Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 47/II/26 Desember 1999 - 1 Januari 2000
------------------------------

KASAK-KUSUK PARA JENDERAL

(PERISTIWA): Pertentangan elit TNI kian meruncing. Kelompok Pangkostrad
Letjen Djaja Suparman gencar berkonsolidasi. Ia juga manfaatkan isu
pengadilan para jenderal.

Pernyataan Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah (AKABRI 1973) mengenai perlunya
perombakan struktur di tentara (yaitu tentang perlunya memperkecil jumlah
Kodam dan menciutkan strukturnya, ternyata menurut isu yang beredar bukanlah
sekedar pernyataan dari seorang Agus, Panglima Kodam VII/Wirabuana.
Pernyataan itu ternyata merupakan suara sebuah kelompok elit TNI yang sangat
resah dengan tetap dipertahankannya Dwi Fungsi ABRI/TNI. Diduga keras, saat
ini di tubuh TNI sedang terjadi perpecahan di tingkat elitnya. Hal tersebut
juga dikuatkan dengan tanggapan keras atas pernyataan Pangkostrad Letjen TNI
Djaja Suparman (AKABRI 1972), mengenai para tentara bisa marah jika
jenderalnya diadili. "Pernyataan itu seharunya tidak muncul dari seorang
Pangkostrad. Karena setiap tentara itu loyalnya terhadap kesatuan, negara
dan bangsanya. Bukan pada jenderalnya," protes Agus.

Pernyataan Agus tersebut oleh sementara pihak merupakan bagian dari sikap
sejumlah jenderal terhadap kepemimpinan TNI (terutama TNI-AD) saat ini.
Pertentangan itu disimbolkan oleh sosok Agus Wirahadikusumah di satu pihak
yang mewakili "darah baru" TNI dan sosok Djaja di pihak lainnya. Djaja
merupakan sosok kelompok konservatif, yang anti perubahan, termasuk anti
penghapusan dwi fungsi. Mereka lebih banyak dari AKABRI angkatan 1972.

Menurut pengamat militer Letjen TNI (Purn) Hasnan Habib, isu perpecahan di
jajaran TNI memang sulit dibuktikan, tetapi juga tidak bisa dibantah. Ia
menyatakan, politik akomodasi mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto (kini
Menko Polkam) dalam mutasi besar-besaran pada pos-pos strategis, beberapa
waktu lalu, ternyata bukan merupakan hasil dari penilaian Wanjakti (Dewan
Jabatan dan Kepangkatan Tinggi). Pasalnya, nama-nama perwira yang dimutasi,
sudah terlalu sering berganti jabatan. Sebaliknya, jika penempatan seseorang
hasil keputusan Wanjakti, seseorang tidak akan terlalu sering berganti jabatan.

Hasnan menambahkan, seorang jenderal yang sering berganti jabatan, karena
tidak ada perencanaan jangka panjang bahkan terkesan mutasi di TNI
belakangan ini hanya coba-coba. Misalnya, Letjen TNI Johny Lumintang, ia
sebelum menempati posisinya di Lemhanas, beberapa kali dia dipindah
jabatannya. Malah dia sempat satu malam jadi Pangkostrad, lalu ke Hankam, ke
Sesko, baru ke Lemhannas. Penempatan Johny Lumintang menurut mantan Dubes
tersebut bukan hasil perencanaan dan manajemen personil. 

Begitu pula soal penempatan Jenderal TNI Tyasno Sudarto sebagai KSAD,
menurut Hasnan, kelihatan sekali ada beberapa hal yang tidak tepat. Sebab,
yang seharusnya menempati posisi itu adalah kubu reformis, yaitu Letjen TNI
Agus Widjojo (Kaster TNI) dan Agus Wirahadikusumah (Pangdam VII/Wirabuana).
Dua jendral ini disebut-sebut sebagai duet jenderal yang cocok dengan angin
reformasi saat ini. Mereka berdua selama ini yang menggeluti reformasi
internal TNI, pendidikan TNI, dan reformasi personel sangat cocok.

Sehingga pemindahan kedua Agus tersebut kurang menguntungkan. Sebab, antara
Asrenum (yang  pernah dijabat Agus Wirahadikusumah) serta Dan Sesko TNI
(dulu dijabat Agus Widjojo) ada semacam rantai hubungan yang sangat erat.
Keduanya adalah dapur pemikiran reformis di tubuh ABRI. Suara-suara kubu
mereka yang ingin maju dan yang ingin TNI lebih profesional, dengan cara
menghapus peran Sospol TNI, menghapus struktur organisasi yang menghambat
seperti Komando Teritorial dan menghapus bisnis militer tersebut sebenarnya
telah mendapat tempat di hati rakyat. 

