Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 46/II/19-25 Desember 99 ------------------------------ MENGADILI JENDERAL (LUGAS): Sekarang baru disadari, upaya mengadili para pelanggar HAM, ternyata bukan soal mudah. Bukan karena para jenderal yang dituduh jadi penanggung jawab utama itu menyewa sejumlah pengacara sekaliber Adnan Buyung dan Muhammad Assegaf, tapi lantaran banyaknya hal politik dijadikan pertimbangan. Belum lagi mulai pengusutan terhadap para jenderal, Panglima Komando Cadangan Strategsi TNI AD (Kostrad) Letjen TNI Djaja Suparman sudah mengeluarkan 'ancaman'. Menurutnya, pemanggilan sejumlah jenderal ke DPR dan Komisi Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) akan memunculkan rasa sakit hati para prajurit, sehingga mereka bisa membabi buta dan menyengsarakan rakyat kecil yang tak bersalah. Boleh jadi ancaman itu benar. Apalagi, di beberapa kerusuhan waktu lalu, ada indikasi jelas keterlibatan oknum militer yang dekat dengan keluarga Cendana. Kalau pemerintah masih merasa penting menjaga sikap "kompromistis"-nya, persoalan mengadili pelanggaran HAM ini jadi makin runyam. Lantas, apakah pengusutan itu sebaiknya dihentikan? Tentu bukan itu jawabannya. Sebab, cara itu malah memunculkan preseden buruk baru: semua persoalan pelanggaran HAM diselesaikan secara politik. Bayangkan, bagaimana masa depan penegakan hukum di Indonesia, bila itu terjadi. Karena itu, mari letakkan persoalan ini dalam proporsi yang benar. Pertama, para pelanggar HAM harus melewati proses peradilan yang fair. Jika terbukti bersalah, dihukum. Bila tidak, dibebaskan. Kedua, proses pengusutan dan pengadilannya dilakukan bukan dalam kerangka "balas dendam", tapi sebagai wujud penegakan hukum dan keadilan semata. Dengan tidak menggunakan kaca-mata "balas dendam", persoalannya lebih dapat diurai secara jernih. Sehingga pengadilan yang akan berlangsung bukanlah proses pukul rata pada seluruh institusi militer. Meskipun para jenderal itu adalah pucuk-pucuk tertinggi komando militer dalam kurun waktu tertentu, bukan berarti seluruh institusi TNI jadi bersalah karena mereka. Toh lembaga TNI adalah bagian tak terpisahkan dari negara ini --yang harus dibenahi, bukan dibubarkan. Apalagi, masih ada "prajurit-prajurit modern" seperti Mayjen Agus Wirahadikusumah di dalamnya. Kesalahpahaman prajurit TNI bahwa korps mereka sedang "dihujat", dengan begitu bisa dinetralisir. Kalaupun ada prajurit tertentu yang punya 'loyalitas' buta pada figur tertentu, ini mestinya jadi alasan mengadili pemimpinnya. Sampai kapan kita mau pelihara srigala dalam rumah? (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html