun konon telah membawa manusia ke
tingkat demikian jauh sehingga mampu mengetahui diri sendiri dan
kehidupannya, hal yang tidak dimiliki oleh mahluk lain.

        Saya tidak punya ilustrasi yang lebih baik daripada teori John Maynard
Smith yang bernama ESS (Evolutionary Stable Strategy). Intinya, jika mahluk
menggunakan stragegi tertentu dalam hidupnya, dan dirinya tidak mungkin
dapat lebih baik lagi dengan strategi lain, maka itulah ESS. Teori ini penuh
dengan matematik, yang kemudian dikembangkan dalam ilmu ekonomi oleh John
von Neumann (game theory). Dalam ilustrasi ini, mahluk dapat menempuh
strategi hawk, dan dove, tetapi dapat diperumit lagi dengan strategi lain,
retaliator, bully, dan prober-retaliator.

8. Mengapa strategi ini, dan banyak kebolehan lain lagi, dapat dimainkan
oleh manusia? Jawabannya juga berdasarkan hasil evolusi, yaitu evolusi
cetak-biru otak mahluk hidup, yang oleh Dennett disebut  control structures
in thought processes. Dalam cetak-biru otak versi Gregory itulah terdapat
puncak evolusi itu, tempat meme dan seluruh budaya dihimpun.

9. Dengan inilah kita sekarang meninjau perubahan di Indonesia. Inti
kesimpulan saya, bangsa Indonesia hanya mengenal strategi retaliator, bully,
dan prober-retaliator. Kekerasan berupa amuk, terdapat di dalamnya. Itu
semua karena evolusi belum membawa cetak-biru otak kita pada jalur mahluk
Gregorian.

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke