Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 45/II/12-18 Desember 99 ------------------------------ HAK AZASI DAN PENGHARGAAN (POLITIK): Penghargaan demokrasi. Promosi perlindungan dan penghargaan aktivis HAM, atau ritual mematerialkan esensi dedikasi? Kris Biantoro dan Tatik Maliyati WS dinyatakan sebagai sepasang legenda. Lebih dari sekedar entertainer dan penulis naskah senior. Pemirsa Indonesia mengakrabi Kris sejak layar kaca televisi masih hitam putih, belum ada teknologi layar datar apalagi tata suara dolby surround. Sebagai presenter, Kris piawai melantunkan kata sehingga kalimat-kalimat bijak meresap telinga tanpa terkesan menggurui. Ketika Panasonic Award -sebuah penghargaan bergengsi pertelevisian Indonesia setelah 'cuti'-nya FFI- beberapa minggu lalu menobatkan Kris sebagai seniman pria legendaris kita sadar berdecak. "Dia memang patut." Untuk kategori perempuan, penulis naskah ternama Tatik Maliyati WS menyusul. Sebelum booming sinetron terjadi, nama dosen IKJ ini sudah bertengger sebagai "pemilik" Losmen di TVRI. Lazimnya dunia hiburan, ke-glamour-an sengaja dipasang lantaran turut menentukan prestise penghargaan tadi. Nah, bagaimana nasib award aktivis hak asasi dan demokrasi? Apa benar seperti pentas kekurangan sponsor iklan? Terdapatlah Alfred Nobel yang "merasa bersalah" bahwa penemuannya ternyata dapat digunakan sebagai senjata penghancur manusia. Pria ini lalu menghibahkan seluruh uang hasil pembelian hak cipta penemuannya berikut royalti guna mendanai kerja-kerja kemanusiaan dan perdamaian. Nobel Price menjadi 'award' paling bergengsi kalangan scientist ataupun aktivis kemanusiaan. Konon Yayasan Nobel memberi penilaian sangat obyektif pada para nominator. Kendati begitu, pemerintah Indonesia pernah menyatakan keraguan saat Ramos Horta dinobatkan sebagai penerima penghargaan tahun 1997 bersama Uskup Dili Mgr Filipe Ximenes Belo. Ya biasalah, namanya juga pemerintah. Cuma, lain Nobel lain nasib award lokal. Dari beberapa yang pernah ada, sedikitnya dua masih bertahan. Yap Thiam Hien Award (YTHA) dari Yapusham pimpinan Todung Mulya Lubis dan Pijar Demokrasi (PD) dari organisasi pemuda, Pijar Indonesia. Satu plakat yang tidak muncul-muncul lagi adalah Digul Award yang tercatat hanya sekali diberikan tahun 1996. Upacara penyerahan di Tugu Proklamasi kala itu berlangsung sederhana dan 'ngaktivis'. Menurut keterangan beberapa mantan panitia, acara memang sengaja di-set sebagai mimbar bebas. YTHA dan PD menggunakan hari HAM, 10 Desember sebagai momentum. Masih ada penghargaan serupa di bidang jurnalistik. Aliansi Jurnalis Independen memberikan Suardi Tasrif Award pada pekerja pers (bukan cuma wartawan) pada hari ulang tahunnya. Menilik seremoni setiap penghargaan tertangkap nuansa berbeda. Tergantung kemampuan masing-masing organisasi penghibah. PD, misalnya -yang tahun ini diberikan pada Gustav Dupe, pengurus lembaga Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) dan Ratna Sarumpaet, seniman teater yang kini memimpin LSM Jejak -terkesan ugahari. Ruang Adam Malik, YLBHI yang berkapasitas minim dijadikan lokasi seremoni. "Esensi tidak terganggu dengan kesederhanaan," ungkap seorang aktivis yang hadir. Benar juga. Ada yang khas dari PD menyangkut kriteria nominator. Salah satunya adalah dipenjarakan pemerintah karena kegiatannya. "Kalau ukurannya materi, Pijar award memang miskin. Kita nggak kasih apa-apa ke mereka selain dorongan tanpa henti dan ketulusan terima kasih," terang Christian Evert, Sekjen Pijar yang menjadi ketua panitia.Berdasar catatan Xpos PD pertama kali di-launching tahun 1994. Penerima waktu itu adalah Carmel Budiardjo dan Yeni Rosa Damayanti. Usaha Pijar menurut Cass, panggilan akrab Evert, tidak lain mempromosikan keberadaan 'pekerja' hak asasi dan demokrasi yang nyaris tidak mendapat perhatian selayaknya. "Boro-boro lagi perlindungan hukum." Maka, tidak salah kalau Abdul Hakim Garuda Nusantara, mantan Direktur Elsam sampai menukas belum adanya perubahan signifikan menyangkut perlindungan terhadap aktivis HAM. Padadal, setelah melewati waktu penuh cekam di masa rejim lalu, menurut Abdul Hakim sudah selayaknya human rights defenders dilindungi secara legal formal. Menjadi aturan integral dalam bab tentang hak asasi manusia, "Yang tak semestinya dijadikan UU, melainkan aturan konstitusi," tandasnya. Tentu ada pro-kontra. Ada yang berkilah, kerja aktivis melulu berkait penegakan hak asasi. Logikanya perlindungan terhadap hak belum terejawantah betul. "Masakan si aktivis sendiri minta perlindungan?" Atas argumentasi ini bolehlah kita menyebutnya naif. Sebab, aturan hukum sejatinya suatu tata normatif. Dengan keberadaan aturan ukuran pelanggaran dapat dinilai. Pro-kontra lain berangkat pada acara-acara seserahan dan ukuran penghargaan itu sendiri. Betapapun kerja para aktivis hak asasi dan demokrasi lebih pada pembelaan nilai. Dengan kata lain ukurannya tidak material. Upaya penobatan cenderung dipahami si penerima 'lebih dari yang lain'. Ia berbeda dengan penganugerahan insan hiburan yang didasarkan pada pilihan penonton. Ya, kalau di dunia show biz award menjadi lambang supremasi kesuksesan. Desy Ratnasari sehabis beroleh predikat pemain sinetron terbaik tarifnya naik. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html