Precedence: bulk


[DIREITO, No. 2/27 Juni '99]

POLITIK DAN PENEGAKAN HUKUM DI WILAYAH SENGKETA

(OPINI). "Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada
warga negaranya. Keadilan merupakan syarat tercapainya kebahagiaan hidup
bagi warga negara dan sebagai dasar daripada keadilan itu perlu diajarkan
rasa susila kepada setiap manusia, agar ia menjadi warga negara yang baik."
(Aristoteles)

PENGANTAR
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pengintegrasian Timor Timur ke dalam negara
kesatuan RI melalui deklarasi Balibo pada 1975 dan telah diundangkan UU No
7/1976 itu tidak diakui oleh masyarakat internasional dan PBB. PBB
menganggap bahwa pengintegrasian Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI
tidak dilakukan menurut norma-norma hukum internasional. Dan masuknya
Indonesia ke daerah koloni Portugis tersebut merupakan tindakan ilegal dan
merupakan tindakan aneksasi yang secara nyata telah melanggar hukum
internasional. Karena itu, sejak  tahun 1975-1982 PBB telah menjatuhkan
delapan resolusi yang intinya menyerukan, agar pemerintah Indonesia dan
angkatan bersenjatanya segera menarik diri dari Timor Timur. Namun, tak satu
pun dari resolusi tersebut yang diindahkan oleh Indonesia. PBB menganggap
Portugal sebagai penguasa administratif (administering power) dan merupakan
daerah yang belum memiliki pemerintahan sendiri (non selff governing
territory), yang harus diberi hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self
determination).

Namun, pemerintah RI beranggapan bahwa bergabungnya Timor Timur ke dalam
negara kesatuan RI bukan dipaksa tapi atas kehendak mayoritas rakyat Timor
Timur dan telah mendapat legitimasi berdasarkan deklarasi Balibo dan UU No
7/1976. Atas dasar UU No 7/1976 tersebut, segala peraturan yang berlaku di
Indonesia diberlakukan pula di Timor Timur. 

Dalam konteks konflik diplomatk antara Portugal dan Indonesia dalam masalah
Timor Timur,  tentunya akan mempengaruhi penerapan hukum di Timor Timur.
Serta sejauh mana  hukum efektif mengendalikan dan mengatur ketertiban dalam
kehidupan masyarakat dalam konteks Indonesia sebagai suatu negara hukum
(recth staat). Ataukah, pelaksanaan hukum di daerah ini hanyalah sebagai
sebuah retorika politik dari sebuah bangsa penjajah dan penindas? Untuk
melihat lebih jauh melihat persoalan ini penulis akan menyajikan
kecenderungan aparat penegakan hukum di dalam menegakkan hukum dan keadilan
di daerah ini dan pengaruh kekuatan ekternal yang mempengaruhinya.

TIDAK MANDIRINYA APARAT PENEGAK HUKUM
Bahwa semenjak berdirinya Kantor Pelayanan Hukum dan Masyarakat pada
Agustus 1996, yang merupakan cikal bakal berdirinya Yayasan HAK (Hukum, hak
Asasi, dan Keadilan), dan sejak saat itu pula lembaga ini mulai menaruh
perhatian serius di dalam kegiatan advokasi dan pelayanan hukum kepada
masyarakat, terutama warga masyarakat yang menjadi korban kekerasan negara
dan juga permasalahan hukum yang bersifat konflik pribadi di antara warga
masyarakat. 

Dalam tulisan ini penulis hanya mengkaji adanya pelanggaran terhadap hak-hak
sosial politik dalam keterkaitannya dengan penegakan hukum dan hak azasi
manusia bangsa Timor Leste. Bahwa sejauh pengamatan dan keterlibatan Yayasan
HAK dalam upaya penegakan hukum dan hak azasi manusia dalam tiga tahun
terakhir, orang-orang Timor Leste tidak bebas untuk berkumpul, tidak bebas
untuk  mengeluarkan pendapat, khusunya kebebasan untuk menyatakan sikap
politik yang berkaitan dengan persoalan Timor Timur. Membicarakan persoalan
politik Timor Timur dianggap tabu dan dan harus diwaspadai, sebab jika
diketahui warga yang terlibat dalam kegiatan politik praktis yang
berseberangan dengan pemerintah, maka pemerintah melalui agen-agennya
(SGI-Satuan Gabungan Intelijen, Kopassus-Komando Pasukan Khusus) tidak
segan-segan, menangkap, menyekap, menyiksa dan membunuh warga yang melakukan
kegiatan politik. Adapun pasal-pasal yang dituduhkan kepada para aktivis
politik Timor Leste tersebut adalah pasal-pasal makar: 106, 107, 108, 110,
55, 56, KUHP, yang mengatur tentang kejahatan terhadap keamanan negara, dan
UU No 11/1951 tentang larangan memiliki senjata serta UU tentang Subversi.

Dalam tiga tahun terkhir, masalah penegakan hukum dan hak azasi manusia di
bumi Lorosae sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh warga dan mereka yang
telah menjadi korban kekerasan negara. Penyimpangan hukum oleh aparat
penegak hukum hampir terjadi di mana-mana terutama, menyangkut kasus-kasus
peradilan politik - di mana polisi, jaksa dan hakim yang terlibat langsung
dalam proses peradilan sangat terpaku pada pandangan/konsep yuridis formal.
Mereka tidak peduli dan tidak melihat konteks sosial politik yang dihadapi
oleh masyarakat Timor Timur. Karena acuan para penegak hukum di daerah ini
adalah UU No 7/1976, yang mengatur tentang penyatuan wilayah Timor Portugis
ke dalam wilayah negara kesatuan RI dan menjadikannya sebagai propinsi yang
ke-27. 

Para penegak hukum tidak peduli terhadap argumentasi dari pihak korban bahwa
apa yang dilakukan tersebut adalah merupakan upaya memperjuangkan hak-hak
politiknya sebagaimana dijamin oleh konstitusi RI, yakni Pemukaan UUD 1945
yang menyatakan: "...sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa
oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan". Dan tindakan tersebut
diakui oleh hukum internasional, yang mengakui bahwa "bangsa Timor Leste
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri sebagaimana dicantumkan
dalam Piagam PBB, serta konvensi internsional tentang hak-hak sipil dan
politik".

Lebih tragis lagi, aparat ekstra yudicial pun terlibat dalam proses
peradilan. Tentara dapat menangkap dan menahan seseorang, dan melakukan
interogasi. Setelah itu, hasil interogasi yang dituangkan dalam BAP dan si
tersangka diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses. Pihak polisi
selaku penyidik selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh militer, padahal
penyidik sendiri itu tahu bahwa tindakan itu melanggar KUHAP. Pasal 18 jo.
pasal 20 KUHAP secara tegas menyatakan, "yang berwenang melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu
tindak pidana adalah aparat Kepolisian Negera RI". Oleh karena itu,
tersangka yang ditahan oleh aparat militer merupakan tindakan yang melanggar
hukum dan hak asasi manusia. Dengan demikian polisi selaku penyidik harus
segera membebaskan yang bersangkutan demi hukum. 

Sebagai contoh adalah kasus penangkapan dan penahanan terhadap Joaquim de
Carvalho. Ia ditangkap di rumahnya, di Kecamatan Remixeu, Kabupaten Aileu
oleh Kasdim Aileu bersama anggotanya. Alasannya, ada dugaan bahwa korban
selalu berhubungan dengan Falentil dan selalu memberikan bantuan bahan
makanan, pakaian dan obat-obatan. Saat ditangkap korban langsung dianiaya
dengan dengan popor senjata, kayu balok, dan ditendang dengan sepatu
tentara, selanjutnya korban dibawa ke Kantor Kodim Aileu. Di sana ia
diinterogasi dan ditahan sekitar tiga minggu. Kemudian korban diserahkan ke
Polda Timor Timur.

Setelah menerima BAP dan korban dari militer, penyidik segera memproses
tanpa memperhatikan bukti permulaan adanya tindak pidana yang cacat hukum
dalam kasus tersebut. Jaksa dan hakim pun melegitimasi, berdasarkan
informasi sepihak dari militer tentang aktivias tersangka/terdakwa. Bahkan
selama perkara tersebut masih dalam proses pemeriksaan jaksa dan hakim
menunjukkan sikap yang tidak bersahabat dan memvonis terdakwa sebagai
seorang penjahat besar sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berakhir
dengan putusan hakim. Tindakan itu jelas melanggar "asas praduga tak
bersalah" dan melanggar hak azasi manusia.

PROSES PERADILAN BERJALAN TIDAK FAIR DAN ADIL
Bahwa proses penegakan hukum dan keadilan di Timor Timur sangat jauh dari
apa yang diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan itu terjadi, karena
ketidakmandirian aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai
seorang abdi hukum dan abdi masyarakat. Hal ini terjadi karena mereka hanya
dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan status quo. Semua kasus
peradilan politik di Timor Timur - mulai saat proses pemeriksaan pendahuluan
hingga terdakwa  diputus oleh pengadilan berjalan proses itu tidak fair dan
tidak menghormati  hak azasi manusia. 

Proses peradilan yang berjalan termasuk putusan yang dijatuhkan oleh hakim
tidak memberikan rasa keadilan kepada korban. Para tersangka sejak ditangkap
dan dimintai keterangan diperlakukan secara tidak manusiawi. Hak-hak mereka
sebagai tersangka yang diatur dalam KUHAP (hak untuk memberikan keterangan
dalam keadaan yang bebas, hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk
mendapatkan perawatan, hak untuk dikunjungi keluarga tidak dihormati oleh
penyidik). Proses rekayasa terjadi pada semua tingkatan proses peradilan,
yakni sejak proses pemeriksaan pendahuluan, pra-penuntutan sampai
pemeriksaan di sidang pengadilan. Kondisi ini diakui oleh salah seorang
mantan ketua PN Dili (ALR), di daerah ini mereka harus menghukum para
terdakwa meski tidak cukup bukti. Hal ini dilakukan karena adanya tekanan
dari militer. Pengakuan seperti ini juga diungkapkan oleh sejumlah anggota
polisi yang bertindak sebagai penyidik. Mereka harus melakukan hal itu
karena ada perintah dari pimpinan, walau sejauh pengamatan mereka
orang-orang itu tidak cukup bukti untuk disidik. Selain itu polisi selaku
penyidik juga berpandangan bahwa tersangka itu bersalah.

TELAH TERJADI KEVAKUMAN HUKUM
Perkembangan lima bulan terakhir seiring dengan munculnya dua opsi politik
tentang penyelesaian masalah Timor Timur pada 27 Januari 1999, proses
penegakan hukum dan keadilan di Timor Timur mengalami kevakuman. Karena
aparat penegak hukum tidak berdaya menangani masalah kekerasan politik di
mana para pelaku tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang secara nyata
dilakukan oleh kelompok pro- integrasi. Tak satu pun pelaku yang diproses
untuk dimintai pertanggung-jawabannya secara hukum. Hal tersebut terbukti
dari berbagai laporan dan pengaduan dari masyarakat korban atau Yayasan HAK,
terutama kasus pembantaian tanggal 5 dan 6 April di Liquica, kasus
pembantaian tanggal 17 April di Dili serta kasus-kasus kekerasan politik
lainnya, tidak mendapat perhatian yang serius dari aparat penegak hukum. 

Dalam pengamatan Yayasan HAK, aparat penyidik telah terkooptasi dengan para
politisi pro-integrasi, militer, milisi dan secara sengaja membiarkan
kejahatan kemanusiaan tersebut berlanjut. Tujuannya agar masyarakat takut
dan mau menerima otonomi luas yang  ditawarkan oleh pemerintah Indonesia.
Dalam berbagai kasus, aparat penegak hukum secara langsung terlibat di
dalamnya. Mereka ikut membantu para milisi untuk melakukan kejahatan,
seperti kasus penyerangan milisi terhadap warga sipil pada tanggal 9 dan 10
Mei 1999 di Desa Santa Cruz, Bemori, Quintal Kiik dan Audian. Karena adanya
keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai kasus kejahatan kemanusiaan
dalam beberapa bulan terakhir, secara langsung mempengaruhi fungsi aparat
kepolisian sebagai aparat penyidik yang akan mengungkapkan kasus-kasus
kejahatan kemanusian termasuk upaya menangkap dan menahan para pelaku kriminal.

Konsekuensi dari keterlibatan aparat kepolisian terebut mempengaruhi tidak
berjalannya proses hukum di mana polisi sebagai pihak yang pertama dalam
mengungkapkan kasus-kasus pidana tidak lagi menjalankan fungsinya. Dan
karena tidak bekerjanya polisi, maka para pelaku kejahatan kemanusian tidak
dapat diproses ke meja hijau dan di sinilah perangkat hukum tidak dapat
bekerja atau disebut sebagai kevakuman hukum dan selanjutnya mempengaruhi
semua proses peradilan pidana yang ada. Dalam sistem hukum pidana jika ada
tindak pidana maka untuk memprosesnya harus melalui tahapan sebagai berikut:

TINDAK PIDANA --> POLISI MELAKUKAN PENYIDIKAN --> JAKSA ---> PENGADILAN

Melihat pada sistem penerapan KUHP sebagaimana tersebut di atas, maka jika
prosesnya berhenti pada tingkat penyidikan otomatis kasus itu tidak dapat
diungkapkan. Dengan demikian proses hukumnya tidak akan berjalan. Dalam
konteks hukum, tindakan aparat kepolisian yang sengaja membiarkan kejahatan
itu berlangsung, maka aparat kepolisian dapat dikategorikan sebagai pembantu
kejahatan, yakni sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan (pasal 56 KUHP). 

PENUTUP
Berangkat dari uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa
terjadinya ketidakjujuran dalam proses peradilan di Timor Timur, khususnya
proses peradilan terhadap kasus-kasus kekerasan negara yang disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, tidak adanya kemandirian aparat penegak hukum
dalam menjalankan fungsinya sebagai abdi hukum, sehingga law enforcement
tidak dapat diterapkan. Kedua, kuatnya pengaruh politik dalam kaitannya
dengan permasalahan Timor Timur telah menyebabkan aparat penegak hukum di
daerah ini semata-mata bertugas untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan
dan mempertahankan status quo, demi tegaknya integrasi. Kedua hal tersebut
dalam lima bulan terakhir telah mengakibatkan terjadinya kevakuman hukum
sebagai konsekuensi dari percaturan politik pada elit politik baik di pusat
maupun di daerah turut mempengaruhi semua kebijakan aparat penegak hukum
untuk bertindak sesuai dengan fungsi yang sebenarnya. ***


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Reply via email to