Kelompok ini, konon juga didukung oleh kelompok jenderal lainnya, yang
walaupun mempunyai pemikiran serupa, namun jalannya tidak sedratis kelompok
Agus. Mereka menginginkan penghapusan dwi fungsi dengan jalan gradual.
Mereka adalah KSAD Jenderal TNI Tyasno Sudarto dan seniornya, Letjen TNI
Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua kelompok ini sangat bertentangan dengan
kelompok Djaja, yang ingin tetap mempertahankan sistem militer seperti saat ini.

Ada isu pula, bahwa sebenarnya yang terjadi sekarang merupakan puncak dari
kekecewaan kelompok jenderal reformis terhadap mutasi besar-besaran di tubuh
TNI beberapa waktu lalu. Penarikan Yudhoyono dari jabatan elit tentara ke
jabatan sipil (menjadi Mentamben), dipandang oleh kalangan ini sebagai salah
satu cara penyingkiran jenderal-jenderal reformis. 

Apalagi, naiknya Djaja Suparman ke posisi Pangkostrad dinilai sebagai sebuah
langkah yang salah. Selain ia terlalu senior untuk menjadi Pangkostrad,
Djaja juga merupakan salah satu jenderal yang tidak punya prestasi militer
yang hebat. Bahkan di hadapan sejumlah jenderal yang punya pemikiran
reformis, Djaja justru berprestasi buruk lantaran terlibat langsung
pembentukan milisia yang bisa membahayakan kerukunan masyarakat. Djaja saat
jadi Pangdam sangat memberikan angin terhadap gerakan Pam Swakarsa yang
memperkeruh suasana Sidang Istimewa MPR Nopember 1998 dan gerakan milisia
Front Pembela Islam (bagian dari kelompok Islam garis keras) yang sangat
pro-Habibie dan anti gerakan mahasiswa/massa penentang Habibie. Konon, Djaja
juga merupakan "orang kuat" di balik peredaran Narkoba di Jakarta. 

Menurut sumber, ia bisa memangku jabatannya yang sekarang ini semata karena
balas jasa jenderal Wiranto, saja. Djaja sangat membantu banyak Wiranto
ketika "mengamankan" Jakarta saat-saat dan sesudah lengsernya Soeharto,
sejak Mei 1998. Ia salah satu Pangdam (Pangdam V/Brawijaya) yang mengirimkan
pasukan pengamannya ke Jakarta.

Djaja oleh sementara orang dianggap sebagai salah satu elit TNI yang tidak
menyukai struktur pemerintahan saat ini, salah satunya tidak setuju dengan
pemasangan Menhan dari kalangan sipil. Mungkin karena itulah, Agus
Wirahadikusumah pada sebuah kesempatan pernah mengingatkan bahwa ada
sekelompok jenderal yang ingin menyodok pemerintahan Gus Dur, atau istilah
lainnya, ingin kudeta. 

Dugaan itu bukan hal yang mustahil, sebab Djaja (orang dekat mantan KSAD
Jenderal Subagyo HS itu), selama ini sudah membangun jaringan di kelompok
sipil, termasuk mempunyai hubungan dekat dengan kelompok mantan presiden
Habibie. Juga, momentum rencana pengadilan terhadap Wiranto dkk, dipakai
Djaja untuk konsolidasi. Ia mengobarkan isu agar para prajurit memberontak
jika komandannya diadili. Ia juga yang belakangan ini sangat aktif keluar
masuk dan mem-briefing prajuritnya di Kostrad, yang berada di beberapa daerah.

Jadi ya, bukan mustahil kudeta itu akan menjadi kenyataan dan militer
berkuasa kembali. Tapi, "Saya optimis, melalui waktu yang akan berjalan,
golongan reformislah yang akan berhasil. Tapi, syaratnya, rakyat harus
membantu. Saya melihat elit sipil, dalam hal penghapusan dwifungsi, belum
satu suara. Ada yang berkehendak dihapus, ada juga yang tidak. Ini yang
perlu diperbuat untuk mendukung golongan yang ingin maju," tegas Hasnan
Habib. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke