Precedence: bulk


Jurnal Penentuan Pendapat [01]: Kasus

PELECEHAN SEKSUAL OLEH GURU

Malang betul nasib Sal.  Kamis, 27 Juni silam, ia diperlakukan semena-mena
oleh Victor Predroso Borges, 33 tahun. Victor yang merangkap sebagai
komandan milisi Darah Merah Integrasi itu mencoba memperkosa Sal. Awalnya,
Victor mendatangi perempuan berusia 42 tahun itu. Bapak guru itu bermaksud
mengajak tidur Ny. Mar. Katanya, sang suami tak mungkin kembali lagi. Ke
mana perginya suami Sal itu? Menurut kabar, Mar meninggalkan kampungnya
karena ancaman dari pihak keamanan. Ia memberi iming-iming uang Rp 10.000
jika Sal mau tidur bersama lelaki itu. Tentu saja Sal menolak. Nasib baik
ternyata masih berpihak pada Sal. Victor segera kabur dari rumah Sal di
Kampung Tata, Kabupaten Ermera. 

**

AMARAL DIBUNUH LAKSAUR MERAH PUTIH

Sehubungan dengan akan dibentuknya Pam Swakarsa di wilayah Kab. Kovalima,
maka unsur Tripides (Tiga Pimpinan Desa) setempat mengumpulkan seluruh
laki-laki. Rapat perencanaan itu diadakah di kantor kepala desa, di Matai,
pada 17 April lalu. "Demi menjaga keamanan di desa ini, maka perlu dibentuk
keamanan swakarsa," ujar pimpinan desa itu. Rupanya rapat kali itu tak
berjalan mulus. Amaral (32 tahun) meminta kepada Tripides agar
mempertimbangkan rencana pembentukan milisi tersebut. Alasannya,
"Seharusnya pihak Tripides agar menjelaskan kepada masyarakat tentang
maksud, tujuan serta program pembentukan milisi tersebut." Usulan Amaral
yang juga tokoh agama setempat ada dasarnya. Ia melihat pengalaman di
daerah-daerah lain di wilayah Kovalima. Kehadiran milisi membuat masyarakat
resah dan justru merasa tidak aman. Milisi Laksaur Merah Putih yang waktu
itu hadir tentu saja berang. Rapat kemudian ditutup pukul 10.15 malam.
Pertemuan akan dilanjutkan keesokan harinya. 

Pagi itu, semua penduduk laki-laki berkumpul kembali di rumah kepala desa.
Di sana diselenggarakan pesta. Acara makan bersama itu berlangsung hingga
sore hari. Rupa-rupanya ada pihak yang tengah mempersiapkan rencana lain.
Sehari kemudian, sekitar pukul 10 pagi pihak milisi tengah mengepung rumah
Amaral. Lalu, Nicolau, Andreas Coli dan Bete Aloi masuk ke rumah sambil
menunjukkan foto Amaral. Istrinya mempersilakan tamunya itu duduk. "Suami
saya sedang berdoa di Oratorio", kata Ny. Amaral. Saat itu salah seorang
anak mereka sedang sakit. Langsung saja mereka menangkap dan memborgol ayah
tiga anak itu. Korban dipukul, ditampar mukanya lalu ditendang hingga
terkapar. Bete Aloi segera mengendarai motornya dengan kencang. Rupanya ia
mengambil trukl Hino di Kodim Kovalima. Begitu mobil datang, korban yang
sudah tak berdaya segera dimasukkan ke dalam mobil. Siksaan tak berhenti di
situ. Ia masih dipukuli dengan laras senjata. Ia berteriak memanggil istri
dan nama Tuhan sambil menangis. Istri dan ketiga anaknya hanya bisa
menangis sambil menatap siksaan yang dialami Amaral. Masyarakat di sekitar
rumah mereka pun tak mampu menolong. Mereka hanya menatap kepergian guru
agama mereka. 

Penangkapan dan penyiksaan atas diri Amaral segera diketahui Pastor Paroki
setempat. Pastur dan Suster segera berangkat ke Kodim untuk mencari tahu
alasan penangkapan Amaral itu. Namun, pihak Kodim dan Laksuar Merah Putih
diam seribu basa. Pada kedatangan mereka yang ketiga kalinya, seorang
Suster malah diancam akan ditembak. Setelah beberapa minggu kemudian
misteri kepergian Amaral tersingkap. Masyarakat di Salele memberi tahu
mereka. Amaral telah dibunuh secara kejam oleh milisi. Ny. Amaral bersama
ketiga anaknya hanya bisa berdoa. Mereka hanya pasrah. Dan tak tahu kenapa
suami dan ayah mereka dibunuh.


**

PEMBUNUHAN WARGA DESA MANUSAE

Beberapa saksi mata warga Kampung Klaet Rema, Desa Manusae, melihat tiga
orang  aparat datang ke rumah FN (35 tahun) pada 18 Juni lalu sekitar pukul
14.00. Mereka kemudian diketahui bernama Jose Maria, anggota Milisi Darah
Merah; Juliao dan Maubere anggota Koramil. Ternyata mereka menangkap FN. Ia
dibawa ke Markas Pasukan BTT 143 di Kampung Ilmanu, yang sekaligus menjadi
markas Milisi Darah Merah. Ketika di tahan, pihak keluarga tidak berhasil
mengunjungi FN. Pada keesokan harinya, warga menemukan FN sudah menjadi
mayat. Menurut keterangan saksi mata, kemungkinan besar korban disiksa
sampai mati di Pos BTT itu. Pada saat yang sama, tujuh warga Desa Manusae
juga ditangkap oleh anggota Milisi Darah Merah itu. Namun, karena alasan
yang tidak jelas, mereka kemudian dibebaskan. 

**

APARAT  DAFTARKAN  CALON PEMILIH 

Pada 27-28 Juni 1999, aparat desa di Desa Comoro, Dili Barat telah
melakukan kecurangan. Mereka mencatat nama warga demi kepentingan jajak
pendapat yang rencananya akan diselenggarakan pada Agustus mendatang. Dalam
melakukan pencatatan itu sebagian warga masyarakat merasa diintimidasi.
Jika tidak mendaftarkan diri mereka akan dibunuh, meskipun berada di
samping Polisi Sipil UNAMET. Beberapa kampung di Desa Comoro juga telah
dicatat namanya sebagai calon pemilih. Formulir pendaftaran itu
ditandatangani kepala desa Comoro, Victorino dos Santos lengkap dengan cap
desa Comoro. Sebagian warga desa itu percaya, bahwa yang berhak melakukan
pendaftaran adalah pihak UNAMET, bukan aparat desa. Mereka pun tahu apa isi
kesepakatan 5 Mei di New York. "Karena nyawa kami di ujung senjata, maka
kami menurut saja perintah dari wakil Pemerintah Indonesia," kata sejumlah
warga. Warga juga tahu, bahwa pendaftaran bagi calon pemilih akan dilakukan
sampai dengan tanggal 13 Juli mendatang. 
Jika terjadi kecurangan di tempat masing-masing, warga harus melaporkannya
ke Komite Pemantau Jajak Pendapat di Kantor Yayasan HAK di Farol atau
langsung ke Markas UNAMET di wilayah masing-masing. 

**

Kasi Intel Kodim 1636 Bobonaro, Lettu Sutrisno secara terang-terangan
mengancam wartawan Harian Suara Timor Timur (STT), Lourenco Vicente
Martins. Ancaman itu dilontarkan Sutrisno ketika kelompok pro otonomi
melakukan sosialisasi otonomi di berbagai desa di Kabupaten Bobonaro.

Di depan masyarakat, Sutrisno mengatakan bahwa Lourenco saat ini menjadi
musuh dari semua milisi dan Kodim Bobonaro, karena Lourenco, kata Sutrisno,
adalah wartawan yang memberikan informasi tentang kekerasan di Bobonaro
kepada beberapa kantor berita asing. "Dia juga yang membawa anggota UNAMET
ke Bobonaro. Dia adalah musuh yang perlu kita habisi," teriak Sutrisno di
depan masyarakat.

Beberapa warga masyarakat kepada MateBEAN mengatakan bahwa, dengan
emosionalnya, Sutrisno mengatakan saat ini pihaknya terus-menerus mencari
wartawan STT itu, untuk ditangkap dan di "sekolahkan" (artinya dibunuh).
"Kita akan mencari dia walaupun dia lari dan sembunyi di liang kita akan
tetap mencari dia dan percayalah kita akan temukan," kata Sutrisno.

Dengan ancaman kematian itu, Lourenco Martins, yang juga koresponden Harian
The Jakarta Post, saat ini tidak bisa bekerja dengan leluasa. Bahkan
dikabarkan bahwa Lourenco juga mulai bersembunyi dari satu tempat ke tempat
yang lain untuk menghindari penangkapan anggota Kodim Bobonaro. 

**

PAM SWAKARSA MENGAMUK DI DESA DARE

Pada 25 Juni lalu, tiga anggota Pam Swakarsa bernama Moijes Carvalho (17
tahun), Abel dos Santos (27 tahun), dan Domingus Caldes (24 tahun)
melakukan pengrusakan Kantor Desa Dare, sekitar 12 kilometer dari Dili.
Awalnya, mereka dipaksa sang kepala desa menjadi anggota Pam Swakarsa.
Mereka dijanjikan upah Rp 150 ribu. Tugas mereka adalah menjaga kantor
kepala desa. Seharusnya gaji dibayar pada akhir bulan Mei. Ternyata janji
tinggal janji. Pada 30 Mei lalu mereka menagih upah itu ke Domingos
Ribeiro, Kepala Desa Dare. Ketika keduanya menanyakan, kepala desa itu
berjanji akan membayar gaji pada  tanggal 4 Juni. Namun, ketika mereka akan
menemui kepala desa, mereka berpapasan dengan Riberio di jalan. Ia  hanya
melambaikan tangan. Ulah kepala desa itu tentu  membuat berang kedua
anggota Pam Swakarsa itu. 

Pada saat ditemui reporter Jurnal Penentuan Pendapat, mereka  mengatakan,
benar telah merusak kantor Kepala Desa Dare, karena tidak tahan dengan
janji palsu kepala desanya itu. "Setiap kembali ke rumah saya sering
dimarahi orang tua, karena tak pernah membawa pulang uang", kata  Moijes
Carvalho. Kedua anggota Pam Swakarsa tak sabar lagi. Sebelum merusak kantor
kepala desa mereka terlebih dulu menenggak tuak mutin sampai teler. Akibat
kemarahan mereka, daun pintu dan kaca di kantor kepala desa itu hancur
berantakan. Salah seorang di antara mereka mengatakan, "Kalau pemerintah
tidak punya dana untuk membayar gaji kami, lebih baik terus terang. Jangan
berbohong." 

Tiga hari setelah peristiwa itu, Domingos  Ribeiro  melaporkannya ke Polres
Dili. Padahal, semula sudah ada kesepakatan antara para pelaku dengan
kepala desa setempat agar persoalan itu diselesaikan secara kekeluargaan.
Polres dan kepala desa itu lalu kembali ke Dare untuk menangkap kedua
anggota Pam Swakarsa itu. Mereka dibawa ke Polres tanpa surat penangkapan.
Ketika dikonfirmasi ke kantor Polres Dili, salah seorang anggota polisi
menyatakan, "Kami tidak bisa mengeluarkan surat penangkapan dan surat
penahanan, karena keduanya ditahan kurang dari 24 jam." Pihak Polres
menyatakan, masalah itu seharusnya diselesaikan dulu di desa, baru dibawa
ke ke kantor polisi. Dua pelakunya sampai saat berita ini diturunkan masih
dalam proses interogasi untuk mendapatkan bukti-bukti.

Dalam penyelidikan, Abel dos Santos diduga tak terlibat dalam peristiwa
perusakan kantor kepala desa tersebut. Pada hari itu ia segera dibebaskan.
Namun, pihak Polsek Dili Barat tidak menjelaskan bagaimana proses
selanjutnya. Saat ini mereka masih ditahan di Polres Dili.

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Reply via email to