Precedence: bulk


ISTIQLAL (9/7/99)# BUKAN MERAH, BIRU PLUS RAPOR HABIBIE DARI SOEHARTO

Oleh: Sulangkang Suwalu

        Yang mengisi rapor seorang murid, biasanya guru yang mendidik atau
mengajarnya. Kareng gurunya itulah yang sejak awal mengikuti
perkembangannya. Misalnya sampai dimana perkembangan anak didiknya, tatkala
sang guru menguraikan sesuatu dan bagaimana pula ia mempraktekkannya. 
        Bila guru lain mengisi rapor murid tentu hasil pengamatan menyeluruh
perkembangan sang murid akan berbeda. Mungkin pengamatan tersebut dilakukan
hanya saat ujian sedang berlangsung, sedang sisi lain mungkin tak
diketahuinya. Karena itu isi rapor sang murid mungkin saja tidak tepat.
        Demikian pengisian rapor Habibie yang mengaku murid Soeharto. Karena itu
semestinya Soeharto lah yang mengisi rapor Habibie, bukannya Amien Rais,
yang bukan guru Habibie. Hasil penilaian Amien dan Soeharto tentu berbeda,
meskipun Amien Rais seorang guru besar. Pengisian mana yang benar tergantung
siapa yang melihatnya.
        Inilah hasil pengisian rapor Habibie:

"MERAH" ISI RAPOR HABIBIE DI MATA AMIEN RAIS
        Di harian Merdeka (14/5) Amien mengatakan dari delapan mata
pelajaran reformasi yang telah dikerjakan Habibie, hanya dua mata pelajaran
yang layak dapat biru. 
        Dua angka biru itu lanjutnya, pantas diberikan atas tindakan pemerintah
membebaskan tapol dan napol. Kedua untuk kebebasan pers dan kebebasan
berpolitik, antara lain membiarkan tumbuh banyak parpol.
        Sedangkan enam angka merah diberikan untuk Habibie, pertama
terkatung-katungnya penanggulan KKN, bahkan ada kesan Habibie enggan
mengurusnya. Mungkin karena besarnya keterlibatan bekas Presiden Soeharto,
yang nota bene guru politiknya, membuatnya enggan memenuhi amanat rakyat. 
        Kedua ketidakberhasilan jajaran Habibie dalam menyelesaikan problem
perbankan di negri ini. Ketiga membiarkan tumbuhnya politik uang. Dan
parahnya dana yang digunakan adalah uang rakyat.
        Habibie juga harus diberi angka merah dalam memilih menteri-menterinya.
Bagaimana mau melaksanakan agenda reformasi, kalau sebagian besar anggota
kabinet bermental Orde Baru. Kelima, gagal mengubah image negeri ini di mata
dunia international. Namun angka merah keenam untuk Habibie adalah
ketidakmampuannya mendapatkan suasana damai dan tentram bagi rakyat.
        Bayangkan, kata Amien Rais, selama memimpin negeri ini, ribuan nyawa
melayang. Ancaman disintegrasi makin mengemuka. Di berbagai daerah konflik
horizontal sering terjadi. Bagaimana mungkin dengan rapor seperti itu ia
mencalonkan diri menjadi presiden ke empat.
        Tampaknya Amien Rais sangat kecewa pada Habibie, karena semula diharapkan
supaya Habibie yang Orde Baru mau menjalankan agenda reformasi, guna turut
menumbangkan Orde Baru. Ternyata Habibie tetap Orde Baru, yang punya program
untuk dirinya sendiri, agar menjadi Presiden keempat. Dua nilai biru yang
diberikan dengan tujuan untuk menarik simpati dunia imperialis agar
mendukung rencananya untuk jadi Presiden kedua kalinya.

"BIRU PLUS" RAPOR HABIBIE DI MATA SOEHARTO
        Tentu saja akan berbeda jika rapor Habibie diisi Soeharto, yang
gurunya. Soeharto akan mengamati, apakah ia melaksanakan tugas yang
diembankannya 21 Mei 1998, ketika diangkatnya jadi Presiden atau tidak.
Soeharto memahami situasi yang cukup rumit bagi Habibie.
        Namun, sudah bisa diperkirakan, Soeharto akan memberikan angka "biru
plus " bagi Habibie, karena ia bisa mengelabui masyarakat, dengan
menyebutkan kabinetnya sebagai "Kabinet Reformasi". Seakan-akan ia pro dan
menjadi bagian dari gerakan reformasi. Padahal ia bertugas melaksanakan
politik Orde Baru Soeharto, yang telah mengangkatnya jadi Presiden.
"Tertipunya" masyarakat tercermin dari kekecewaan Amien Rais pada Habibie. 
Soeharto lebih mengacungkan jempol pada Habibie, karena menteri-menteri dan
pembantu yang diangkatnya semua bermental Orde Baru. Itu merupakan jaminan
bagi Soeharto bahwa dirinya, anak-anak dan cucunya tetap akan aman selagi
Habibie jadi Presiden.
        Soeharto juga memberikan angka "biru plus" untuk Habibie, karena ia
tidak sungguh-sungguh mengatasi kerusuhan dan kekacauan yang terjadi di mana
mana. Dengan tetap terjadinya kerusuhan dan kekacauan selama Habibie jadi
Presiden, maka Soeharto dapat berkata: "Selama 32 tahun kita mengalami
ketenangan, dengan tenang kita bisa menjaga stabilitas dan mengejar
pertumbuhan serta berusaha memerangi kemiskinan".
        Soeharto juga memberikan angka "biru plus", karena Habibie
membiarkan tumbuhnya politik uang. Dengan demikian memberikan peluang bagi
Soeharto menggunakan uangnya yang banyak untuk kepentingan keselamatan diri,
anak dan cucunya. Di antaranya membiayai partai jadi-jadian.
        Dan yang tak akan bisa dilupakan Soeharto, Habibie telah berjasa
besar padanya, sehingga persoalan KKN yang dilakukannya selama berkuasa,
tetap di awang-awang. 
        Soeharto tidak akan memberikan angka merah kepada Habibie karena
telah membebaskan tapol-napol, termasuk napol G 30 S, yang mulai membuka
sejarah G 30 S yang sebenarnya, sebab langkah itu bisa menjadi penutup
permainan Habibie yang pura-pura menyetujui reformasi, padahal sesungguhnya
tidak.
        Demikian juga tentang kebebasan pers, dan ditumbuhkannya
parpol-parpol. Tidak akan menyebabkan Soeharto memberi angka merah untuk
Habibie. Karena Soeharto tahu, bahwa kebebasan pers itu tidak diberikan pada
komunisme dan parpol yang berbahaya bagi Soeharto, ialah PKI dan oleh
Habibie tetap dilarang. Apa yang dikerjakan Habibie telah sesuai dengan
pesan yang disampaikan Soeharto ketika mengangkatnya jadi presiden.

HABIBIE CAPRES GOLKAR
        Karena itu tidaklah mengherankan jika Habibie oleh Rapim Golkar yang
terakhir, telah dipilih sebagai calon presiden dari partai Golkar. Karena di
mata Soeharto, Habibie telah menjalankan tugas politik yang diemabankan
padanya saat 21 Mei 1998 dengan cukup berhasil.
        Mencermati hasil Rapim Golkar, maka pakar politik Arbi Sanit melihat ada
tiga kubu yang bertarung di Golkar. Yakni kelompok reformasi yang dimotori
Marzuki Darusman; kelompok reformsi formal yang dikomandoi Akbar Tanjung dan
golongan status quo yang berusaha memenangkan Habibie.
        Menurut Arbi, kelompok reformis Golkar pasti tidak menginginkan Habibie,
yang sangat Soehartois. Sementara angkatan 66 yang ada di Golkar dapat
dipastikan berada dibelakang Akbar Tanjung. Kelompok ini ingin memperbaiki
Golkar dengan merubah visi, tapi tidak mengubah orang.Yang inginmerubah visi
dan orang adalah Marzuki Darusman.
        Menurut Arbi, kelompok Marzuki melihat bahwa Golkar terperosok pada
Soehartoisme. Dengan kemenangan Habibie di Rapm Golkar, maka jelas kelompok
reformis Golkar kalah. 

KESIMPULAN
        Jelas kiranya adalah keliru bila menilai BJ Habibie sebagai bagian
dari gerakan reformasi. Habibie adalah bagian dari kekuatan Orde Baru
Soeharto. ***


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke