Precedence: bulk


Hersri dan Damairia yang terbaik,

        Untuk meneruskan sedikit diskusi tentang turba, saya kirim sambutan
ini pada Hersri dan Damairia yang nampaknya mau menempatkan fenomenon
turba di sistem-sistem politik komparatif. Pada mulainya, saya  mau mengucapkan
terima kasih kepada Hersri untuk surat yang menjelaskan berbagai aspek
konteks sejarah dan filsafat secara yang begitu personal dan jujur.

        Yang paling baik: sekarang ada diskusi tentang turba di lapangan publik,
yang bisa mengembang. Komentar Hersri membenarkan ide saya bahwa "turba"
adalah satu konsep yang kaya, penuh dengan arti semacam

        Sudah dari komentar ini, beberapa kecenderungan-kecenderungan
menyimpul. Yang pertama: perbedaan antara ide dari Mao Tse-Tung tentang
praxis dan tujuan orang Indonesia. Konsep Mao datang dari atas, malahan yang
lain diwujudkan dari perasaan individu sebagai yang tidak adil di masyarakat
Indonesia.  Yang kedua: suatu pola timbul dari contoh-contoh metode
men-sexualisasi-kan tujuan orang kiri (tidur bersama!).

        Yang ketiga, dan sangat menarik bagi saya: sejarah kata dan konsep
"Bohemian" di leksikon Indonesia.  Sungguh benar bahwa bahasa adalah penjara,
sehingga kata "Bohemian" itu dipenjarakan oleh pengalaman Chairil Anwar selama
50 tahun. Yang menarik bagi saya adalah perbedaan,yang  dianjurkan oleh

        Hersri, antara golongan seniman yang mengikuti Chairil, yang
diassosiasikan diri dengan "gelandangan-isme" dan dunia pelacur dan golongan
seniman lain yang pergi ke desa untuk bekerja, makan, dan tidur dengan
petani, dan merisetkan dan mungkin mendapat inspirasi. Saya sendiri merasa
reawakening of my interest after experiencing a ho-hum attitude from others
about this research project. Juga, sekarang saya mengerti persoallan dengan kata
"bohemian" dalam konteks sejarah Indonesia. Walaupun saya sekarang dipaksa
mencari kata baru selain "Bohemian" untuk mengambarkan mileau seniman turba,
saya merasa agak puas membaca diskusi seperti in tentang sejarah sastra
Indonesia.

        Dari "first step" ini, kita bisa menanyakan: bagaimana perbedaan
antara proletariat yang tinggal di kota, yang terisi pelacur dan gelandangan
dan rakyat dari desa? Apakah satu golongan seniman ikut cara hidup urban
poor dan yang lain ikut cara hidup rural poor, dan kalau begitu, bagaimana
perbedaan2 antara seni yang diproduksikan dari dua pengalaman ini? Saya
mengerti bahwa desa dianggap tempat "adat" dan seniman adat. Dan saya
mengerti dari tulisan Hersri bahwa orang Lekra ingin membangunkan seni
Indonesia dari "rumah adat" itu, yang tidak dipengaruhi oleh Belanda atau
Amerika. Apalagi, nampaknya, rakyat desa ascribed a sense of morality oleh
golongan Lekra sebagai pendudukan "rumah adat" ini.

        Apakah rakyat kota, pelacur dan sebagainya, juga ascribed a similar
sense of morality oleh golongan Chairil?   Kalau itu benar, mungkin golongan
Chairil dan golongan Lekra merupakan dua responses kepada sastra kelas tengah
yang dikarang oleh pengarang Pujangga Baru, yaitu Alisyahbana dan Pane. Ada
pertanyaan lagi: di mana diletakkan karya Pramoedya di "Cerita dari Jakarta"
tentang moralitas rakyat kota? Apa ada nama bagi seniman/pengarang yang
memperhatikan rakyat kota, bukan sebagai kandungan moralitas, tetapi sebagai
suatu truth through which the morality or inner workings, guilt,
aspirations, etc., of the nation is revealed? Ya, mungkin itu sebabnya
periode dari 1945 sampai 1965 yang paling menarik dalam sejarah sastra
Indonesia bagi saya. Dalam retrospek, semua produksi Lekra, pengikut
Chairil, Pram, dan orang lain tidak mudah dikategorisasikan. Tidak ada
"generasi 50," ya? Atau "generasi 60."
Sungguh sayang bahwa, dengan kehilangan banyak victim kekerasan 1965, adalah
kehilangan lapangan seniman dan karangan yang bermacam-macam. 

        Pada mulainya jaman 50-an, ada perdebatan, diskusi di dalam
sastra. Lihatlah, misalnya, sambutan pada Chairil's "Diponegoro" di puisi
Rukiah, judulnya "Pahlawan." Itulah "cross-fertilization" antara pengarang
yang mempunyai kepercayaan yang agak opposed. Yang juga menarik, "writing
about writing," dari Pram di cerita "Kegagalan Calon Dramawan" atau di
"Perempuan dan Kebangsaan" oleh Idrus.

        Dari cerita tentang Chairil yang diceritakan oleh Hersri,
sudah jelas bahwa Chairil itu agak sinis, dan bahwa sinisisme itu merupakan
suatu kebahayaan di dalam masyarakat yang berjuang. Tetapi, bukan sudah benar
bahwa, kalau ada level of seriousness in Chairil's big joke,  "Ajo, boeng!"
bisa dibaca sebagai kritik yang tidak lain dari kritik Pramoedya dan Rukiah
dan orang lain tentang the seduction of nationalist rhetoric di jaman itu,
yang belum berisi? Perbedaan yang penting di sini adalah perbedaan mode
mengucapkan, saya kira. Mode Chairil itu agak tidak ikhlas-his joke is on
everyone- mode Pramoedya dan Rukiah, sebaliknya, lebih terang. Perbedaan
mode itu diikatkan dengan perbedaan tujuan. Dalam filsafat existentialism,
"besok" tidak mempunyai arti yang tepat; yang penting itu pengalaman
immediate. Bagi Pram dan Rukiah, kritik diletakkan di dalam persepsi sejarah
dan harapan untuk hari depan. Tapi yang sama itu kritik sendiri.

        Ya, barangkali satu hari akan datang kapan kita tidak memperhatikan
lagi bagaimana Chairil itu "patriot" atau bukan "patriot." Maksud saya,
patriotisme menjadi criteria yang mungkin kurang for judging the merit,
value, or importance of a literary text. Maupun nada foedalisme, atau
anti-foedalisme, atau gaya hidup pengarang. (Ya, kalau kondisi gelangangan
membatasi produksi, betul ada persoalan). Ya, mungkin itu gampang diucapkan
oleh seorang yang dari luar Indonesia, dan yang belum mengalami
kondisi-kondisi seperti orang Indonesia di 1960-an dan juga 1990-an. Itu
betul perspektif dari priveleged position di dunia sastra, di mana kita bisa
bertanya, bukan apa ada nada foedalisme di sini-sana tetapi mengapa ada nada
foedalisme di sini atau di sana? Perspektif terbuka ini
penting dalam studi penghasilan "turba" di Indonesia, oleh karena saya kira
sudah ada pendapat bahwa sastra Lekra dan sastra kiri umumnya kurang baik,
kurang "Sastera." Bagi saya, yang penting itu: apakah elemen-elemen yang
dikumpulkan di drama dan sastra atau lukisan turba? Elemen itu dari mana?
Mengapa itu yang dipilih oleh artist? Apakah "bahasa" dan "logik" di
seni/sastra turba? 

        Diskripsi Hersri dari drama/tarian Bung Suyud bagus betul, karena it
captures the essence of this approach, not just from a critical perspective,
but as if reliving the moment. Oleh karena saya belum expert di dalam studi
sastra/tari klassik Jawa saya belum bisa fully appreciate it all, tetapi
jist-nya sudah jelas. Juga, emosi saatnya. You have helped meng -clarify my
thoughts. Terimah kasih sekali lagi, Hersri, for this excellent
letter/essay. Bagus! Hopefully, other readers will respond.

(Maafkanlah bahasa Indonesia saya yang agak di-Englishisasi-kan.)

Salam,

Julie Shackford-Bradley

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke