Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 27/II/8-14 Agustus 99
------------------------------

TIGA HAL DARI PIDATO MEGA

Oleh: Siti Anisa

(OPINI): Mega berhak jadi presiden ke empat. Ini logika demokrasi  yang
sehat dan juga cocok dengan suara hati kebanyakan orang. Hasil Pemilihan
umum 7 Juni telah diketahui luas, PDI Perjuangan menang secara meyakinkan,
dan itu menunjukkan rakyat lebih menginginkan Mega menjadi presiden,
ketimbang calon-calon lain. Jadi, hendaknya para penentang Mega bersikap
ikhlas bersiap menghadapi situasi dimana Mega  menjadi  presiden. Usaha
menjegal Mega, baik lewat politik uangnya Golkar atau akrobat politiknya
Poros Tengah, tidak akan menuju  keadaan  demokrasi yang lebih baik.

Soalnya kemudian, apakah dengan Kepresidenan Mega, kita akan masuk ke zaman
baru yang gemilang, yang lebih menghargai martabat rakyat? Ini yang saya
ragukan. Banyak hal dari pidato Mega 28 Juli lalu, yang membuat saya
khawatir. Saya tidak merasa teryakinkan, bahwa soal-soal genting di negeri
ini akan bisa diselesaikan oleh pemerintahan Megawati. Setidaknya bila
ditilik dari tiga contoh kasus dalam pidato Mega itu.

Pertama soal Aceh. Dua hari terakhir ini, 4-5 Agustus, masyarakat Aceh
mengadakan pemogokan umum. Didukung lebih dari 80% warganya, maka pemogokan
ini benar-benar melumpuhkan kegiatan sehari-hari di Tanah Rencong itu.
Transportasi macet. Pasar tutup. Sekolah-sekolah diliburkan. Kenapa rakyat
Aceh begitu luas mendukung aksi ini? Tak lain karena ketertindasan yang
terlalu lama, dan berat, menghimpit mereka. Kini tak bisa ditanggungkan
lagi. Mereka ingin tindakan nyata dari pemerintah pusat: Tarik tentara dari
Aceh, pengadilan buat pelanggar HAM, dan hentikan eksploitasi kekayaan alam
Aceh.

Dan apa jawaban Mega untuk rakyat Aceh? "Bersabarlah. Bila Cut Nya memimpin
negeri ini,  bla-bla-bla-bla". Air mata Mega menetes. Tetapi, banyak orang
Aceh berkata, air mata itu telah terlambat. Bukan cuma karena Mega
sebelumnya bungkam soal rakyat Aceh yang dianiaya, tetapi juga pilhan
seruannya -supaya rakyat bersabar itu- menunjukkan Mega tidak tanggap
terhadap persoalan. Bagaimana mungkin, kita meminta agar orang yang
keluarganya dibunuhi itu bersabar. Sedangkan  dengan mereka yang membunuh,
kita malah berangkulan? Imbauan Mega kepada rakyat Aceh itu, niscaya akan
membuat mereka kian menjauh. Satu-dua tahun ke depan ini sangat kritis bagi
bangsa kita dalam menangani soal Aceh. Apakah akan tetap menjadi bagian
Indonesia, dengan formula hubungan yang pasti berbeda -atau separasi. Dan,
bila Mega menjalankan kebijakannya sebagai presiden nanti, hanya dengan
modal "Meminta rakyat Aceh bersabar", besar kemungkinan wilayah itu
betul-betul akan memisahkan diri.

Kedua, soal Timor Timur. Untunglah masalah yang memalukan Bangsa Indonesia
-aneksasi Timtim 1976 dan kisah pendudukan militernya yang brutal itu- kini
telah mendapatkan jalan penyelesaian yang baik. Jajak pendapat 30 Agustus
mendatang, adalah solusi bermartabat, juga adil. Buat pertama kalinya,
rakyat Maubere akan menentukan nasibnya sendiri. Dengan pengawasan PBB,
mereka akan memilih atau menolak otonomi. Bila setuju otonomi, Timor Timur
tetap jadi bagian Indonesia. Bila tidak, mereka akan melewati masa transisi
di bawah proteksi PBB, sampai membentuk pemerintahan sendiri. Dalam hal yang
terakhir ini, rakyat Maubere menuju jalan kemerdekaannya. Keputusan Habibie
untuk mengundang PBB melakukan referendum itu, bagaimanapun layak dihormati.
Meskipun dia presiden transisi, kalau ada kebijakannya yang baik, kenapa
harus dikecam?

Inilah persoalan buat Mega. Kekesalan terhadap rezim Habibie, membuatnya
buta, dan mengada-ada dalam mencari argumen untuk menyerang masalah Timor
Timur. Seluruh nada perjuangan Mega, disemangati pemahaman bahwa Orde Baru
selama 32 tahun telah merampas kedaulatan rakyat. Karena itu, Mega mengaku
tak pernah ragu membongkar kebijakan Orba, termasuk produk hukum yang pernah
mereka hasilkan. Kecuali untuk Timor Timur. Dalam mencari alasan untuk
menolak jajak pendapat, Mega mencomot satu TAP MPR tahun 1976, yang
mendasari pencaplokan Timtim menjadi propinsi ke 27.  Kalau biasanya, Mega
menolak produk hukum Orba, dalam kasus ini Mega mengatakan, "keputusan
Habibie soal Timtim melanggar TAP MPR."

Padahal, sangat jelas, buat siapa saja yang mau belajar sejarah, TAP MPR
tentang pencaplokan Timtim itu murni rekayasa Soeharto dan antek-anteknya.
MPR hanya jadi tukang stempel. Rakyat tak pernah diajak terlibat memutuskan
apakah kita mau mengagresi Timtim. Bila soal ini ditanyakan kepada rakyat,
juga di tahun 1976, saya yakin rakyat Indonesia yang sangat menghormati
kemerdekaannya, tak akan mau merampas kemerdekaan orang lain. Kesadaran ini,
sayangnya, jauh dari semangat pandangan Mega tentang Timor Timur. Mega
terjebak oleh retorikanya sendiri tentang negara kesatuan, sehingga tak
ikhlas mengakui bahwa selama ini kita salah di Timor Timur. Dan, terkesan
dalam hati kecilnya Mega ingin memastikan Timor Timur tetap dalam pangkuan
republik; meskipun hal itu jelas-jelas bukan pilihan rakyat Maubere.

Ketiga, soal perubahan Undang Undang Dasar. Setelah gelombang desakan untuk
reformasi konstitusi tak terbendung, akhirnya Mega bicara juga soal
kemungkinan ini. Intinya, Mega tak keberatan ada perubahan konstitusi,
kecuali pembukaannya. Dalam hal pembukaan, tak ada tawar menawar.  Perubahan
sikap Mega ini tampaknya menggembirakan. Tetapi, bila dicermati lebih
lanjut, Mega tampak terpaksa merespons tuntutan ini. Ia tidak mulai dengan
pandangan bahwa amandemen konstitusi merupakan kebutuhan masyarakat yang
ingin berkembang. Karena itu, nada pidatonya Mega, UUD itu akan dibiarkan
saja, tetapi dibuat peraturan-peraturan yang lebih rendah, seperti TAP MPR
dan UU yang mengakomodir tuntutan masyarakat.

Sakralisasi UUD tampaknya masih kental di benak pikiran Mega. Mungkin karena
kekhawatiran akan potensi perubahan yang tidak terkontrol, bila kita coba
mengutak-atik UUD. Tetapi, sikap begini persis menggambarkan karakter
konservatif yang mungkin akan mendominasi pemerintahan Mega mendatang. Ia
enggan berubah. Walaupun perubahan itu ke arah perbaikan. Dan, tuntutan
amandemen itu sangat jelas. Mencakup wilayah penegakkan hak asasi manusia,
penataan hubungan pusat-daerah yang lebih adil, dan pembatasan kekuasaan
presiden dengan menimbulkan potensi pengimbang dari parlemen dan peradilan.
Esensi  keinginan rakyat yang begitu gamblang, mestinya mudah dikonversi
menjadi perubahan pasal-pasal dalam UUD.

Maka agak ganjil ketika Mega beberapa kali bertanya: Bagian mana dari UUD
yang akan diubah? Atas alasan apa, pasal-pasal itu akan diubah? Pertanyaan
retorik dalam pidato itu, menegaskan sikap Mega yang tidak tanggap terhadap
tuntutan zaman. Apalagi sebagai pemenang pemilu, dan calon presiden terkuat,
Mega bukan cuma ditunggu persetujuannya mengamandemen UUD. Rakyat berhak
menuntut Mega dan timnya untuk berdiri di depan dalam memimpin perubahan
itu. Tak ada reformasi yang sungguh-sungguh, bila kita tak melakukan
perombakan UUD. Mega tak pantas cuma bertanya, ia pun mesti aktif menjawab,
amandemen konstitusi seperti apa yang diinginkan PDI Perjuangan.

(*) Penulis tinggal di Jakarta

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Reply via email to