Precedence: bulk


ISTIQLAL (18/10/99)# NASION DAN NASIONALISME 
Oleh: John Roosa


Maka biarkan tepian sungai-sungai perkasa mendesak 
Gelombang-gelombangnya yang hidup menuju masa depan gemilang,
Hai saudara-saudaraku, jadikanlah mereka milikmu!
Biarkan panas terik mentari tengah hari yang kejam 
Membakar kesedihanmu!
Biarkan mereka menguap oleh cahaya matahari tak berkesudahan.
Airmata itu yang mengalir dari mata-mata orangtuamu dan kakek-nenekmu 
Mereka yang disiksa sampai mati di ladang penuh duka ini. 
Dan semoga rakyat kita bebas dan gembira selalu,
Hidup, bersahaja, tumbuh berkembang dalam perdamaian di tanah Kongo ini, 
Disini, di jantung Afrika kita yang agung ini!

--------------------------------- Patrice Lumumba, Semoga Rakyat Kita Menang


Bangsa apapun cenderung memiliki obsesi narsistik untuk menulis sejarah
keberadaan bangsanya sejak jaman purbakala. Dalam setiap bangsa selalu ada
pihak-pihak yang secara membabi buta mengklaim bahwa segala peristiwa yang
terjadi di wilayah tanah-airnya sebagai sejarah nasional. Misalnya saja,
buku sejarah berjilid-jilid yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia,
Sejarah Nasional Indonesia, diawali dengan ulasan arkeologis fosil-fosil
pra-sejarah. Padahal, siapapun tahu bahwa kepala Manusia Jawa yang pernah
hidup jutaan tahun lalu tak mungkin berisi ide tentang bangsa Indonesia.
Inilah gaya anakronistik penulisan sejarah: suatu entitas modern, bangsa,
menjadi prinsip pengorganisasian penulisan seluruh sejarah pra-modern. 

Masalah yang timbul dari gaya penulisan sejarah seperti ini adalah ia
mendorong tumbuhnya persepsi tentang bangsa sebagai sesuatu yang baku dan
ahistoris. Kita bisa dengan mudah terperangkap dalam pemikiran bahwa
pembagian dunia menjadi sekian banyak bangsa dewasa ini merupakan suatu
keadaan alamiah. Tetapi untuk memahami bagaimana dunia kita diorganisir
menurut sistem negara-bangsa, kita harus mulai dengan menerima kenyataan
bahwa bangsa adalah suatu barang yang sangat modern. 

Yang membedakan modernitas dari pra-modernitas adalah konsepsi baru tentang
kekuasaan yang mendasari berdirinya negara-bangsa. Setiap bangsa memiliki
batas wilayah yang pasti; suatu bangsa tak bisa dibayangkan keberadaannya
tanpa sebuah peta yang dengan tepat menggambarkan batas-batas wilayahnya
dengan negara-bangsa yang lain. Kekuasaan suatu negara bangsa dalam
batas-batas wilayah tersebut dianggap eksklusif, tidak untuk dibagi dengan
negara-bangsa lainnya. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan pra-modern, baik itu di
Eropa, Asia, atau di bagian dunia yang lain, hampir tak pernah berusaha
menarik garis tegas untuk menandai batas wilayah kekuasaannya. Adalah hal
yang biasa jika wilayah kedaulatan suatu kerajaan seringkali tumpang tindih
dengan yang diakui kerajaan lain. Prinsip terpenting yang menopang kekuasaan
sebuah kerajaan adalah kesatuan para pejabat tinggi dalam istana, bukan
integritas batas-batas luar wilayahnya.

Bagaimana kita kemudian beranjak dari konsep pra-modern kekuasaan kerajaan
ke konsep modern negara-bangsa? Salah satu pelopor studi nasionalisme, Hans
Kohn, dalam bukunya The Idea of Nationalism (New York: Macmillan, 1948, hal.
4) menyatakan bahwa nasionalisme, "tak terpikirkan sebelum munculnya negara
modern sepanjang abad ke-16 sampai ke-18," sebelum munculnya, "bentuk
pemerintahan sentralistis yang berkuasa atas wilayah yang luas dan berbeda."
Dengan kata lain, asal-usul nasionalisme bisa ditemukan pada masa
transformasi struktural kekuasaan negara di Eropa. 

Banyak kerajaan di Eropa pada 1500-1600an mengubah bentuk pemerintahannya
menjadi apa yang disebut "negara absolutis". Namun absolutis di sini bukan
berarti negara memiliki kekuasaan absolut, tetapi memiliki sistem kendali
sentralistik atas sejumlah keluarga bangsawan feodal yang berpengaruh.
Pemerintahan birokratis yang baru ini dirancang untuk memungut pajak secara
lebih intensif dan sistematis supaya hasilnya bisa dipakai untuk membiayai
peperangan yang dilangsungkan oleh negara. Dengan demikian negara-negara
absolutis memperkenalkan birokrasi permanen, tentara reguler, dan
administrasi perpajakan terpadu. 

Tatanan birokrasi baru ini terdiri atas sekian institusi yang melibatkan
berbagai kelompok etnolinguistik dan daerah operasinya mencapai tingkat
desa. Berbagai departemen merekrut penduduk lokal sebagai pegawai dan
mendirikan kantor-kantor dinas permanen di tingkat distrik. Birokrasi
semacam ini mensyaratkan bahasa yang sama dan mudah dipahami khalayak umum
untuk bisa beroperasi dengan lancar. Maka suatu birokrasi akan memilih satu
dialek bahasa yang dianggap bermartabat, membakukannya, dan mewajibkan
pemakaiannya. Sebagai institusi impersonal yang terdiri atas orang-orang
yang secara teratur dipindahkan dari satu posisi ke posisi lain, birokrasi
mengikis personalisasi negara yang begitu penting dalam sistem pemerintahan
monarki. 

Negara-negara baru inilah yang menciptakan prakondisi bagi tumbuhnya
nasionalisme. Menjelang abad ke 18, ada konteks politik lain yang membuat
suatu masyarakat bisa membayangkan dirinya bagian dari ikatan kolektif yang
impersonal dan abstrak, yaitu bangsa, dan bukan lagi sebagai hamba-hamba
raja. Mereka mulai membayangkan dirinya bagian dari masyarakat dalam suatu
wilayah yang sudah ditampilkan melalui peta, bukannya dalam suatu daerah
yang mereka kenal melalui pengalaman keseharian langsung. Lebih jauh lagi,
melalui bahan bacaan yang tercetak dalam bahasa yang dipahami bersama,
mereka membayangkan dirinya berbagi pengalaman serupa dengan orang-orang
atau kelompok masyarakat lain yang tidak pernah mereka temui sebelumnya. 

Sudah menjadi suatu pola bahwa gerakan nasionalis yang muncul pada 1700an di
Eropa dipelopori oleh orang-orang yang bekerja di dalam dan seputar
birokrasi. Tokoh-tokoh nasionalis awal umumnya berpendidikan dan memahami
ruang lingkup dan soal-soal teknis administrasi sipil yang mereka geluti.
Tetapi justru bukan kelas menengah inilah yang sebenarnya menciptakan
bangsa. Revolusi Perancis, yang diperjuangkan demi tegaknya hak-hak warga
negara Perancis, menggulingkan baik monarki Perancis maupun birokrasinya
yang sangat canggih. Kelompok revolusioner Perancis mengambil ide-ide
nasionalis yang diluncurkan oleh kelas menengah, kemudian mengembangkannya
lebih jauh. Mereka tidak hanya percaya bahwa ada yang disebut "bangsa
Perancis", tetapi juga bahwa bangsa ini punya hak untuk mengontrol negara
Perancis. "Deklarasi Hak-hak Manusia" yang mereka kumandangkan pada 1795
berbicara tentang hak-hak manusia dan berasumsi bahwa setiap orang adalah
anggota "bangsa" yang "merdeka dan berdaulat." Mereka tidak mendefinisikan
bangsa Perancis berdasarkan bahasa atau etnisitas tetapi hanya berdasarkan
wilayah, yaitu siapapun yang tinggal di wilayah di bawah kekuasaan negara
Perancis berhak menikmati hak-hak yang disebutkan dalam deklarasi 1795 tsb. 

Ketika berbicara tentang kesetaraan warga bangsa, nasionalisme, secara
inheren merupakan ideologi yang demokratis. Seperti yang ditulis sejarawan
Eric Hobsbawm makna bangsa sejak akhir abad ke 18 selalu terkait dengan
"kewarganegaraan dan partisipasi massa." Nasionalisme dimaksudkan untuk
mewujudkan kepentingan bersama bukannya kepentingan pribadi. Tetapi, ia juga
menunjukkan bahwa ada ketegangan dalam pemberian makna atas kepentingan
bersama. Kelas borjuasi Inggris yang baru berkembang, misalnya, berbicara
tentang ekspansi pasar bebas dan emporium Inggris Raya sebagai wujud
kepentingan bersama. Kelas ini ingin menggunakan solidaritas nasionalistik
untuk mempersatukan masyarakat demi kepentingan kaum borjuasi itu sendiri.
Misalnya saja, kaum borjuasi ingin menggunakan tentara nasional untuk
melumpuhkan insureksi kelas buruh dan menaklukkan saingan-saingan mereka di
kancah perdagangan internasional. Sedangkan konsep nasionalisme populer
seperti yang digambarkan oleh sejarawan Inggris E. P. Thompson lebih condong
pada kebebasan politik dan menentang ekspansi kapitalisme. 

Gencarnya usaha kaum borjuasi Eropa memakai nasionalisme untuk mendukung
kepentingan kelas mereka pada pertengahan abad ke 18 membuat nasionalisme
sebagai ideologi yang demokratis menjadi tidak populer di kalangan radikal
Eropa. Filsuf dan aktivis buruh Jerman, Karl Marx, terkenal dengan
pernyataannya bahwa kaum buruh sedunia tak kenal negara. Belakangan,
pemimpin Revolusi Rusia 1917, V. I. Lenin juga menolak mengorganisir
gerakan-gerakan kerakyatan yang hanya mempunyai tujuan nasional. Dia
sesungguhnya berharap revolusi Rusia menjadi salah satu bagian dari revolusi
pan-Eropa dan ia kecewa ketika kekuatan-kekuatan revolusioner di Jerman dan
Perancis kalah. Ia beranggapan bahwa sosialisme di satu negara saja tak
mungkin bertahan tanpa perjuangan revolusioner di tingkat regional dan
internasional.  

Ketika nasionalisme semakin dijauhi di kalangan gerakan kiri Eropa pada abad
ke 19, ide ini justru menjadi harapan pembebasan bagi masyarakat Asia dan
Afrika yang dijajah oleh kekuatan imperialis Eropa. Di tengah gelombang
pergerakan anti-kolonial yang mencapai klimaksnya pada satu dasawarsa
setelah Perang Dunia II, nasionalisme secara tegas memperlihatkan
keterkaitannya dengan upaya membangun demokrasi dan perbaikan ekonomi bagi
rakyat. 

Keterkaitan antara nasionalisme dan demokrasi dan perbaikan ekonomi rakyat
bukannya tanpa alasan. Pada masa Perang Dunia II sebagian besar rakyat
Afrika dan Asia bertahan antara hidup dan mati dalam kondisi kemiskinan yang
bukan main. Suatu gerakan nasionalis tidak akan berhasil menggalang dukungan
massa tanpa memperhitungkan sumber masalah kemiskinan rakyat. Yang
menentukan kekuatan gerakan nasionalis adalah seberapa jauh gerakan tersebut
siap menampung tuntutan rakyat untuk mengubah kehidupan mereka secara
fundamental, bukannya sekedar mengusir sang penjajah. Pemimpin-pemimpin
nasionalis yang hanya ingin mengganti majikan-majikan Eropa dengan
majikan-majikan pribumi tidak banyak mendapat dukungan rakyat. Sebaliknya,
tokoh-tokoh yang bersedia melawan pihak kolonialis dan elite pribumi
mendapat dukungan yang luar biasa. 

Nasionalisme anti-kolonial kebanyakan terbangun dari kebutuhan politik dan
ekonomi. Nasionalisme Indonesia, contohnya, tercipta dari kebutuhan
menghapuskan kolonialisme Belanda, bukan dari adanya kesatuan kultural
diantara rakyat yang mendukungnya. Batas wilayah Indonesia, seperti juga
yang terjadi pada bangsa-bangsa baru lainnya, ditentukan oleh batas-batas
wilayah negara kolonial. Bangsa-bangsa baru mewarisi batas-batas tersebut
dan mematuhinya tanpa peduli apakah penentuannya masuk akal jika dilihat
dari pembagian etnolinguistik. 

Pihak penjajah Eropa seringkali melihat nasionalisme anti-kolonialisme ini
sebagai konstruksi palsu, sebagai upaya yang sia-sia untuk melampaui
loyalitas terhadap etnisitas dan agama. Tetapi dalam hal ini Eropa melupakan
sejarah mereka sendiri karena bangsa-bangsa di daratan Eropa sekali pun
dimulai dari kumpulan-kumpulan manusia yang juga sangat heterogen dan mudah
terpecah-belah. Tidak adanya kesatuan kultural dalam bangsa-bangsa yang baru
terbebas dari penjajahan seperti Indonesia tidak membuat mereka palsu atau
sulit bertahan. 

Peneliti di bidang nasionalisme sudah lama meninggalkan upaya membuat
semacam standar objektif untuk mendefinisikan suatu bangsa. Untuk menjadi
suatu bangsa, masyarakat tertentu tidak membutuhkan apa pun yang serupa
kecuali keinginan berbagi negara yang sama. Definisi tentang nasionalisme
yang diuraikan dalam sebuah ensiklopedia berikut ini salah sama sekali:
"Nasionalisme terutama ditandai oleh perasaan bermasyarakat diantara
sejumlah orang, berdasarkan keturunan, bahasa dan agama yang sama." Ada
banyak contoh bangsa yang anggota-anggotanya tidak berbagi kesamaan
keturunan, bahasa maupun agama. Sebaliknya, ada banyak bangsa yang
anggota-anggotanya berasal dari keturunan yang sama, memakai bahasa dan
menganut agama yang sama dengan bangsa-bangsa lainnya namun terpisah sebagai
bangsa. Bahkan kelompok-kelompok masyarakat dengan karakter budaya serupa
ini seringkali tidak punya aspirasi untuk membentuk bangsa tersendiri. 

Bangsa terbaru di dunia ini adalah Timor Timur. Seperti halnya banyak bangsa
lain, ia lahir dari perjuangan melawan kolonialisme. Tetapi, bangsa Timor
Timur bisa dibilang unik karena ia lahir dari perjuangan melawan
kolonialisme non-Eropa, bangsa yang dulunya pernah juga dijajah: Indonesia. 

Nasionalisme Timor Timur menjadi kekuatan populer di kalangan masyarakatnya
justru di bawah kolonialisme Indonesia. Ia menjadi ideologi populer karena
kebutuhan yang sama untuk melawan penindasan militer oleh kolonialisme
Indonesia. Ketika Indonesia menyerbu Timor Timur pada 1975, jumlah kaum
nasionalis di wilayah itu tidak banyak. Walaupun jumlah penduduknya sedikit
(kurang lebih 600.000 orang), sama sekali tidak bisa dikatakan mereka punya
kebudayaan yang sama: ada 28 kelompok etnolinguistik. Kondisi untuk
tumbuhnya nasionalisme pun tidak terlalu memadai: angka melek hurufnya hanya
7% dan hampir tak ada peralatan transportasi dan komunikasi modern. Seperti
juga semua gerakan nasionalis di dunia ini, gerakan nasionalis Timor Timur
berawal dari perkumpulan pegawai negeri, kaum terdidik dan mahasiswa - atau,
secara umum, kelas menengah perkotaan. Menjelang 1975, kesadaran nasionalis
belum sepenuhnya mencapai tingkat desa dan pendapat kelas menengahnya pun
terpilah-pilah menjadi beberapa kecenderungan ideologis yang berbeda.
Sedangkan bahasa yang dipakai kaum nasionalis adalah bahasa Portugis, bahasa
minoritas. 

Bangsa Timor Timur memiliki kemauan kolektif untuk melawan musuh bersama:
tentara pendudukan Indonesia. Adanya kemauan kolektif inilah yang telah
membentuk identitas nasional bangsa Timor Timur, kesadaran rakyat Timor
Timur sebagai bangsa yang mensyaratkan adanya negara sendiri. Identitas
nasional yang hadir sesaat pada 1975 telah dimantapkan begitu rupa sehingga
sekarang, pada 1999, hampir 80% rakyat Timor Timur memilih kemerdekaan pada
jajak pendapat yang baru lalu. Dan mereka memilih dalam suasana yang begitu
tidak bersahabat: organisasi pro-kemerdekaan, CNRT, hampir tidak bisa
berkampanye akibat intimidasi kelompok-kelompok milisi dan TNI, dan kelompok
anti-kemerdekaan berulangkali mengancam rakyat akan terjadi banjir darah
jika mereka memilih memisahkan diri dari Indonesia. Persentasi pemilih
pro-kemerdekaan pasti akan lebih tinggi jika Indonesia membolehkan jajak
pendapat berlangsung secara bebas dan adil. 

Banyak pihak di Indonesia tampaknya sudah melupakan sejarahnya sendiri.
Mereka mengeluh rakyat Timor Timur tidak tahu terimakasih padahal Indonesia
telah melakukan begitu banyak pembangunan ekonomi. Mereka mengatakan Timor
Timur yang merdeka tak akan bertahan lama karena lemahnya sistem
perekonomian di negeri tersebut. Belanda juga mengatakan hal yang sama
tentang Indonesia pada 1940-1950an. Seperti yang dikatakan Ernest Renan
tentang bangsa, "yang menandai kesamaan kultur suatu bangsa bukan hanya apa
yang mereka ingat bersama, tetapi juga apa yang mereka lupakan bersama". 

John Roosa, sejarawan dan pekerja kemanusiaan untuk Timor Lorosae


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke