Precedence: bulk


DEMOKRASI TERBATAS YANG CACAT SESUDAH PEMILU 7 JUNI 1999

Oleh: Sulangkang Suwalu

        Denny JA, Direktur Eksekutif Yayasan Universitas Jayabaya, menulis 
"Transisi yang Permanen" (Kps, 20/5). Menurutnya, sistem politik kita 
sekarang ini tak dapat lagi dikategorikan sebagai sistem otoriter 
sebagaimana yang terjadi selama Orde 
Baru. Namun sistem sekarang ini tak dapat pula dikategorikan sebagai sistem 
demokrasi murni. Di masa transisi ini, sistem politik kita hanya memenuhi 
kriteria dalam bahaya Larry Diamont, electoral democracy, atau demokrasi 
yang sangat terbatas.
        Yang dikuatirkan, jika eletoral inilah yang menjadi masa depan dan 
terminal politik Indonesia. Beralasankah kekuatiran Denny JA tersebut? 


TIGA CACAT DEMOKRASI TERBATAS

        Menurut Denny, pers dan kehidupan politik masyarakat memang relatif 
bebas. Namun tetap ada halangan yang membuat sistem demokrasi terbatasa ini 
cacat. 
        Pertama. Masih adanya kekuatan politik yang mempengaruhi kebijakan 
pemerintah, padahal kekuatan politik itu tidak dipilih oleh rakyat melalui 
pemilu. Kekuatan itu adalah militer, yang kini nama dari ABRI menjadi TNI. 
Dalam sistem demokrasi murni, karena kedaulatan ada di tangan rakyat, 
mereka yang diberikan otoritas mengambil kebijakan politik adalah individu 
atau kelompok yang dipilih rakyat dalam pemilu. Bahkan dalam bagan politik 
modern, militer adalah unsur pelaksana kebijakan politik yang seharusnya 
netral dan absen dalam pengambilan keputusan politik. Masih berperannya 
militer dalam politik nenberikan cacat dalam mekanisme demokrasi, karena 
adanya kelompok yang tidak ikut pemilu tetapi menentukan secara politik.
        Ke dua. Adanya exclusion, atau diskriminasi atas ideologi masyarakat.
Dalam demokrasi murni semua ideologi masyarakat diberikan perlakuan yang sama. 
Negara bersifat netral dan tidak memiliki ideologi kecuali  aturan main 
kompentisi yang bersifat demokratis. Ideologi mana yang akan mendominasi 
pemerintahan harus dipilih oleh rakyat itu sendiri melalui Pemilu, yang 
dapat berubah-ubah setiap pemilu.
        Namun di negara saat ini, masih ada perlakuan yang tidak equal atas 
keberagaman ideologi itu. Pernyataan pedan presiden Habibie Komas 
(komunisme, marhaenisme dan sosialisme) bukanlah hanya kepleset (slip of 
tonque) tetapi mewakili segmen elit kekuasaan tertentu. Dengan sendirinya, 
kelompok masyarakat yang percaya kepada cita-cita ideologi itu sudah 
mengalami teror tertentu.
        Ke tiga. Adanya exclusion, atau perlakuan yang minor terhadap etnis 
minoritas, dalam hal ini non pri (warga keturunan Cina). Dalam sistem 
demokrasi murni, kelompok minoritas dilindungi dan diberikan hak yang sama 
dengan kelompok mayoritas. Namun dalam relitas politik, kelompok non pri di 
Indonesia sangat tidak nyaman hidup dalam era reformasi. Dalam berbagai 
kejadian mereka menjadi korban kompensasi dari kemarahan publik. Tak heran 
kita banyak eksodus kelompok kelompok non-pri keluar dari negeri saat ini.
        "Gerakan reformasi," kata Denny JA, "dimulai setahun yang lalu, memang
cukup berhasil membawa keluar negara kita dari sistem otoriter, namun tidak
cukup kuat untuk menepis tiga cacat itu."
        Mengenai penyebab dan solusi tiga cacat demokrasi terbatas tersebut, Denny
JA mengemukakan antara lain, penyebab tiga demokrasi terbatas itu adalah ada
dalam sejarah bangsa kita sendiri. Bangsa kita tumbuh dalam banyak trauma
politik yang dalam. Sejak proklamasi kemerdekaan, berbagai gerakan separitis
dan 
percobaan menegakkan negara terjadi berulang kali. Ini pula yang membuat 
militer merasa terpanggil untuk masuk dunia politik, menjaga kesatuan negara 
dan melindungi negara berubah menjadi negara agama.
        Namun kemudian misi militer itu kebablasan. Militer masuk secara masif 
tidak saja kedalam sektor politik, tetapi juga kedalam sektor ekonomi. 
Begitu banyak keuntungan dan privelege yang diterima, sehingga menyulitkan 
kelompok militer untuk keluar dan memotong aneka keuntungan posisi mereka 
selama ini. Kombinasi high politics (menjadi persatuan negara dan "bukan 
negara agama") dan low poplitik (menjaga kepentingan politik dan bisnis 
kelompok mereka sendiri), yang membuat militer di Indonesia tak kunjung 
menjadi tentara profesional yang tak berpolitik.
        Sementara ideologi komunisme memberikan traumanya sendiri. Pergolakan 
ideologi dan politik di tahun 1960-an, yang melibatkan kelompok komunis, 
menyebabkan terbunuhnya ratusan ribu politik. Kengerian mayoritas penduduk 
Indonesia atas komunisme hampir sama dengan kengerian warga Jerman atas 
naziisme. Sebagian dari kengerian itu bersifat nyata, namun sebagian lagi 
dikonstruksikan secara sengaja sebagai bagian dari pertarungan politik.
        Etnis Cina (non pri) juga mempunyai riwayat trauma yang sama. Di era 
kolonialisme Belanda, sampai dengan rezim Orde Baru, pengusaha dari etnis 
Cina mendapat perlakuan yang istimewa dalam hal bisnis. Mayoritas dari 
konglomerat yang bermasalah, turut membangkrutkan Orde Baru berasal dari 
etnis non pri. Yang kemudian berlaku ialah "karena nilai setitik rusak susu 
sebelenggu". Publik mengarahkan kemarahannya kepada seluruh etnis non pri.
        Menurut Denny JA, untuk keluar dari jebakan demokrasi yang sangat terbatas
itu, diperlukan inovator politik (political entrepreneur) yang mampu 
bermanuver  secara canggih. Dengan manuver itu, sang inovator diharapkan 
berhasil mendapat dukungan rakyat banyak dan mengubah kekuatan politik. 
Diyakini bahwa demokrasi murni bukanlah hasil otomatis dari pembangunan 
ekonomi atau suburnya kelas menegah. Yang jauh lebih penting, demokrasi 
murni itu adalah hasil rakitan (craftmanship) dari pada inovator politik.
        Namun kehadiran inovator politik itu kini belum terlihat yang terjadi 
adalah kompetisi personal diantara kekuatan pro-reformasi itu sendiri. 
Setahun usia gerakan reformasi kembali membuat kita tertegun. Ternyata jalan 
menuju tanah harapan, yaitu demokrasi murni, masih panjang berliku. Demikian 
Denny JA.
        Mungkin kah inovator yang dimaksud Denny akan hadir di 
tengah masyarakat Indonesia dalam waktu dekat, selagi penyebab yang 
merintanginya belum disingkirkan? Adakah kemungkinan dalam waktu yang dekat 
penyebabnya ditiadakan, sehingga demokrasi murni bisa diwujudkan?

TINDAKAN PENYEBAB DEMOKRASI MASIH CACAT

        Sudah dapat diperkirakan 3 penyebab demokrasi Indonesia masih terbatas, 
mempunyai cacat, belum ada lenyap sesudah Pemilu 7 Juni 1999. Sekalipun 
pemilunya jurdil dan luber, apalagi kalau bukan jurdil dan luber.
        Sebabnya yang pertama karena dwifungsi ABRI belum dicabut. Dengan belum 
dicabutnya dwi fungsi ABRI maka TNI melalui 39 orang anggotanya yang 
diangkat menjadi anggota DPR akan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintaj, 
seperti yang sudah berjalan selama puluhan tahun. Padahal mereka bukan 
dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
        Dengan masih berperannya militer dalam politik, maka diskriminasi atas 
ideologi masyarakat masih akan berjalan. PKI tetap akan dianggap sebagai 
partai terlarang. Padahal baik dilihat dari Pancasila maupun UUD 1945 hak 
hidup PKI dijamin. Bukankah selama dibawah kekuasaan Presiden Soekarno, baik 
di masa revolusi fisik (1945-1950), maupun di masa demokrasi liberal, dimana 
UUDS RI 1950, yang Mukaddimahnya sepenuhnya mengover Mukaddimah UUD 1945 
(1950-1959), begitu di masa Demokrasi Terpimpin yang berpegangan kepada 
Pancasila dan UUD 1945, PKI adalah partai yang sah.
        Tetapi mengapa ada kengerian terhadap berdirinya kembali PKI, seperti 
dikemukakan Denny JA? Apakah itu bukan suara Orde Baru dan pendukung 
Soeharto saja?
        Bertolak dari kengerian Denny JA, tampaknya militerlah yang mengkonstruksi
secara sengaja, supaya rakyat memusuhi PKI. Sebab hadirnya PKI akan
berbahaya bagi mereka, baik untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno, maupun 
dalam menegakkan rezim militer.
        Ratusan ribu penduduk yang terbunuh seperti dikemukakan Denny JA adalah 
pihak anggota dan simpatisan PKI, yang dibunuh oleh pihak militer dan 
dibantu oleh pendukung militer yang ingin mendongkel Bung Karno dari 
kekuasaannya. Menurut logikanya seharusnya rakyat ngeri kepada militer yang 
buas itu dan ngeri kepada PKI. Mengapa yang terjadi sebaliknya?
        Kengerian Denny itu bersifat nyata. Mungkin yang dimaksud Denny bahwa 
menurut pihak militer, 7 jenderal angkatan darat itu yang membunuhnya PKI. 
Padahal yang membunuh dan menculiknya adalah tentara dari Cakrabirawa. Itu 
diakui oleh Boengkoes sebagai sersan kepala dari Cakrabirawa yang turut 
mengambil jenderal MT Haryono. Dan bukan PKI. (lihat Forum Keadilan No 01, 
11/499).
        Jadi apa yang dikatakan Denny sebagai nyata, sesungguhnya tidak nyata. Yang
nyata ialah Soeharto mekonstruksi secara sengaja berbagai fitnah supaya 
rakyat menghalalkan pembantaian terhadap anggota dan simpatisan PKI yang 
akan mereka lakukan.
        Untuk tujuan itulah secara terus menerus diberitakan dalam harian Angkatan
Bersenjata, Berita Yudha dan Api Pancasila (organ IPKI) selama bulan 
Oktober, November dan Desember 1965 bahwa 7 jenderal dijadikan korban 
penganiayaan, terutama pencukilan mata dan alat kelaminnya dikebiri dan 
pelakunya adalah orang komunis, telah mendorong pembantaian massal 
terhadap anggota dan simpatisan PKI.
        Bahwa pencukilan mata, pengebirian alat kelamin para jenderal itu fitnah 
jahat, buktikan dengan Visum Et Repertum Tim Ahli Forensik, yang terdiri 
dari Brigjen dr Rubiono Kertapati (RSPAD), Kolonel Frans Pattiasena dan 3 
orang sipil dokter ahli ilmu kedokteran UI. Dr Sutomo Cokronegoro, dr Liau 
Yang Siang dan dr Liem Yoe Thay tertanggal 5 Oktober 1965, bahwa tidak 
seorang korban pun yang dicukil matanya dan semua bagian kelaminnya utuh. 
Malah kita diberitahu bahwa 4 orang pernah sunat, dan 3 orang tidak sunat 
autopsi dilakukan atas perintah jenderak Soeharto.
        Supaya pembantaian massal itu bisa dibenarkan oleh rakyat, maka setelah 
kekuasaan sepenuhnya di tangan Soeharto, dibikin film penumpasan G 30-S/PKI. 
Kepalsuan film tersebut diragukan. Boegkoes mnengatakan dalam film 
Penumpasan G.30-S/PKI, di sana jenderal masih hidup disiksa secara sadis. 
Aksi ini diiringi nyanyian genjer-genjer yang dilantunkan anggota Gerwani. 
Menurut Boegkoes penyiksaan itu tidak ada. Demikian pula tari dan nyanyian. 
Yang saya ingat cuma tiga suara. Desir angin menerpa bambu, suara tangis 
bayi dan suara burung (Forum Keadilan, No 01, 11/4/99).
        Adalah benar kengerian terhadap PKI itu sengaja diciptakan Soeharto, supaya
orang menolak kehadiran PKI. Seharusnya orang harus ngeri terhadap Soeharto
dan pendukungnya yang telah melakukan pembantaian massal di tahun 1965/1966
terhadap massa anggota dan simpatisan PKI. Dan selama Soeharto berkuasa ia
juga telah melakukan pembantaian terhadap umat Islam di Tanjung Priok, di
Aceh, di Lampung dsb.
        Tanpa dicabutnya dwi fungsi ABRI maka inovator politik yang mampu melakukan
manuver supaya mendapat dukungan rakyat banyak, nampaknya belum segera akan
bisa muncul. Dan benar, sekarang belum ada inovator yang demikian.
        Denny juga benar bahwa demokrasi bukanlah hasil murni dari pembangunan 
ekonomi atau suburnya kelas menengah, tetapi karena hasil rakitan para 
inovator politik. Mereka rakit kekuatan rakyat banyak, buruh, tani dan 
rakyat tertindas lainnya dalam satu Front Persatuan yang tangguh, baru lah 
akan dapat mewujudkan demokrasi murni.

KESIMPULAN

        Lambat atau cepat berakhirnya masa transisi berlangsung di Indonesia, 
banyak tergantung di satu pihak dari cepat atau lambat dwifungsi ABRI bisa 
dicabut dan dipihak lain kesiapan inovator merakit kekuatannya, sehingga 
rakyat banyak mendukungnya.
        Jika inovatornya telah siap, tentu masa transisi itu tidak akan memakan 
waktu lama. Tapi karena hingga kini inovatornya belum muncul, maka sudah 
bisa diperkirakan: siapapun yang menang dalam pemilu 7 Juni 1999, yang akan 
terbentuk baru satu pemerintahan transisi. Demokrasinya masih demokrasi 
terbatas yang mengandung cacat.
        Demokrasi terbatas yang mengandung cacat itu bukanlah menjadi masa depan 
dan terminal politik Indonesia. Demokrasi terbatas itu hanya satu masa 
transisi, menuju demokrasi murni. Perjuangan untuk mewujudkan Indonesia baru 
yang demokratis akan berjalan terus. Tentu saja bentuk perjuangannya akan 
disesuaikan dengan situasi baru.***

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke