Precedence: bulk Laporan Pemantauan Jajak Pendapat (Mei-Juni 1999) 22 Juni 1999 Komite untuk Jajak Pendapat yang Bebas dan Jujur Jl Gov. Serpa Rosa No. T-095 DILI - TIMOR TIMUR Tel (0390) 313323 Facs (0390) 313324 I. PENGANTAR Tanggal 5 Mei 1999 pemerintah Portugal dan Indonesia menandatangani kesepakatan mengenai penyelesaian masalah Timor Timur. Kedua pemerintah memberi mandat kepada Sekjen PBB untuk bertanya kepada rakyat Timor Timur, apakah mereka menerima atau menolak tawaran otonomi luas dari pemerintah Indonesia. Kesepakatan itu merupakan langkah maju dalam penyelesaian masalah Timor Timur yang sudah berlangsung selama hampir 24 tahun. Bagaimanapun, ada beberapa kelemahan yang patut dicatat di sekitar kesepakatan tersebut. Kesepakatan itu nampaknya dibuat tanpa berkonsultasi dengan masyarakat Timor Timur untuk mengetahui situasi sesungguhnya dan juga aspirasi yang ada. Hal ini dapat dilihat dari butir kesepakatan mengenai masalah keamanan, di mana PBB memberikan kepercayaan penuh kepada pemerintah Indonesia untuk menciptakan dan menjaga keamanan. Bagi masyarakat Timor Timur yang selama hampir 24 tahun hidup di bawah bermacam tekanan militer Indonesia, keputusan itu tentu mengkhawatirkan Kekhawatiran itu ternyata beralasan, karena setelah kesepakatan itu ditandatangani, pelanggaran hak asasi manusia masih terus berlanjut. Polri yang diberi wewenang untuk menjaga keamanan dan TNI yang dituntut agar bersikap netral ternyata tidak mampu menjalankan masing-masing fungsi dengan baik. Sebaliknya ada bukti-bukti kuat bahwa baik Polri maupun TNI terlibat dalam gelombang tindak kekerasan serta pelanggaran terhadap isi kesepakatan tersebut. Di samping itu sebagian masyarakat juga menilai bahwa UNAMET lamban dalam bekerja sehingga masih memungkinkan terjadinya berbagai pelanggaran oleh pemerintah Indonesia. Laporan berikut merupakan rangkuman pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, serta tinjauan umum tentang kegiatan UNAMET setelah kesepakatan Portugal-Indonesia ditandatangani tanggal 5 Mei lalu. II. SOSIALISASI OTONOMI Menurut jadwal persiapan dan pelaksanaan konsultasi rakyat yang ditetapkan tanggal 5 Mei itu, sejak tanggal 10 Mei 1999 akan melakukan penyebaran informasi kepada masyarakat tentang isi kesepakatan tersebut, khususnya mengenai pelaksanaan konsultasi rakyat pada tanggal 8 Agustus mendatang. Dalam Annex II tentang ketentuan pelaksanaan (modalities) konsultasi rakyat, butir E-a, disebutkan bahwa PBB akan menyebarkan dan menjelaskan isi dari kesepakatan utama dan rancangan otonomi tanpa berpihak dan berdasarkan fakta; dan menjelaskan kepada para pemilih tentang prosedur pemungutan suara, serta akibat masing-masing pilihan (menerima atau menolak). Namun, sampai awal bulan Juni 1999, belum terlihat upaya yang sungguh-sungguh dari UNAMET dalam melaksanakan tugas tersebut. Kerjasama dengan harian dan radio setempat baru dimulai pada bulan awal bulan Juni, atau satu bulan lebih lambat dari yang tertera dalam kesepakatan. Media massa yang terbit di Indonesia pun sampai laporan ini disusun belum tersentuh oleh program 'penyebaran informasi' yang seharusnya dilaksanakan UNAMET. Sementara itu, pihak pro-otonomi dengan dukungan pemerintah Indonesia, termasuk TNI dan Polri sudah mulai menjalankan "sosialisasi otonomi" tidak lama setelah kesepakatan itu ditandatangani. Padahal dalam kesepakatan sama sekali tidak disebut hak dan wewenang keempat pihak tersebut untuk terlibat dalam program 'penyebaran informasi' itu. Hal itu saja sudah merupakan pelanggaran, apalagi jika melihat kenyataan bahwa program "sosialisasi otonomi" ini tidak lain adalah kampanye terbuka untuk mendukung otonomi, yang menurut jadwal baru boleh dilaksanakan pada tanggal 20 Juli 1999. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, kami menemukan bentuk-bentuk kecurangan sebagai berikut: 1. Rakyat dipaksa mendukung otonomi Di kecamatan Hatolia, kabupaten Ermera, sejak tanggal 1 Juni 1999, FPDK Ermera bekerjasama dengan Wanra dan Milisi Darah Merah melakukan 'sosialisasi otonomi' dipimpin antara lain oleh Augusto Cardoso. Dalam berbagai kesempatan para pemimpin kegiatan itu memaksa agar warga memilih otonomi, dan mengancam akan membunuh warga jika menolak. Anggota TNI terlihat mengawal anggota FPDK, Wanra dan Milisi Darah Merah. Warga harus mengikuti acara-acara tersebut dengan patuh, dan kalau terlihat mondar-mandir mereka ditangkap lalu disiksa. Dalam sebuah kesempatan pembicara dalam acara 'sosialisasi otonomi' itu mengatakan bahwa CNRT sudah tidak ada di Ermera, dan bahwa gereja, termasuk Uskup Belo, para pastor dan suster tidak perlu dipercaya karena selalu memungut uang secara paksa dari rakyat. Di samping itu juga dikatakan bahwa PBB, lembaga hak asasi manusia dan lembaga lainnya yang datang ke Hatolia, akan dihadang oleh FPDK, milisi dan wanra. Dan jika mereka melawan maka semuanya akan ditembak. Di desa Ritabou, kecamatan Maliana Kota, kabupaten Bobonaro, pada tanggal 14 Juni 1999, berlangsung acara 'pemantapan tugas' Milisi Dadarus Merah Putih. Dalam kesempatan itu Komandan Kodim Maliana Letkol Burhanuddin Siagian tampil sebagai pembicara dan mengatakan bahwa otonomi luas harus dimenangkan di Bobonaro. Jika tidak, maka warga Ritabou dan kabupaten Bobonaro pada umumnya akan dibabat habis. Dalam sambutan kedua oleh Ketua BRTT Bobonaro Francisco Soares Pereira yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bobonaro, mengatakan bahwa masyarakat mati atau hidup harus memilih otonomi. Jika tidak, maka kelompok pro-otonomi akan melancarkan perang sampai titik darah penghabisan. Mobilisasi penduduk untuk mendukung otonomi seperti itu berulangkali terjadi, seperti di kecamatan Metinaro, kabupaten Dili, pada tanggal 10 Mei 1999. Pimpinan Milisi Aitarak bersama pegawai kecamatan dan aparat keamanan memaksa rakyat menghadiri apel akbar. Mereka yang menolak diancam akan ditangkap dan dibunuh, dengan tuduhan mendukung kemerdekaan. Hal ini misalnya dialami oleh Paul Diaz (55), penduduk desa Mota Ulun, kecamatan Maubara, kabupaten Liquisa. Rumahnya dihancurkan oleh Milisi Besi Merah Putih karena tidak kelihatan pada saat upacara sumpah setia kepada integrasi dan bendera merah putih. Harta bendanya dijarah dan setelah itu rumahnya dibakar. Komite Independen menerima laporan-laporan serupa dari 13 kabupaten, terutama dari daerah pedesaan. Teknik lain adalah memaksa warga untuk menandatangani surat pernyataan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini terjadi misalnya di desa Costa, kecamatan Pante-Makassar, kabupaten Ambeno. Pada tanggal 5 Mei 1999, warga desa dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan 'cinta merah putih' yang diedarkan oleh pimpinan Milisi Sakunar, Simao Lopes. Warga yang menolak diancam, ditangkap dan ada di antaranya yang disiksa. Mereka juga didata sebagai kelompok pro-kemerdekaan yang akan ditangkap dan dibunuh. Pemaksaan secara massal dilakukan dengan cara meminta penduduk mengibarkan bendera merah putih di depan rumah masing-masing. Pemaksaan ini dimulai pada bulan Januari 1999 di Maubara, ketika wilayah tersebut dikuasai oleh Milisi Besi Merah Putih. Praktek semacam in berlanjut di beberapa daerah lain seperti kecamatan Atabae, kabupaten Bobonaro yang merupakan markas Milisi Halilintar. Setelah pembantaian di Liquisa pada tanggal 6 April, pengibaran bendera secara paksa terjadi di hampir seluruh wilayah barat. Penduduk diancam jika tidak mengibarkan bendera maka akan dianggap musuh. Di Dili, hal serupa terjadi setelah terjadi penyerangan oleh Milisi Aitarak dan Besi Merah Putih di kota tersebut. 2. Kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan Pelanggaran lain yang dilakukan oleh pejabat pemerintah Indonesia dan kelompok pro-otonomi adalah pelaksanaan kampanye di luar jadwal yang ditetapkan. Menurut kesepakatan itu, kampanye untuk mendukung otonomi baru boleh dilaksanakan pada tanggal 20 Juli mendatang, sementara saat ini yang bisa dilakukan adalah penyampaian informasi. Itupun menurut ketentuan akan dilakukan sendiri oleh PBB, tanpa melibatkan pemerintah Indonesia maupun Portugal. Namun bukti-bukti yang berulangkali dimuat dalam harian Suara Timor Timur memperlihatkan bahwa para pejabat pemerintah, pendukung otonomi, dan bahkan aparat keamanan terlibat dalam kampanye mendukung otonomi. Pada tanggal 21 Mei 1999 di gedung pertemuan Klavis, kantor Gubernur Timor Timur, berlangsung kegiatan 'sosialisasi otonomi luas'. Tampil sebagai pembicara adalah utusan Deplu, Heri Purwanto, dan dihadiri oleh Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osorio Soares dan para pejabat lainnya. Dalam kesempatan itu gubernur mengatakan agar semua pegawai pemerintah daerah agar mengerti konsep otonomi luas dan mendukungnya. Di tingkat kabupaten kegiatan 'sosialisasi otonomi' ini dilakukan langsung oleh bupati dan pejabat TNI serta Polri setempat. Misalnya pada tanggal 15 Mei 1999 di desa Com, kecamatan Lautem, Bupati Lautem Edmundo da Conceicao membuka kegiatan yang pertama. Dalam kesempatan itu ia mengatakan bahwa warga masyarakat agar tidak mudah dipengaruhi oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan kembali memperkuat barisan menuju otonomi luas. Pada tanggal 12 Mei 1999, di Aula Kodim 1632/Aileu, berlangsung apel kesetiaan menerima otonomi luas yang dipimpin oleh Kasdim 1632/Aileu Kapten Inf Solavide Dolok Saribu. Hadir dalam apel kesetiaan itu antara lain anggota Wanra, Dharma Pertiwi dan keluarga yang berjumlah sekitar 500 orang. Selama tiga hari berturut-turut setelah apel tersebut, berlangsung safari perdamaian yang diikuti oleh Muspida Aileu, Ketua DPRD, Ketua FPDK dan pimpinan Milisi AHI Aileu. Dalam rangkaian acara itu dikatakan bahwa otonomi luas dari pemerintah Indonesia merupakan jalan yang terbaik. Salah satu puncak acara adalah upacara minum darah tanda kesetiaan menerima otonomi luas, yang diikuti oleh wakil dari masing-masing desa di kabupaten tersebut. Pejabat Polri yang dipercaya sebagai kekuatan utama untuk menjaga keamanan dan dituntut agar bersikap netral menghadapi jajak pendapat, terbukti juga melakukan pelanggaran yang sama. Pada tanggal 17 Mei 1999 di Aula Pemda II Manufahi berlangsung acara pembekalan otonomi kepada PNS setempat. Kapolres Mayor Pol A Rochim meminta kepada hadirin untuk memasyaratkan otonomi di desa-desa agar dalam jajak pendapat nanti masyarakat memilih otonomi. Dalam acara yang sama Ketua DPRD II Jaime da Costa mengatakan bahwa gerilyawan di hutan hanya memper-juangkan kepentingan pribadi saja. Sementara yang memperjuangkan kepentingan masyarakat sekarang adalah kelompok otonomi. Seperti disebutkan di atas, kegiatan 'sosialisasi otonomi' di daerah pedesaan dilakukan dengan paksaan dan intimidasi, sementara dalam acara yang dilakukan terbuka di kota kabupaten atau kantor pemerintah, para pejabat cenderung menghimbau walaupun isi pesannya sama. 3. Pemberian imbalan dana/barang kepada pendukung otonomi (money politics) Di kabupaten Ambeno, pemerintah daerah setempat, bekerjasama dengan aparat keamanan dan kelompok pro-otonomi sering melakukan acara potong sapi, yang sebagian hasilnya diberikan kepada warga, khususnya kepada mereka yang selama ini dikenal sebagai pendukung otonomi. Dalam acara semacam itu para pejabat biasanya berpidato tentang keunggulan otonomi, dan meminta rakyat agar memilih otonomi dalam jajak pendapat nanti. Mereka juga melecehkan kelompok pro-kemerdekaan sebagai pihak yang hanya bisa bicara, tapi tidak punya apa-apa. Praktek ini erat kaitannya dengan penyelewengan dana JPS yang akan diuraikan lebih lengkap di bawah. III. MASALAH KEAMANAN Seperti diketahui, masalah keamanan ini adalah bagian yang paling memprihatinkan dari kesepakatan itu. PBB memberi kepercayaan dan wewenang begitu besar kepada TNI dan Polri, padahal hanya beberapa hari sebelum kesepakatan itu ditandatangani, terbukti bahwa aparat keamanan terlibat dalam tindak kekerasan terhadap rakyat, atau cenderung mendiamkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh milisi pro-otonomi. Sikap netral yang ditetapkan dalam kesepakatan itu sudah dilanggar hanya beberapa hari setelah penandatanganan. Dalam berbagai kesempatan pemerintah Indonesia selalu berusaha menyangkal hubungannya dengan milisi pro-otonomi, dan mengatakan bahwa tindak kekerasan yang terjadi di Timor Timur adalah "perang saudara". Namun, bukti-bukti yang antara lain disampaikan dalam laporan ini memperlihatkan secara tegas hubungan di antara kedua unsur tersebut. Berikut ini adalah beberapa hal yang menurut kami penting untuk dicatat mengenai keamanan di Timor Timur menjelang pemungutan suara. 1. Pembunuhan dan Tindak Kekerasan Lainnya Selama bulan Mei dan Juni 1999, Komite Independen menerima puluhan laporan mengenai pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya dari seluruh Timor Timur, yang umumnya berkaitan dengan proses persiapan jajak pendapat. Dalam banyak kasus, anggota TNI terbukti terlibat langsung atau setidaknya membiarkan milisi pro-otonomi mengambil tindakan. Seperti pembunuhan terhadap tiga orang di desa Fatubolo, kecamatan Hatolia, kabupaten Ermera oleh anggota BTT 142, anggota Milisi Darah Merah Integrasi dan Milisi Pancasila. Dua orang korban, Floriano de Araujo (38) dan Afonso (28) ditembak di rumah masing-masing, sementara korban lainnya, Silverio (22), ditusuk dengan pisau dan senjata tajam lainnya hingga mati di lapangan SD Negeri Leorema, kecamatan Hatolia. Alasan pembunuhan karena ketiganya dianggap adalah aktivis gerakan pro-kemerdekaan yang sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Alasan melakukan pembunuhan atau tindak kekerasan lain pada umumnya karena korban dituduh aktivis pro-kemerdekaan atau berhubungan dengan gerilyawan Falintil. Tapi dalam beberapa kasus dikatakan bahwa aparat keamanan keliru mengidentifikasi korban. Misalnya penembakan terhadap Domingos Gustavo (60) di desa Dato, kecamatan Liquisa pada tanggal 28 Mei 1999 siang. Korban ditembak begitu saja oleh anggota BTT 143 saat sedang berada di kebun kopi. Kadispen Polda Timor Timur kemudian memberi alasan bahwa korban ditembak karena para petugas 'salah lirik' dan mengira korban adalah gerilyawan Falintil. Korban mengalami luka berat sehingga harus dirawat di Rumah Sakit Wira Husada selama tiga hari. Tindak kekerasan seperti penculikan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penyiksaan dalam tahanan berulangkali dilakukan baik oleh milisi maupun anggota TNI dan Polri. Bertentangan dengan hukum Indonesia sendiri, anggota milisi sepertinya diberi wewenang untuk melakukan penangkapan dan bahkan menahan orang. Pada tanggal 17 Mei 1999 di desa Ulmera, kecamatan Bazartete, kabupaten Liquisa, enam orang anggota Milisi Besi Merah Putih menangkap Tereza dos Santos (26) di rumahnya. Korban ditangkap karena suaminya dituduh telah melarikan diri ke hutan bergabung dengan gerilyawan. Selama ditahan korban berulangkali mengalami pelecehan seksual. Dalam berbagai kasus korban lain juga mengalami siksaan fisik yang berakibat kematian. 2. Beredarnya Daftar Pencarian Orang (DPO) Salah satu metode teror dan intimidasi adalah pengedar daftar pencarian orang (DPO) yang biasa digunakan oleh polisi dalam menjalankan tugasnya. Daftar seperti ini berisi nama dan alamat orang yang dicurigai sebagai pendukung kemerdekaan, dan dibawa oleh para milisi maupun aparat keamanan setempat. Dalam berbagai kesempatan nama-nama yang dicantumkan dalam daftar diumumkan kepada warga, yang kemudian diminta untuk mencari dan menangkap mereka. Pada tanggal 11 Mei 1999, warga desa Leorema, kecamatan Bazartete, kabupaten Liquica, diperintahkan untuk berkumpul di kantor desa. Dalam kesempatan itu anggota Milisi Besi Merah Putih Miguel Metan dan Sekretaris Desa Anacleto Correia menyebutkan nama tiga orang yang dianggap sebagai pendukung kemerdekaan, lalu memerintah warga setempat untuk mencari, menangkap dan membunuhnya. 3. Perampasan harta Penyerbuan rumah penduduk oleh milisi pro-otonomi, baik yang didampingi oleh aparat keamanan atau tidak, seringkali diikuti tindak penjarahan terhadap harta benda korban. Pada tanggal 1 Mei 1999, di desa Mota Ulun, kecamatan Maubara, kabupaten Liquisa, Milisi Besi Merah Putih menyerang rumah Paul Diaz (55) untuk mencari anaknya, Santiago Diaz (17) yang dituduh sebagai pendukung kemerdekaan. Karena yang dicari tidak ada, milisi mulai merusak dan menjarah isi serta perlengkapan rumah, seperti uang yang disimpan di lemari, televisi, pakaian dan bahkan sepatu milik keluarga korban. Paul Diaz yang sedang dalam keadaan sakit berat, tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya diam menyaksikan tindakan brutal tersebut. Dalam kasus-kasus penyerangan secara massal terhadap sebuah desa, anggota milisi dan kadang diikuti oleh aparat TNI dan Polri, sering melakukan penjarahan terhadap harta penduduk. Namun data tentang kerugian sulit untuk dilaporkan mengingat para korban umumnya belum kembali ke desa mereka, atau jika kembali, hanya menemukan puing-puingnya saja. 4. Gangguan Terhadap Pekerja Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia Sasaran tindak kekerasan oleh milisi dan aparat keamanan ini termasuk para pekerja kemanusiaan dan hak asasi manusia. Di desa Com, kecamatan Moro, kabupaten Lautem, pada tanggal 17 Mei 1999, Iskandar dos Santos (24) menjadi korban pemukulan. Korban yang aktif di Tim Relawan Kemanusiaan Dili ini dipukul oleh Fernando Telo, anggota Kodim Lautem dan seorang anggota Tim Alfa. Gangguan serupa juga dialami oleh beberapa pekerja kemanusiaan ketika mengangkut bantuan bagi para pengungsi ke bagian barat. Salah satu kejadian menonjol adalah penyitaan bantuan yang terjadi pada tanggal 30 Mei 1999 di desa Leorema, kecamatan Bazartete, kabupaten Liquisa. Bantuan berupa makanan dan kebutuhan sehari-hari itu dibawa oleh Norberto Gonsalves dos Santos (43), staf Yayasan Etadep, untuk dibagikan kepada 48 KK di desa Asumanu, kabupaten Liquisa. Tapi di tengah jalan ia dihadang oleh anggota BTT 143, seorang anggota DPRD II Liquisa bernama Jacinto dan mantan wakil camat bernama Jacinto, kepala desa Leorema Armando Gonsalves, dan seorang anggota Kodim Liquisa. Korban dipaksa menyerahkan bantuan itu. Korban juga diancam akan dibunuh dengan alasan selalu membawa informasi ke Dili. IV. PENGGUNAAN DANA DAN FASILITAS PEMERINTAH INDONESIA Dalam Annex II tentang ketentuan pelaksanaan (modalities) konsultasi rakyat, butir E-c tentang kampanye, disebutkan bahwa pejabat pemerintah Indonesia dan Portugal tidak akan berpartisipasi dalam kampanye untuk mendukung salah satu pilihan; dan bahwa pejabat asal Timor Timur dapat berkampanye dalam kapasitas pribadi. Ditekankan juga bahwa penggunaan dana publik dan sumberdaya pemerintah tidak dibenarkan dalam kampanye itu. Namun bukti-bukti, yang sebagian disampaikan dalam laporan ini, menunjukkan keterlibatan pejabat pemerintah Indonesia secara langsung, penggunaan dana publik serta sumberdaya pemerintah untuk mendukung otonomi. Salah satu bukti yang telah diedarkan kepada publik oleh pers, dan diketahui pula oleh UNAMET adalah proposal kegiatan sosialisasi paket otonomi khusus yang dibuat oleh Bupati Manufahi Nazario Jose Tilman de Andrade. Dalam dokumen itu disebutkan keterlibatan Pemimpin dan Bendahara Proyek Dukungan Biaya Jaring Pengaman Sosial (JPS). Seperti diketahui proyek JPS ini adalah bagian dari program Bank Dunia yang sekarang ini juga sedang dipermasalahkan, karena diduga diselewengkan oleh Golkar di beberapa tempat di Indonesia. Dokumen itu juga mengungkapkan keterlibatan aparat pemerintah daerah, termasuk camat dan kepala desa; aparat TNI, termasuk Komandan Kodim, Batalyon Teritorial, Komandan Sektor dan Komandan Satgas Tribuana; aparat Polri khususnya Kapolres. Di samping itu dokumen tersebut juga mengungkapkan akan adanya bantuan dana bagi organisasi pro-otonomi, seperti FPDK, BRTT dan Clibur, serta milisi pro-otonomi yang terbukti melakukan teror dan intimidasi. Dalam rancangan anggaran biaya disebutkan bahwa termasuk dalam kegiatan sosialisasi otonomi adalah kegiatan adat dengan dana Rp 145 juta, bantuan sembako sebesar Rp 200 juta, dan bantuan perbaikan perumahan sebesar Rp 200 juta. Cukup jelas bahwa program jaring pengaman sosial dari pemerintah Indonesia - yang menurut kesepakatan harus bersifat netral dan tidak boleh mengerahkan aparaturnya untuk mendukung salah satu pilihan - telah dimanipulasi untuk kepentingan 'sosialisasi otonomi'. Di samping itu terlihat bahwa sebagian besar dana, yaitu Rp 700 juta, akan dialokasikan untuk biaya Kodal, mulai dari bupati, camat sampai kepala desa dan aparat keamanan (TNI dan Polri) di wilayah tersebut. Dokumen itu juga memperkuat laporan-laporan tentang kegiatan 'sosialisasi otonomi' yang melibatkan aparat pemerintah daerah, TNI dan Polri. Dan patut diduga bahwa kegiatan yang disebutkan dalam bagian II di atas dibiayai dari dana tersebut. Bukti lain yang juga diedarkan kepada pers melalui publik, dan telah diketahui serta diverifikasi oleh UNAMET, adalah surat perintah gubernur kepada semua kantor wilayah di Timor Timur untuk menyisihkan anggarannya sebesar 10-20% untuk memenangkan otonomi luas. Hal ini sangat memprihatinkan karena suratkabar pada saat bersamaan memuat berita bahwa beberapa departemen kekurangan dana untuk menjalankan proyek-proyek pembangunan. Dari beberapa daerah dilaporkan bahwa sebagian PNS yang dianggap tidak mendukung otonomi diancam akan dipecat. Di Ambeno, sejumlah PNS dimutasikan ke kabupaten Bobonaro untuk 'diperbantukan'. Ancaman itu berlaku mulai dari tingkat camat sampai pegawai biasa. Di Dili, setelah serbuan milisi pada tanggal 17 April, terjadi perampasan kendaraan dan fasilitas kantor lainnya dari tangan PNS yang dianggap pendukung kemerdekaan. Di Same, dalam acara 'sosialisasi otonomi', komandan Kodim setempat juga mengancam setiap PNS agar 'tidak berbuat macam-macam', dan sebaiknya mengundurkan diri jika tidak mendukung otonomi. Upaya 'pembersihan birokrasi' ini bisa dilihat sebagai kampanye teror dan intimidasi untuk memenangkan otonomi di Timor Timur. V. MASALAH PENGUNGSI DAN TAHANAN POLITIK Salah satu akibat dari kondisi keamanan yang memprihatinkan adalah meningkatnya jumlah internally displaced persons (selanjutnya disebut pengungsi). Ada beberapa perkiraan berbeda mengenai jumlah pengungsi di seluruh Timor Timur. Kanwil Departemen Sosial Timor Timur memperkirakan jumlah pengungsi di Timor Timur dan sebagian wilayah NTT sekitar 18.000 orang. Tim UNAMET dalam investigasi awalnya menemukan 20.078 orang, sementara hasil lembaga lain seperti Caritas Dili menyebutkan angka 52.000 orang. Memang sulit menetapkan angka yang pasti, karena hambatan untuk melakukan investigasi dan pendataan yang menyeluruh di daerah-daerah tertentu. Terlepas dari ketidakpastian jumlahnya, keberadaan pengungsi adalah akibat dari aksi penyerangan terhadap penduduk oleh milisi dan aparat keamanan. Pada pertengahan bulan November 1998 anggota ABRI melakukan penyerangan besar-besaran terhadap penduduk kecamatan Alas, kabupaten Same. Penyerangan itu konon merupakan tindakan balas dendam terhadap penduduk setelah aparat keamanan gagal menemukan pelaku pembunuhan seorang anggota Koramil di kecamatan itu. Bulan Desember ABRI kembali melakukan operasi militer di kecamatan Cailaco, kabupaten Bobonaro, untuk menangkap tokoh-tokoh pro-kemerdekaan. Sekitar 2.000 orang terpaksa mengungsi ke gereja Maliana, dan baru kembali ke desa tiga minggu kemudian. Milisi pro-otonomi mulai terlibat sejak bulan Januari 1999, ketika Milisi Mahidi melakukan pembunuhan dan teror terhadap penduduk kecamatan Zumalai, kabupaten Covalima. Sekitar 6.000 orang melarikan diri dan berlindung di gereja Suai selama tiga minggu. Setelah itu menyusul serangan oleh Milisi Laksaur Merah Putih di kecamatan Tilomar, kabupaten Covalima pada pertengahan bulan Februari. Di kabupaten Liquisa, Milisi Besi Merah Putih sejak bulan Januari melakukan intimidasi yang membuat sekitar 8.000 orang terpaksa mengungsi (lebih tepatnya, ditawan) di bawah pengawasan milisi. Sampai bulan Mei tindakan teror dan intimidasi masih terus berlanjut di kabupaten Bobonaro, Ermera dan Ainaro, yang menyebabkan ribuan orang lainnya terpaksa pindah dari kediaman mereka dan mencari perlindungan di tempat lain. Menurut laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang melakukan investigasi di beberapa kamp pengungsi, para korban umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat sulit, dengan tempat berlindung yang minim, kekurangan pangan dan obat-obatan. Pengungsi sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit seperti diare, demam, sakit mata, influenza dan TBC, apalagi karena sarana sanitasi yang sangat terbatas, jika bukan tidak ada sama sekali. Di beberapa tempat, terutama di Liquisa, para pengungsi hidup di bawah pengawasan milisi, sehingga kondisinya lebih menyerupai tawanan. Laporan itu juga menyebutkan terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan pengungsi. Beberapa kasus perkosaan sampai sekarang belum bisa diverifikasi karena penjagaan yang ketat oleh milisi pro-otonomi. Keberadaan pengungsi ini jelas bertentangan dengan isi kesepakatan, yang menyatakan bahwa jajak pendapat akan berlangsung secara jujur dan adil. Polri yang diberi kepercayaan untuk menjaga situasi sampai hari ini belum terlihat mengambil langkah-langkah yang perlu guna mengembalikan para pengungsi ke daerah asalnya dan menciptakan keamanan bagi penduduk. Dalam kondisi seperti sekarang, sangat diragukan bahwa penduduk yang mengungsi itu dapat memilih dengan bebas, atau mengikuti proses jajak pendapat ini dengan baik. Di samping itu juga ada kekhawatiran terjadinya penyusupan oleh orang-orang yang tidak memiliki hak pilih di kamp pengungsian, dan kecurangan lain pada masa pendaftaran. Bagaimanapun, masalah yang paling serius adalah keselamatan para pengungsi sendiri yang sampai saat ini nasibnya ada di tangan milisi, yang terbukti melakukan pembunuhan, teror dan intimidasi selama ini. Masalah lain yang kurang mendapat perhatian selama ini adalah nasib narapidana dan tahanan politik (political prisoners dan detainees), baik di Timor Timur maupun di luar Timor Timur. Pemimpin CNRT dan Panglima Falintil Xanana Gusmao sampai saat ini masih berstatus narapidana politik, sekalipun ada desakan dari berbagai pihak untuk segera melepaskannya. Ia kini ditahan di rumah tahanan khusus di kawasan Salemba, Jakarta. Di LP Semarang, Raimundo das Neves dan Gregorio da Cunha Saldanha, masing-masing dijatuhi hukuman 10 tahun dan seumur hidup. Sementara itu di LP Kalisosok ada 15 narapidana politik yang menjalani hukuman berkisar antara 9 sampai 13 tahun. Bulan Mei lalu ada laporan bahwa di LP Nusakambangan ada sejumlah tahanan asal Timor Timur, tapi keterangan ini tidak dapat diverifikasi karena keterbatasan akses lembaga hak asasi manusia untuk melakukan kunjungan dan pendataan. Di Timor Timur sendiri, terhitung ada sekitar 20 narapidana politik di LP Becora Dili, Rumah Tahanan Militer Balide Dili, Rumah Tahanan Maliana, Rumah Tahanan Baucau, dan Rumah Tahanan Manatuto. Beberapa di antaranya dijatuhi hukuman mati yang kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup, seperti Luis Maria de Fatima dan Francisco da Costa di Rutan Baucau. Di samping itu masih ada sejumlah besar tahanan politik (political detainees) yang belum diproses secara hukum, walau sudah melampaui batas waktu penahanan. Jumlahnya mungkin mencapai ratusan orang, jika dihitung dengan mereka yang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum. Tempat penahanannya pun bervariasi mulai dari tempat penahanan resmi di kantor-kantor polisi, dan kantor, markas dan pos TNI yang tersebar di seluruh Timor Timur. Beberapa di antaranya bahkan ditahan oleh anggota milisi di beberapa rumah yang dijadikan markas. Perlakuan terhadap para tahanan dan narapidana juga sangat memprihatinkan. Dalam proses pemeriksaan mereka seringkali menderita siksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Francisco da Silva, yang didakwa terlibat dalam kasus penyerangan markas Brimob pada tanggal 28 Mei 1997, dibawa dalam keadaan telanjang bulat dari tempat perawatan di Rumah Sakit Wira Husada menuju kantor Polda Timor Timur. Setelah dijatuhi hukuman, para narapidana seringkali mendapat siksaan dari para petugas keamanan, seperti yang baru-baru ini terjadi pada Rainaldo Marcal di Rumah Tahanan Balide, Dili. Situasi di tempat penahanan tidak resmi yang disebutkan di atas sangat memprihatinkan, dan berulangkali ada laporan bahwa mereka yang ditahan akhirnya meninggal dunia atau hilang setelah disiksa. VI. KESIMPULAN Melihat berbagai kenyataan di atas, dapat dipastikan bahwa jajak pendapat tanggal 8 Agustus 1999 tidak akan berlangsung secara bebas, jujur dan adil. Hampir semua butir kesepakatan antara Portugal-Indonesia telah dilanggar hanya beberapa hari setelah penandatanganan. Berdasarkan investigasi Komite Pemantau Jajak Pendapat, masalah yang paling serius adalah penciptaan dan pemeliharaan keamanan yang sekarang dipercayakan kepada Polri. Fakta-fakta yang diuraikan di atas memperlihatkan bahwa Polri tidak mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran, dan di beberapa tempat malah terlibat dalam tindak kekerasan terhadap penduduk sipil. Tanpa aturan yang jelas dan sanksi terhadap pelanggaran, maka situasi di Timor Timur tidak akan mengalami perubahan berarti menjelang jajak pendapat. Kehadiran milisi sejak bulan Desember 1998 adalah salah satu aspek keamanan yang paling memprihatinkan. Sudah terlalu banyak bukti yang disampaikan oleh lembaga hak asasi manusia, pers dalam maupun luar negeri, maupun yang disaksikan langsung oleh pejabat dan staf UNAMET sendiri. Bahkan beberapa hari lalu pimpinan UNAMET Ian Martin sempat menjadi korban ketika dihadang oleh milisi saat sedang dalam perjalanan dinas. Sampai saat inipun tidak ada tindakan tegas dari Polri yang dipercaya untuk menjaga keamanan di Timor Timur, padahal tindakan milisi terbukti melanggar KUHP dan aturan hukum mengenai pemilikan senjata oleh penduduk sipil. Alih-alih mengambil tindakan untuk menangani milisi, sejak bulan Mei lalu sejumlah kelompok milisi diubah statusnya menjadi Pamswakarsa. Keputusan itu pada dasarnya merupakan pengesahan terhadap tindakan teror dan intimidasi oleh pemerintah Indonesia. Sementara itu, tingkat kehidupan masyarakat Timor Timur secara umum, dan pengungsi pada khususnya, semakin merosot akibat berbagai pelanggaran yang disebutkan di atas. Dalam kondisi tersebut, tidak mungkin masyarakat dapat menentukan pilihan dalam jajak pendapat, yang sangat berarti bagi kehidupannya sendiri. VII. REKOMENDASI Berdasarkan penjelasan dan kesimpulan di atas, Komite untuk Jajak Pendapat yang Bebas dan Jujur menyampaikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Segera dilakukannya investigasi independen dan menyeluruh oleh UNAMET dan Komisi Hak Asasi Manusia PBB terhadap kasus-kasus pelanggaran kesepakatan dan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Para pelaku pelanggaran, khususnya pelanggaran hak asasi manusia agar ditangkap, dan segera diproses secara hukum. 2. Sekretaris Jenderal PBB perlu merumuskan sanksi terhadap pelaku pelanggaran isi kesepakatan tersebut secara jelas, dan membuat mekanisme serta mengerahkan perangkat untuk menerapkannya. Sanksi ini sangat penting untuk mengurangi kemungkinan terjadinya di masa mendatang. Tanpa tindakan tegas dan segera untuk mengatasi berbagai pelanggaran di atas, kami yakin jajak pendapat tidak akan berlangsung secara bebas dan jujur seperti yang kita harapkan bersama. --------------------------------------------------------------------------- "TIDAK ADA DEMOKRASI DI INDONESIA TANPA PEMBEBASAN DI TIMOR TIMUR" FORTILOS Forum Solidaritas Untuk Rakyat Timor Timur Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor Timur (FORTILOS) dibentuk oleh sebelas lembaga dan enam individu pada tanggal 11 Maret 1998. Forum ini bekerja dengan komitmen menegakkan hak-hak asasi manusia dan menghargai hak rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib sendiri, serta mendorong tercapainya penyelesaian masalah Timor Timur yang adil dan damai. Forum ini berangkat dari Pembukaan UUD 1945, "bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa" serta Pernyataan Semesta Hak-hak Asasi Manusia yang menegaskan hak-hak semua bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Alamat Sekertariat: Jl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Jakarta 12510, Indonesia Telp. (021) 7919-2763 Fax. (021) 7919-2519 Hp. 0812-9188047 e-mail: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html