Precedence: bulk


Seminar Aceh TU-Berlin 16 Juli 1999.

EKSPLOITASI SUMBER ALAM DAN TINDAKAN KEKERASAN DI ACEH

Menjelang abad ke 21 ini terdapat banyak pihak yang mengadakan
manuver politik untuk memojokkan pemenang pemilu Megawati dengan cara
melakukan kampanye penolakan Megawati sebagai presiden RI karena Megawati
seorang wanita. Tidak kurang dari 200 tahun yang lalu pada masa kesultanan
Aceh yang sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam pernah selama tiga
kali periode pemerintahannya masing2 dipegang oleh wanita. Sesungguhnya
dalam hal ini banyak yang layak dipelajari dari rakyat Aceh. Jangankan
belajar untuk mendalami sejarah Aceh, justru sebaliknya intimidasi, teror
dan bahkan pembunuhan besar2 an oleh pasukan bersenjata TNI terhadap
rakyat Aceh hingga kini tak dapat dihentikan. Permohonon maaf dari
Menhankam/Panglima TNI Jen. Wiranto tahun yang lalu ternyata tak bermakna
sama sekali.

Presiden Habibie yang pernah berjanji untuk mengadakan perbaikan di Aceh,
hingga kini tidak perduli atas rentetan pembunuhan dan aksi2 teror (yang
juga terjadi di daerah2 lainnya). Mengapa terjadi teror serta pembunuhan2
terhadap masyarakat Aceh? Benarkah aksi2 GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang
menyebabkan TNI untuk melakukan tindakan kekerasan yang keji di Aceh?
Siapakah sebenarnya GAM? Sumbangan tulisan kecil ini (dalam rangka Seminar
tentang Aceh Jumat 16 Juli 1999 di TU-Berlin) berusaha menjawab pertanyaan2
tersebut.

1.Aceh dan eksploitasi sumber alamnya.

Aceh merupakan salah satu daerah penghasil devisa terbesar untuk
Indonesia. Sejak eksploitasi gas alam LNG dan minyak bumi di tahun 1976
(oleh PT. Arun yang bekerjasama dengan perusahaan AS Mobil Oil), tidak
kurang dari $ AS 3 milyard pertahun dihasilkan oleh daerah Aceh tetapi
tidak untuk rakyat Aceh. Selain itu bumi Aceh dieksploitasi oleh perusahan
kayu dan semen untuk diekspor. Andaikata sejak awal eksploitasi seluruh
hasil2 bumi Aceh dapat dinikmati oleh penduduk Aceh yang jumlahnya relatif
sedikit dengan produksi padi yang memadai, maka pendapatan perkapita
penduduk Aceh saat ini pertahun bisa lebih besar dari pendapatan perkapita
Republik Federasi Jerman atau Swiss sekalipun!! 

Sungguh tragis bahwasanya daerah yang kaya akan energi ini tidak lebih
dari 10 persen desanya mendapatkan pasokan listrik yang cukup (Dawood dan
Syafrizal, "Aceh: The LNG Boom and Enclave Development", dalam Unity and
Diversity: Regional Economic Development in Indonesia Since 1970,
Singapur:1989). Menurut data dari Biro Pusat Statistik 1997, di tahun 1996
terdapat 91 persen penduduk Aceh yang pengeluaran perbulannya lebih rendah
dari kebutuhan pisik minimum perbulan yang ditetapkan oleh Departemen
Tenaga Kerja (untuk DI Aceh 1996: rata2 Rp 102.000,- per bulan). Pada
tahun 1977 akibat krisis ekonomi, lebih dari separuh daerah pedesaan Aceh
(51 persen) hidup dibawah garis kemiskinan. 

Hal ini terjadi karena hasil2 eksploitasi gas alam dan minyak bumi di Aceh
yang berlimpah itu sepenuhnya ditangani oleh PT. Arun dan PT. Mobil Oil
Indonesia (joint venture Pertamina, Mobil Oil dan konsorsium perusahaan2
Jepang). Kontrol atas penggunaan dana hasil ekspor tsb. hingga kini tidak
pernah ada, padahal instansi untuk melakukan hal itu tidak kurang
banyaknya (Badan Pemeriksa Keuangan, Irjen Departemen Pertambangan dan
Energi, DPRD I Aceh, Komisi VI, VII dan VII DPR). 

Setelah Riau dan Kalimantan Timur, Aceh merupakan penghasil devisa
ketiga terbesar. Bisa dibayangkan betapa pentingnya Aceh dalam pemasokan
dollar yang penting bagi kestabilan moneter Indonesia terutama dimasa
penanganan krisis ekonomi saat ini. Nilai investasi eksploitasi LNG sangat
besar dan diperkirakan melebihi jumlah total Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Indonesia. Dengan demikian tidak sedikit bisnis yang
terkait dengan eksploitasi sumber alam di Aceh yang menyangkut kepentingan
ekonomi golongan penguasa di Jakarta. Oleh sebab itu pemerintah pusat
menjalankan politik keamanan ekstra ketat untuk mengamankan kelangsungan
bisnis di Aceh.  

2. Sumber konflik di Aceh.

Pada awalnya ada segolongan elit di Aceh yang diuntungkan dengan
eksploitasi sumber alam ini. Selain itu terdapat juga golongan elit Aceh
yang tidak mendapat bagian bisnis eksploitasi LNG. Hasan Tiro dan
rekan2nya misalnya gagal memenangkan tender pemasangan jaringan pipa untuk
Mobil Oil pada tahun 1976 (tender tsb. dimenangkan oleh perusahaan dari
AS). Tidaklah mengherankan jika bekas perwakilan Darul Islam di luar negri
ini segera melancarkan gerakan protes dan memproklamasikan Gerakan Aceh
Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976 di kabupaten Pidie. Aksi bersenjata
pertama yang dilakukan terjadi pada tahun 1977 ketika PT. Arun baru
diresmikan operasinya. Sasaran gerakan tersebut pada saat itu adalah
pabrik PT. Arun dan tenaga2 ahli dari luar negri yang bekerja untuk PT.
Mobil Oil Indonesia di Aceh. Aksi Gerakan Aceh Merdeka lain terjadi pada
tahun 1989, yaitu protes terhadap korupsi, perjudian, pelacuran yang
meningkat akibat arus pendatang dari luar Aceh yang terlibat bisnis LNG.
Dengan demikian memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara
sendiri bukanlah dasar utama Hasan Tiro untuk mendirikan Aceh Merdeka.
Ketidak adilan ekonomi dan dominasi pusat atas daerah lebih merupakan
alasan mereka untuk melancarkan aksi2 mereka.

Hal yang serupa terjadi juga ketika Daud Beureuh di tahun 1953 menyatakan
bahwa  Aceh adalah bagian dari DI/TII Kartosuwirjo (hingga kini belum ada
bukti yang meyakinkan bahwa Daud Beureuh pernah bertemu dengan
Kartosuwirjo). Daud Beureuh
adalah gubernur pertama Aceh setelah Proklamasi yang pernah menyumbangkan
pesawat udara untuk pemerintah pusat agar supaya Presiden atau wapres RI
dapat mengunjungi luar negri untuk kepentingan2 diplomasi RI dengan
negara2 lain. Daud Beureuh kecewa karena setelah pengakuan kedaulatan
Belanda atas RIS, Aceh dijadikan bagian dari propinsi Sumatra Utara dan
wilayah Aceh termasuk teritorium I daerah militer RI dibawah komando
militer di Medan.

Hal ini menimbulkan kemarahan kalangan elit politik di Aceh sehingga pada
bulan September 1953 Daud Beureuh manyatakan Aceh sebagai bagian dari DI/TII
Kartosuwirjo. Gerakan Darul Islam Aceh pimpinan Daud Beureuh menghentikan
gerakan mereka dan berkompromi dengan pemerintahan RI di tahun 1962 dimana
Aceh mendapat hak otonomi dibidang keagamaan, kebudayaan dan pendidikan.
Daud Beureuh mendapatkan amnesti dan pengikutnya dibebaskan dari tuntutan2
hukum oleh pemerintah pusat. Sejak itu tidak terjadi lagi konflik Aceh
dengan pemerintah pusat hingga ketika LNG mulai dieksploitasi tahun 1976
dengan keputusan pemerintah pusat tanpa mengindahkan kepentingan2 lokal di
Aceh.  1979 Hasan Tiro bertolak ke luar negri meninggalkan Aceh dan akhirnya
bermukim di Swedia. Pada awal dekade 50an Hasan Tiro adalah duta besar kusus
Indonesia untuk PBB. 

3. Konflik dalam TNI dan kebrutalan di Aceh. 

Sejak beberapa waktu sebelumnya terjadi konflik terselubung antara
Presiden Suharto dengan Jendral Beni Murdani yang sejak 1983 berhasil
menghimpun kekuatan di ABRI. Pebruari 1988 beberapa hari sebelum masa
jabatan Jendral Beni Murdani berakhir, Presiden Suharto mengganti Jendral
Beni Murdani yang sejak 8 Maret 1983 menjabat Menhankam/Pangab dan
melantik Jendral Try Sutrisno bekas adjudan Presiden sebagai Pangab ABRI
sementara Beni Murdani terus menjabat Menhankam. Tanggal 9 Juni 1990
Pangdam I Mayjen. Joko Pramono digantikan oleh wakil Pangkostrad Mayjen.
H.R. Pramono yang dikenal dekat dengan Presiden Suharto karena antara
1985-1987 ia menjabat komandan Pasukan Pengawal Presiden. Mayjen. Joko
Pramono yang diangkat sebagai Pangdam I pada 12 Agustus 1988 oleh Jend.
Benny Murdani, dianggap oleh Presiden Suharto gagal membasmi Gerakan Aceh
Merdeka yang mengadakan aksinya pada tahun 1989. Pangdam I Mayjen. Joko
Pramono waktu itu berusaha menangani aksi2 tsb. tidak dengan langsung
melakukan serangan2 militer melainkan berusaha mendekati para tokoh ulama
di Aceh untuk turut mengurangi tensi sosial yang ada.

Atas perintah Presiden tanggal 6 Juli 1990, 6000 pasukan bersenjata dikirim
ke Aceh hingga total pasukan ABRI menjadi sekitar 12.000. Salah satu
batalion yang baru didatangkan antara lain adalah 2 batalion Kopassus,
batalion Brigade 17 Infantri yang dipimpin oleh Kolonel Prabowo Subianto
(LBH, Laporan Observasi Lapangan di DI Aceh, Jakarta, 1990). Hal ini
menunjukkan bahwa Presiden Suharto ingin agar Aceh langsung di bawah
kendalinya dan tidak lagi oleh Pangdam I Bukit Barisan yang berkedudukan di
Medan.  Komandan Korem 011 Liliwangsa (Lhok Seumawe) dan Komandan Korem 012
Teuku Umar (Banda Aceh) segera diganti. Kolonel Sofjan Effendi seorang asli
Aceh, perwira Kopassus, sejak 12 Agustus 1989 menjadi Komandan Korem 011
sekaligus komandan DOM (Januari 1992 jabatan ini
dipegang oleh Kolonel Syarwan Hamid sedangkan Kolonel Sofjan Effendi naik
pangkat menjadi Brigjen. dan menjabat Pangdam I Bukit Barisan).

Pada tahun 1989 setelah aksi GAM, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer
(DOM) dan pusat komando DOM bertempat di Lhok Seumawe persis dekat lokasi
operasi LNG. Tahun 1990 Operasi Jaring Merah untuk membasmi GAM segera
dilancarkan. Penangkapan2 dan pembakaran2 rumah yang diduga berhubungan
dengan GAM mulai dilakukan dengan semena mena. Sejak itulah  rakyat Aceh
menderita akibat teror yang dilancarkan oleh pasukan ABRI dengan dalih
untuk membasmi GAM. Dalam kaitan itu, kerjasama ABRI-sipil juga dilakukan.

Kerjasama tsb. menghasilkan organisasi2: Unit Ksatria Penegak Pancasila,
Bela Negara, Pemuda Keamanan Desa dan Lasjkar Rakyat. Tidak kurang dari
10.000 penduduk sipil dipersenjatai dengan senjata2 tajam dan dikerahkan
melalui organisasi2 tsb. Akibatnya adalah terjadinya perang saudara
dikalangan penduduk Aceh karena banyak penduduk Aceh yang merasa dihianati
oleh para "cuak" (mereka yang bekerjasama dengan ABRI) dan menuntut untuk
membalas dendam. Kebrutalan yang terjadi sejak diresmikannya DOM sungguh
keji dengan maksud agar masyarakat merasa sangat ketakutan sehingga jera
dan menyerah. Sejak 1991 hingga 1998 diperkirakan 3800 hingga 5000 jiwa
meninggal dunia, banyak wanita yang diperkosa dan 100.000 orang mengungsi
dan banyak yang meninggal di pengungsian karena kelaparan dan terjangkit
penyakit (Al Chadar, Aceh Bersimbah Darah, 1998). 

Pada awal tahun 1989 pasukan ABRI melancarkan Operasi Nila dalam
rangka membasmi usaha2 penanaman dan perdagangan ganja. Operasi tsb.
menemukan sekitar 2 ton ganja dan membakarnya (ada dugaan bahwa sebetulnya
ganja yang disita mencapai 8 ton).  Tidak kurang dari 47 prajurit ABRI
dipecat karena terlibat sindikat perdagangan ganja yang sebagian besarnya
dieksport. Tidak sedikit prajurit ABRI yang menyeberang dan berpihak pada
GAM. Dari sekitar 50 orang yang diadili karena keterlibatan mereka dengan
GAM sekitar 10 diantaranya adalah bekas anggota ABRI.

Salah seorang anggota ABRI yang bergabung dengan GAM adalah sersan Robert
Suryadarma dari batalion 111 Aceh Timur yang diduga terlibat sindikat
perdagangan ganja dan kini bersembunyi di Malaysia. Robert Suryadarma
sebenarnya bukan orang Aceh tetapi menyatakan bahwa dirinya adalah
pengikut GAM versi Rizal Gading, saingan dari Hasan Tiro (Amnesty
International, Shock Therapy: Restoring Order in Aceh, 1989-1993, London,
1993). Majalah Far Eastern Economic Review edisi 19 November 1998
melaporkan bahwa beberapa anggota ABRI berfungsi sebagai debt collector,
penjual jasa keamanan bahkan malakukan pungutan2 liar. Bus2 umum sering
dicegat oleh anggota ABRI dalam rangka melakukan "pungli". Pengusaha2 di
Aceh yang membutuhkan jasa transport antar kota seringkali menyewa truk
milik ABRI karena tidak akan ada yang berani melakukan pungli (padahal
ABRI tidak diperkenankan untuk menyewakan truknya untuk tujuan2 komersil).

4. Kesimpulan.

Dengan tidak mengurangi tingkat penderitaan rakyat Indonesia
didaerah lain, tidak dapat disangkal bahwa penderitaan yang dialami rakyat
Aceh sudah sedemikian besar sudah sekian lama. Selain itu pula kekayaan
bumi Aceh sejak 1977 yang tiap tahun berjumlah tidak kurang dari $ AS 3
milyard mengalir keluar dari Aceh  menuju ke segelintir pihak yang
memegang kekuasaan yang ditunjang oleh ABRI. Persoalan ketidak adilan di
Aceh berdimensi internasional. Penguasa elit di Indonesia dengan bekerja
sama dengan kepentingan ekonomi Jepang dan AS tidak rela bahwa sumber
ekonomi mereka di Aceh dibagikan pada rakyat Aceh yang sebenarnya lebih
membutuhkan. Untuk itu pemerintah RI (terutama sejak 1989) mengerahkan
pasukan bersenjata ekstra dengan strategi dan metode2 kusus. Selain itu
prajurit2 ABRI di Aceh melakukan praktek2 bisnis yang tidak ada kaitannya
dengan proyek anti GAM. 

Sejak diresmikannya Aceh sebagai DOM metode "schock theraphy"(kekejaman
yang berlebihan untuk menimbulkan rasa takut yang besar dikalangan
masyarakat) digalakan oleh ABRI untuk mengamankan proyek LNG PT. Arun
dengan dalih "membasmi GAM". Padahal, seperti dikatakan sebelumnya, tidak
sedikit elemen2 GAM yang tumbuh sebagai akibat praktek2 bisnis atau
kegiatan2 yang korup dari pihak ABRI di Aceh. Perlawanan2 atau aksi2
protes rakyat Aceh yang pada mulanya berdasar pada ketidak adilan dalam
pembagian sumber2 ekonomi bergeser pada protes terhadap kekejaman2 serta
pelanggaran2 atas hak2 azasi di Aceh. Tuntutan referandum yang dilakukan
para mahasiswa terjadi bukan merupakan dukungan terhadap GAM melainkan
lebih kepada reaksi terhadap kekejaman atas rakyat Aceh sejak 1989. GAM
dibawah Hasan Tiro sebenarnya lebih merupakan aksi untuk mencapai keadilan
dalam pembagian hasil2 bumi Aceh. Konsep Aceh Merdeka an sich tidak pernah
terungkap secara jelas, apalagi setelah adanya perpecahan dan rivalitas
dalam tubuh GAM (Hasan Tiro cs. vis a vis Rizal Gading cs.). 

Dengan diterapkannya kerjasama ABRI-Sipil dalam operasi militer di Aceh,
terjadi perang saudara hingga masyarakat Aceh terpecah pecah. Hal ini
dengan sendirinya melemahkan gerakan2 perlawanan anti kekerasan di Aceh.
Sungguh tragis!

Tulisan ini dimaksudkan untuk meminta perhatian dari kita semua agar
terbentuk solidaritas bersama untuk membantu rakyat Aceh yang tertindas
dan berusaha agar tindakan2 kekejaman selama ini terjadi (tidak saja di
Aceh) dapat dihentikan dan tidak terulang kembali. Sekian! (R.Priyanto,
Berlin 15 Juli 1999).

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Reply via email to