Precedence: bulk ISTIQLAL (9/7/99)# PELAJARAN DARI KEGAGALAN PDR YANG MENYAKITKAN ADI SASONO Oleh Sulangkang Suwalu DeTAK No 049 th 001, banyak memuat laporan tentang rencana PDR (Partai Daulat rakyat) akan dibubarkan. Laporan-laporan itu diantaranya tentang: "Klaim Kosong Pengikut Adi Sasono", "Banyak Aktivis Mengaku Punya Massa", "Yang Berpesat dan yang Cuci Piring". Di samping itu ada wawancara khusus dengan Fachriy Ali, Dawam Rahardjo, Wardah Hafidz dan Jumhur Hidayat. Mengapa PDR akan dibubarkan? KLAIM KOSONG PENGIKUT ADI SASONO Di dalam laporan ini dikatakan antara lain bahwa hari-hari ini Menkop dan PPKM Adi Sasono sedang tak sehat. Kalangan dekatnya, mengatakan Adi sakit lever. Barangkali Adi selalu sibuk. Bekerja keras memperjuangkan koperasi dan nasib pedagang kecil, hingga kesehatannya terabaikan. Tapi jangan-jangan, sakitnya Adi juga karena melihat kenyataan bahwa PDR gagal meraih kursi di DPR. Menurut salah seorang pengurusnya, PDR paling hanya akan mendapat total sekitar 200 ribu suara. PDR tampaknya juga harus rela membubarkan diri, sesuai dengan peraturan Pemilu, bahwa partai harus memperoleh minimal dua persen untuk bisa mengikuti Pemilu berikutnya. Menjadi pertanyaan: mengapa PDR jeblok? Padahal saat dideklarasikan di Senayan 17 April lalu, cukup spektakuler. Pesta PDR itu diramaikan oleh puluhan ribu pendukungnya, yang sebagian besar adalah pengusaha kecil, pedagang kaki lima, tukang ojek, penarik becak atau anggota koperasi. Itulah konstituen PDR yang sehari-harinya merupakan obyek garapan Depkop dan PPKM-nya Adi Sasono. Waktu itu seorang pengurus PDR bahkan secara optimis mengatakan bahwa PDR akan mampu menyedot massa PDI-P pimpinan Megawati, yang sebagian besar juga berasal dari kalangan bawah. Mereka yakin dengan menjual dagangan konsep ekonomi kerakyatan, PDR sanggup menyedot massa yang selama ini dinaungi oleh Depkop dan PPKM yang jumlahnya 60 juta jiwa. Perinciannya, 26 juta anggota koperasi dari total 54 ribu koperasi di Indonesia, dan 38,9 juta pengusaha kecil menengah. Sementara itu muncul pula berbagai kasus yang menyudutkan PDR, yang dikait-kaitkan dengan Depkop. Sebut saja dana JPS yang digulirkan Wardah Hafidz dari UPC (Urban Poor Concortium) yang menyesakkan dada. Dalam kasus itu PDR disejajarkan dengan Golkar, partai warisan Orba yang dituduh melakukan money politic. Menurut sumber ini, di samping hal di atas, penggarapan partai terbengkalai, karena jajaran pengurus lebih banyak bertikai untuk memperebutkan berbagai proyek yang dikucurkan dari Depkop. Mereka itu tak lagi berpikir bagaimana strategi membesarkan partai. Tapi justru saling gesek, karena pembagian rejeki dianggap tidak adil. Pertikaian di tubuh partai itu, terutama bersumber pada Jumhur Hidayat, yang dianggap paling menikmati semua fasilitas yang diterima PDR. Ketuanya, Latief Burhan mengakui kelemahan partainya. Secara tidak langsung saya akui itu bagian dari kelemahan manajemen partai yang berumur 3 bulan. Infrastruktur PDR yang lemah dimanfaatkan sebagai alat vested interest pribadi-pribadi. Setelah PDR tidak ada suaranya, mereka tidak berani muncul ke kantor. Mereka menghilang. Ternyata problem kita, berorganisasi tanpa komitmen adalah omong kosong. Komitmen itu lemah karena orientasinya kepada uang lebih terdepan. Selain masalah pembagian rejeki yang tidak adil, terpuruknya PDR menurut pengamat politik Fachry Ali MA, disebabkan jajaran pengurus DPP adalah "bocah-coah yang baru menetas". Mereka sama sekali tidak berpengalaman di panggung politik, bahkan di kalangan intelektual pengurus PDR kurang dikenal. Juga menurut Latief Burhan sebagai partai baru, kami belum melakukan riset ke bawah. Hanya percaya saja sama pada teman-teman aktivis yang punya basis massa pada gerakan koperasi dan LSM. Memang ada keraguan karena waktu cuma tiga bulan, terutama dalam pembangunan infrastrukturnya. PDR PARTAI GOCENG Sementara itu menurut Wardah Hafidz dalam wawancaranya dengan DeTAK di atas, PDR tidak mendapat dukungan rakyat. Di Muara Kamal, Jakarta Utara, PDR disebut sebagai partai goceng (lima ribu perakan), karena kalau mau kampanye membagikan uang Rp 5000 kepada setiap orang. Saat penghitungan suara hasil Pemilu, masyarakat di Muara Kamal menunggu-nunggu munculnya suara "partai goceng", tapi nggak muncul-muncul. PDR memang mengandalkan perolehan suara, bertumpu pada money politics. Seminggu sebelum pencoblosan, PDR punya rencana akan mengucurkan dana KUT (Kredit Usaha Tani) untuk "serangan fajar". Tapi sepuluh hari sebelum pencoblosan, BI memblokir dana itu. Menurut saya, PDR lebih tepat diartikan "Pelecehan Daulat Rakyat". KAMPANYE YANG MENCURIGAKAN Di dalam laporan DeTAK tersebut juga dikemukakan bahwa menjelang Pemilu, PDR memang melakukan beberapa cara kampanye yang mengundang kecurigaan. Ambilah contoh: ia mendompleng program-program Depkop, menjadi penyalur bantuan untuk pembentukan koperasi di berbagai daerah, menjadi perantara untuk penyaluran KUT yang ditangani Depkop. Semuanya dengan syarat para penerima kredit anggota-anggota koperasi itu menjadi anggota PDR. Tentu hal itu bukan merupakan syarat yang sulit bagi orang yang menerima bantuan dana. Dengan berbagai langkah yang ditempuh untuk meraih dukungan, PDR menunjukkan diri bahwa sebagai partai baru, ia adalah partai yang kaya. Data dari KPU yang dikutip oleh Asiaweek menyebutkan bahwa PDR berada di urutan ketiga dalam hal besarnya pengeluaran iklan, yakni US$ 66.500. Di urutan pertama adalah Golkar US$ 214.000 dan kedua Partai Republik sebesar US$ 155.000 yang simpatinya kepada Soeharto dinyatakan terus terang, menguatkan dugaan bahwa ia memang didanai Cendana. PDR DAN ADI SASONO Kedekatannya PDR dengan Adi Sasono membawa banyak keuntungan bagi PDR untuk membonceng program Depkop dan meraih massa. Kentalnya hubungan Adi dan PDR akhirnya melahirkan prasangka-prasangka atau kecurigaan baru bahwa PDR adalah kendaraan Adi Sasono untuk mendukung kembali naiknya Habibie. Dan Adi kemudian mendapat banyak sorotan ketika Far Eastern Economic Review mengangkat cover story tentang Adi Sasono dengan judul "The Most Dangerous Man" sorotan ke Adi makin tajam. Ketika hari-hari mendekati Pemilu, muncul iklan "Adi Sasono Bapak Rakyat Presidenku". Saat ini sorotan kepada The Most Dangerous Man beralih ke soal kekecewaannya pada kerja yang telah dilakukan oleh teman-temannya di PDR. PDR hancur total di Pemilu. Perolehan suaranya menyedihkan, bahkan sampai saat ini gagal untuk merebut satupun kursi. Adi terlanjur "dipermalukan" oleh iklan "Bapak Rakyat", sehingga dalam berbagai kesempatan, ia harus melakukan klarifikasi iklan tersebut bukan dari PDR, apalagi dari dirinya sendiri. Ia kini jatuh sakit. "Untunglah tidak menang. Kalau menang, bagaimana mereka akan urus rakyat kalau mentalnya seperti itu. Mereka makan, tidur, dan berak di rumah saya. Sekarang saya disuruh membersihkan puing dan kotoran mereka," tutur sumber DeTAK menirukan kekecewaan Adi. BEBERAPA PELAJARAN DARI KEGAGALAN PDR Kegagalan PDR yang begitu menyakitkan bagi Adi Sasono, sesungguhnya tidak perlu terjadi, sekiranya sejak awal Adi menyadari bahwa mendirikan partai tidak hanya cukup dengan mengandalkan pada posisi diri yang sedang kuat dan dana tersedia bagi biaya pembentukannya. Bedirinya suatu partai harus berdasarkan kesadaran anggotanya, tentang perlu adanya sebuah institusi bagi mereka menyalurkan aspirasinya. Dengan mengandalkan kepada posisi diri yang kuat dan tersedianya dana, maka yang akan lahir ialah pertentangan di kalangan fungsionaris memrebutkan dananya dan itu merupakan sumber perpecahan yang akan mengantarkan partai tersebut ke liang kuburnya. Orientasi fungsionaris tidak lagi bagaimana mengembangkan partai, tetapu bagaimana mendapatkan dana yang lebih besar. Karena partai didirikan untuk menjadi peserta dalam Pemilu dan untuk itu pentingnya berkerumunnya massa di sekitar partai, maka akan bermunculan penawaran kepada pimpinan partai bahwa dirinya mempunyai massa yang besar. Tujuannya supaya ia mendapat dana yang besar, karena massanya besar. Karena memang mengharapkan dukungan massa yang ebsar, dikucurkanlah dana seperti yang diminta si penawar tadi. Padahal massa yang sesungguhnya hanya kecil saja. Tertipulah pimpinan. Dengan mengandalkan kepada tersedianya dana, maka pengangkatan fungionaris tentu tidak akan teliti dan cermat, akan diterima saja, asal ia menyatakan simpati dan hasilnya seperti dikatakan Fachry Ali, maka pengurusnya terdiri dari "bocah yang baru menetas". Pengurus yang tidak mempunyai kemampuan mengembangkan partai, untuk memenangkan partai dalam Pemilu. Terbatasnya waktu untuk mensosialisasikan program, bisa saja dijadikan "kambing hitam" mengapa PDR kalah, tetapi itu tidaklah sepenuhnya benar. Lihatlah MUI sudah begitu lama disosialisasikan dalam kehidupan berbangsa. Mengapa imbauannya belakangan supaya kaum muslimin tidak memilih caleg non muslim, dianggap sepi saja oleh kaum muslimin, sehingga partai-partai Islam kalah dalam Pemilu? Karena di masa lalu imbauan MUI tentu hanya untuk kepentingan penguasa Orde Baru Soeharto, bukan untuk kepentingan umat Islam itu sendiri. Dari kegagalan PDR dalam Pemilu yang baru lalu menunjukkan rakyat semakin kritis dalam menghadapi sesuatu, tidaklah seperti dugaan sementara tokoh: rakyat masih bodoh, masih mudah diakalin atau dikibulin dengan sedikit uang, dengan nama agama atau golongan. Rakyat semakin mengetahui dan semakin bisa membedakan mana yang emas dan mana yang loyang. Kegagalan PDR dalam Pemilu yang menyakitkan Adi Sasono tersebut, adalah buah usahanya sendiri menggali lobang tempat ia jatuh.*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html