Precedence: bulk hersri setiawan: Peri Kebinatangan [2] cerita singkat untuk oom sobron BELUM lagi kering ludah di tanah, kesaksianku seperti mendapat penunjang pembenaran. Kemarin dulu aku mengirim melalui SiaR, cerita singkat "Peri Kebinatangan" untuk Oom Sobron. Hari berikutnya aku ke Amsterdam dengan naik kereta api. Seperti sedia kala. Yang tidak seperti sedia kala, yaitu bahwa sudah sejak sekitar satu bulan ini, jika pergi pagi aku tidak perlu membawa koran dari rumah. Untuk bacaan di perjalanan sekarang, setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu, di stasion sudah selalu tersedia bacaan gratis. Sebuah koran harian, "metro" namanya - dengan "o" yang berupa bola dunia bergaris-garis lintang dan bujur, format kira-kira 40 x 28 Cm, terdiri tak kurang dari dua puluh empat halaman, masing-masing lima kolom. Iklan tersebar di sana-sini, yang kalau digabung meliputi kira-kira 25 % dari seluruh ruang yang tersedia. Muatan beritanya dikemas pendek-pendek, mudah dibaca, dan banyak gambar. Pendeknya format dan cara penyajian "metro" memang berbentuk tabloid. Walaupun begitu corak sensasional, yang lazimnya dikaitkan dengan tabloid, tidak terkesan pada koran ini. Sebaliknya "metro" malah cenderung kering dan serba lugas. Dalam koran inilah cerita singkat "Peri Kebinatangan", yang kutulis untuk oom Sobron kemarin itu, seperti mendapati pembenarannya. Mari kita ikuti halaman-halaman "metro" beberapa jurus. Tabloid "metro" bersifat umum, sehingga isi muatannya pun - baik yang nasional maupun internasional - beraneka macam; dari soal perang Kashmir sampai istri ditikam mati oleh suami, dari urusan perdagangan karcis gelap sampai kartun menyindir kereta api Belanda yang tak pernah tepat waktu - walaupun hanya 5-10 menit. Yang aku mau ceritakan ialah "metro" edisi kemarin, hari Rabu 14 Juli, khusus tentang isi muatannya yang oleh juru opmak justru ditaruh di tengah. Ini pasti bukan satu hal kebetulan. Sebuah karangan dua halaman penuh, 12 dan 13, dengan "banner headline" yang - untuk rasa keadilanku - bernada "provokatif". Pada hal. 12 terdapat dua foto, masing- masing tiga kolom yang hampir meliputi 50% ruangan, dan pada hal. 13 satu foto selebar halaman, yang makan ruang lebih dari separoh. Oom Sobron, Tentang isi karangan utama tabloid inilah aku mau cerita. Mudah-mudahan cerita ini tidak akan menjadi semacam nada sumbang bagi gegap gempitanya nada-nada perjuangan di tanahair. Tapi komentar apa pun yang akan Anda katakan, aku sambut dengan selamat datang. JUDUL artikel yang kubilang "provokatif" itu, seandainya dalam Indonesia, terbaca: "Pemanusiawian Atas Binatang Yang Mati". De vermenselijking van het dierlijk sterven. Perhatikanlah, penulis artikel sengaja menggunakan kata "sterven" bukan sekedar "dood". Jadi, sebenarnya, aku kurang manusiawi (atau hewani?) dengan menerjemahkannya sekedar sebagai "mati", dan bukannya "berpulang" atau "tewas" atau "tutup usia". Selanjutnya teks pada foto pertama, halaman 12 atas, terbaca: "Pemakaman hewan piaraan memperlihatkan cara-cara yang sangat mirip dengan pemakaman manusia". Foto ini mengabadikan dua orang laki-laki memegangi tambang yang, dengan berhati-hati menurunkan peti mati ke lubang kubur. Di latar belakang tampak satu karangan bunga di depan dua laki- laki yang berdiri khidmat. Yang satu dengan tangan ngapurancang, dan yang lain menahan emosi dengan menggigit ibujarinya. Di antara kedua mereka ini berdiri seorang perempuan yang tampak sibuk menyeka airmatanya yang mengalir. Foto kedua dipasang di atas teks: "Jika anda suka mengkremasinya, diperlukan biaya 65 sampai 225 gulden". Yang tampak: dua laki-laki sedang menaruh satu peti mati di meja, yang di atasnya ditaruh karangan bunga lengkap berikut pita putih bertulis kata-kata dukacita; di sudut kiri laki-laki bersidekap sepi, dan di kanan seorang perempuan bermata sembam lantaran tangis. Di halaman kanan, halaman 13, foto besar sebuah ruang duka, di atas karangan Mariėtta Nolen yang berjudul "Rust zacht, lieve Mariska" (Istirahatlah dengan tenang, Mariska sayang). Tampak pada foto: peti mati terbuka, berlapis kain putih yang ditata rapih, "jenazah" anjing di dalamnya; di sudut kiri karangan bunga di jambangan dan sebuah lampu, juga di sudut kanan tapi tanpa lampu; di atas semuanya ini, tergantung pada tembok lukisan dua bocah malaikat memandang langit dengan wajah duka. Maris, panggilan kesayangan Mariska, "meninggal" setelah lima belas tahun menjadi anggota keluarga pemiliknya. Ia tidak dikremasi, tapi dikubur. Pada pusara kuburnya yang terbuat dari batu marmar, terpahat kata-kata: 'Rust zacht, lieve Mariska. Je was ons liefste bezit, vrouwtje en baasje' (Istirahatlah tenang-tenang, Mariska sayang. Engkau adalah milik, perempuan mulia, dan indung kami tercinta). Ia dikubur dengan segala upacara perpisahan dan penguburan yang tak banyak bedanya dengan pemakaman jenazah manusia. Hanya tentu saja tanpa adanya simbol-simbol keagamaan di sana. Tapi kuburan hewan 'Viviana" di Prinsenbeek, sebuah kota kecil dekat Breda, bisa dibilang memang semacam turunan makam biasa, hanya saja dalam bentuk yang lebih kecil. Pusara- pusara binatang piaraan ini, seperti halnya pusara manusia, selain diperkhidmat dengan pahatan kata-kata, juga ditaruh berbagai pelengkap: bunga, tanaman hias, lampu atau tempat lilin, dan foto. Ada yang tampak selalu terawat, tapi ada juga yang terbengkelai lumutan. Tapi hampir semuanya dengan prasasti bertulis: 'istirahatlah dengan tenang, .... sayang'. Kuburan 'Viviana' berisi 1150 pusara. Umumnya anjing dan kucing. Tapi juga kelinci, hamster (sejenis tupai), merpati, babi, dan kuda. Konon, andaikata ada seorang anak membawa 'jenazah' ikan mas pun, kuburan 'Viviana' tidak akan menolaknya. Biaya penguburan binatang lebih mahal sedikit saja ketimbang biaya kremasi. Tapi bisa juga mencapai lima ribu gulden jika orang mengingini peti berkualitas di atas standar, nisan dari marmar putih, dipasang monumen megah dan pagar yang mewah. Upacara 'penghormatan terakhir' biasanya berlangsung di semacam ruang tamu yang disekat dengan gorden. Di belakang tabir itu terletak sebuah meja dengan peti mati di atasnya, di mana 'mayat' binatang kesayangan dibaringkan. Di depan tabir keluarga yang belasungkawa ditemani para tamu yang berbela rasa sambil minum kopi dan makanan kecil ala kadar, sebelum mereka bersama-sama mengantar 'jenazah' ke peristirahatannya yang terakhir. Bagi pemilik yang tidak berwatak sentimentil umumnya lebih suka mengkremasi hewan piaraannya yang mati. Kremasi bisa dilakukan bersama-sama, dengan biaya antara 65 sampai 225 gulden; tapi juga bisa dilakukan secara sendiri, tentu saja dengan biaya lebih mahal, yaitu sekitar 125 sampai 295 gulden. Termasuk di situ biaya penaburan abu di laut dan pengiriman sertifikat kremasi ke alamat pemilik. Untuk mereka yang tidak ingin abu binatang piaraan itu dibuang di laut, tapi ingin membawanya pulang dan menyimpan di rumah, krematorium menjual buyung tempat abu dengan harga sekitar lima ratus gulden. Ada juga pemilik yang hanya minta sedikit abu, untuk disimpan di dalam bandul kalung. Ada juga yang, untuk dipakai sebagai bandul kalung atau medali, minta diambilkan sepotong kuku atau gigi taring, sebelum hewan kesayangan itu masuk tanur pembakaran. Tapi krematorium juga punya aturan. Kuku atau gigi masih diperbolehkan. Tapi ia tidak akan mengijinkan, jika si pemilik minta agar dipotongkan ekor atau kuping binatang kesayangannya itu. Oom Sobron, Untuk penambah pengetahuan perlu juga kucatatkan, Yayasan Krematorium Hewan Piaraan Belanda didirikan belum lama. (Bagaimana di Perancis?) Baru dua puluh tahun lalu, oleh Nyonya Van de Arend, pengelola 'rumah' binatang-binatang piaraan. Usahanya dimulai sepulang ia dari berlibur di Swis, di mana ia bertemu dengan seseorang yang mempunyai gagasan tentang krematorium untuk hewan piaraan. Oom, Cerita singkat "Peri Kebinatangan" yang kedua dan terakhir ini, akan aku tutup. Penutup ini berupa kesimpulanku, bahwa cinta mereka pada binatang piaraan sesungguhnya hal yang lumrah saja bagi kehidupan normal. Pemanusiawian terhadap binatang, piaraan atau bukan, masih juga lumrah di dunia Timur. Juga di kalangan petani, kaum yang di masyrakat kita dipandang sebagai paling miskin, juga miskin budaya (sic!). Perhatikanlah bangunan rumah petani di desa. Di pekarangan mereka yang menampak pertama justru kandang ternak sapi, kerbau atau kambing. Baru kemudian menyusul pendapa, rumah, dan dapur. Di Wanasari Gunung Kidul Yogya, misalnya, setidak-tidaknya sampai pada sekitar tahun 50- an akhir, di malam hari petani akan selalu mengajak sapi atau kambing mereka "tidur" bersama-sama di dalam rumah. Pengalamanku sendiri ketika masih 12 tahun. Aku lulus ujian negara SD untuk masuk SMP (begitu di jamanku dulu). Sesudah sekejap bersorak girang, aku menangis sampai habis airmataku. Bagaimana tidak? Aku tidak punya uang untuk membayar uang masuk. Kami tujuh anak bersaudara. Hidup kami lebih banyak hanya bersandar pada keahlian Ibu membuat kain batik tulis halus. Satu-satunya jalan, untuk bisa terus bersekolah, aku harus menjual "Babon Tuwa", yaitu Ayam Betina kesayanganku dan kesayangan kami sekeluarga. Di antara semua ayam milik kami, si Babon Tuwa memang yang paling tua dan juga paling lama 'ikut' kami. Tubuhnya tidak gemuk tapi padat berisi, dan warna bulunya gondang manis. Kelabu kekuningan. Kalau lagi bertelur ia memberi kami tak kurang dari duapuluh butir, tidak hanya tujuh atau sepuluh seperti babon-babon yang lain. Kalau ia mengerami, berkat bulunya yang lebat sehingga memberi cukup kehangatan, tidak ada satu pun yang wok-an atau tidak menetas. Lain lagi cerita tentang hubungan afeksi antara tapol di Buru dengan hewan piaraan mereka. Semua barak tapol mempunyai binatang piaraan anjing. Umumnya tak kurang dari sepuluh ekor. Tujuan memelihara anjing mula-mula, demi gampangnya katakanlah, sebagai cadangan pangan belaka. "Untuk persediaan protein", menurut bahasa tapol. Sebab hanya anjing sajalah yang aman dari gangguan perampasan oleh "laler ijo" (lalat hijau), jargon tapol untuk tentara Angkatan Darat penguasa unit. Tapi, selain sebagai "persediaan protein", anjing juga hewan yang mempunyai daya cium sangat tajam, cerdas, dan yang watak kesetiaannya sesungguhnya patut diteladani manusia. Kalau tapol sedang mencuri waktu beristirahat di areal, misalnya, atau sedang sibuk menyembunyikan hasil panenan kebun barak, tiba-tiba dari jauh tonwal atau petugas lainnya berjalan mendekat, anjing-anjing kami akan menggonggong beramai-ramai. Seakan-akan hendak memberi peringatan pada "saudara-saudara mereka" yang tapol: "Awas! Laler Ijo datang!" Lalu jika tapol sedang wajib upacara bendera di lapangan apel. Tidak jarang beberapa anjing mengikuti kami. Duduk diam di belakang barisan. Jika ada tapol yang dipukuli, misalnya karena bersikap tegak tidak sempurna atau salah meneriakkan angka bilangan ketika berhitung, anjing-anjing itu akan menyalak bersahut-sahutan sehingga perhatian tonwal menjadi beralih. Lalu Irup, Inspektur Upacara, akan menghentikan penganiayaan yang menimbulkan hiruk-pikuk itu. Ada lagi anjing- anjing kami yang, sambil duduk di samping pemiaranya, tahu bagaimana menyatakan rasa "setia kawan". Mereka, dengan mata kerdap-kerdip, ikut rengeng-rengeng ketika kami semua harus menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Anjing-anjing tapol yang sudah "menjadi manusiawi" demikian, seperti juga kambing Mbah Dar (bukan nama sebenarnya) di Unit III, yang selalu ikut makan singkong rebus sambil duduk di bangku bersama "kawan-kawannya", memang sudah bukan lagi berperanan sebagai "persediaan protein". Mereka sudah menjadi sahabat-sahabat tapol sejati, yang sama sekali tidak bisa didudukkan sederet dengan penguasa dan para pengawalnya. Jadi Oom, menurut aku, pemanusiawian yang beralih pada hewan itu, pada masyarakat tapol, karena dihadapkan pada kenyataan. Bahwa harkat peri kemanusiaan, notabene yang selalu harus diteriakkan di pagi-pagi buta setiap hari beramai-ramai, telah mentok tertumbuk pada benteng manusia robot-robot militerisme yang berhati timah. Beda kiranya dengan pemanusiawian binatang yang menggejala pada "masyarakat makmur" di Belanda dan "dunia belahan utara" lain-lainnya. Bukan karena "era kemanusiaan" sudah tamat mereka lalui, dan sekarang mereka memasuki "era kebinatangan". Tapi karena mereka ingin keluar dari era kemanusiaan, justru karena telah dibikin tak berjuntrung oleh kapitalisme, sementara itu yang membayangi hidup ialah peringatan hukum kemutlakan: "survival of the fittest". Tapi Oom, bagaimanapun juga, jalan pelepasan yang mereka tempuh toh masih mulia. Setidak-tidaknya mereka menyikapi binatang sebagai sesama makhluk di depan Jagad Raya. Beda laksana bumi dan langit dengan sikap Maharaja Suharto di kala baginda itu masih bertahta. Dia main "dor! dor! begitu saja" terhadap "orang-orang jahat" [baca sekali lagi: "orang-orang" bukan "binatang"] tanpa proses pengadilan. Dengan mengerahkan juru tembak bayaran yang diberi sebutan, berlindung di belakang nama "Petrus", Orang Suci tua-tua dua belas rasul Isa Almasih itu. Sementara orang Belanda membawa "jenazah" anjing, kucing atau babi piaraannya ke pemakaman atau tanur kremasi dengan segala rasa khusuk. Tapi Maharaja Suharto dengan angkuh mengaku: "Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya." (Semua kutipan bertanda "-" di atas, dari Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya; 1989: 389-390). Oom Sobron, aku sudahi di sini. Sampai cerita singkat yang akan menyusul.*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html