Precedence: bulk


Dini S. Setyowati:


                          PUTRA FAJAR
                              (3)

     TAMPAKNYA Jepang semakin besar menaruh kepercayaan pada
Sukarno. Sehingga oleh karenanya ia diundang untuk berdialog
dengan pemerintah pusat. Suatu saat Sukarno diundang ke Tokyo.
Pada upacara kenegaraan untuk menyambut kedatangannya, Tenno
Heika menyematkan medali penghargaan di dadanya.

     Bagi Sukarno kesempatan itu digunakannya untuk mengamati
situasi Jepang khususnya dan dunia pada umumnya. Hasil selidik
mata cermatnya memperlihatkan kenyataan padanya, bahwa posisi
Jepang di peta pertarungan dunia sangat memburuk. Karena itu
dalam hati Sukarno memperhitungkan, sikap Jepang terhadap
Indonesia pasti akan makin melunak. Kemudian selanjutnya, asal
topeng loyalitas tetap bisa dimainkannya dengan pandai dan
selamat, pasti Jepang akan makin bersedia memberi konsesi-
konsesi lebih luas.

     Sungguh suatu manuver politik yang tak lepas dari aspek
petualangan. Vivere peri coloso! Begitu menurut kata-kata
Sukarno sendiri. Politikus lain, jika harus dalam posisi
seperti Sukarno ketika itu, barangkali tidak akan bisa tahan.
Tapi beda dengan Sukarno. Ia sudah berpengalaman ketika
menghadapi Belanda. Selain itu ia pun mendapat kepercayaan
besar dari rakyat. Jelas bahwa rakyat mencintainya. Bahkan
orang-orang yang harus bekerja sebagai romusha, membangun rel-
rel kereta api dan jalan raya di pedalaman Burma, dan kemudian
mati karena kelaparan atau siksaan, sebelum hembusan nafas
terakhir terputus, mereka masih sempat membisikkan sepatah
kata: "Merdeka!"

     PADA saat itu Sukarno menikah untuk ketiga kali. Istri
keduanya bernama Fatmawati, yang jauh lebih muda ketimbang
Inggit Garnasih - istrinya yang terdahulu. Tidak lama setelah
mereka menikah, lahirlah anak mereka yang pertama. Anak laki-
laki. Dalam tahun 1944 atau tahun Showa 2604.

     Sementara itu situasi dan posisi Jepang di medan perang
makin memburuk. Tetapi semakin ia terdesak dari gelanggang
internasional, semakin pula ia berusaha mati-matian untuk
mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Meskipun untuk itu
ia harus menempuh jalan dengan membuka banyak peluang dan
kelonggaran. Contoh-contoh tentang ini, misalnya, Sang Merah
Putih boleh dikibarkan, selama di samping kiri bendera
Hinomaru. Lagu kebangsaan "Indonesia Raya" boleh dinyanyikan,
selama didahului oleh lagu "Kimigayo". Tidak lama sesudah
kelonggaran-kelonggaran itu diberikan, dibentuk pula Chuo
Sangi In, yaitu semacam badan penasihat bagi pemerintah
Balatentara Dai Nippon yang terdiri atas orang-orang
Indonesia. Sukarno diberi kuasa untuk memilih dan mengangkat
orang-orang untuk duduk di badan ini. Kelak, jika Indonesia
sudah merdeka, para anggota Chuo Sangi In itulah tokoh-tokoh
terkemuka pertama di dalam pemerintah Republik Indonesia.

     Namun demikian, bersamaan pada waktu itu juga, komando-
komando tentara pendudukan Jepang di dalam negeri semakin
ganas. Pengejaran dan penangkapan, pembunuhan dan pembasmian
tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok perlawanan fisik makin
meningkat. Ratusan cendekiawan dengan berencana ditangkapi,
dibawa ke pedalaman Kalimantan untuk dibunuh di sana. Sedikit
saja dari mereka itu yang dapat diselamatkan oleh Sukarno,
sesudah secara pribadi ia menghubungi beberapa orang jenderal
tertentu. Meskipun begitu perjuangan revolusioner tetap
berkobar dengan gagah di sana-sini. Di Blitar, misalnya,
terjadi pemberontakan bersenjata oleh satu kelompok pasukan
Daidan (setingkat batalyon) PETA kota itu.

     Di tengah kegentingan yang semakin memuncak itu, Sukarno
seolah-olah bersikap ambil jarak dengan kelompok-kelompok kiri
yang aktif di bawah tanah. Ia tahu benar, andaikata ia serukan
komando "angkat senjata!", rakyat pasti akan mendengarnya. Dan
situasi seluruh negeri seketika akan berubah menjadi gelombang
lautan api, atau gunung berapi yang meletus dan memuntahkan
lahar, yang akan menelan lenyap kekuasaan Jepang.

     Tetapi Sukarno diam. Menahan diri. Menjaga agar jangan
terjadi pertumpahan darah para pemuda, yang kelak akan menjadi
tulang punggung pembangunan negara muda Indonesia.

     Dalam hati ia mengharap terbukanya jalan yang paling
aman. Jepang yang kalah perang akan dienyahkan oleh Sekutu. Ia
mengakui kenyataan, bahwa sumbangan paling besar dan penuh
pengorbanan dalam usaha mencapai kemerdekaan, datang dari kaum
proletar revolusioner. Jika peristilahan perang dunia dipakai
dalam hubungan ini, mereka itulah para partisan yang sejati di
dalam kancah Revolusi Nasional.

     Tetapi Sukarno seorang politikus yang setia pada ide
klasnya sendiri, yaitu burjuasi nasional. Cita-citanya ialah
agar golongan menengah itu yang akan tampil sebagai pemenang
dalam revolusi, dan agar mereka ini jugalah yang kelak akan
mengambil alih kekuasaan di alam Indonesia yang merdeka. Oleh
cita-citanya yang seperti itu, maka Sukarno tidak bersedia
menempuh jalan yang sama dengan kaum proletar revolusioner di
dalam perjuangan mengusir fasisme Jepang.

     Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang kapitulasi. Pada
tanggal 17 Agustus, yaitu dua hari berselang sesudah Jepang
bertekuk lutut, Republik Indonesia diproklamasikan. Tetapi
sikap Sukarno masih waswas. Sikapnya yang demikian ini
disertai pula dengan kebimbangan. Sikap waswas bercampur
bimbang dalam menghadapi situasi yang menentukan seperti itu,
kelak akan acap kali terulang padanya, dan akan membawa akibat-
akibat fatal bagi bangsa, negara dan bahkan dirinya sendiri.

     Gelak tertawa yang riuh menghentikan lamunan Kasto. Ia
tidak bisa ikut mendengar lelucon Presiden. Tapi agaknya
sangat mengena, karena para tamu tertawa terpingkal-pingkal.
Kasto ikut juga bersenyum-senyum. Sukarno menoleh pada Kasto,
sambil berseru meneruskan guraunya:
     "Coba lihat! Aku ini pelawak yang paling konyol di sini.
Catat ini! Biar dunia luar mengetahui!"

     HARI sudah menjelang siang, ketika pada akhirnya mereka
tinggal berdua. Duduk di satu ruangan yang tenang dan sejuk.
Segera sesudah tamu-tamu pergi, Presiden melepas kemeja
putihnya dan melempar sandalnya ke pojok ruangan.

     Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang wanita, ajudan
kepresidenan, masuk membawa baki berisi obat-obatan. Dengan
patuh Sukarno menelan beberapa kapsul dan pil, jatah siang
hari yang diberikan ajudan itu.

     Dengan pandang matanya Presiden mengantar wanita itu,
sampai ia menghilang di balik pintu. Lalu yang terdengar suara
gerutunya:

     "Beginilah keadaanku, To!  Bukan diberinya aku ciuman,
malah pil-pil pahit yang harus aku telan. Padahal orang-orang
menuduh aku seorang Don Juan! Ah To! Aku sudah tua dan
terpenjara. Menjadi budak protokol. Terkurung dalam kurungan
emas. Rasanya ingin aku tinggalkan semua ini, demi mendapat
kesempatan sebentar melayap, di gang-gang perkampungan kita
dahulu ..."

     "Siapa yang mencegahmu?" Suaranya sendiri terdengar
bertanya.

     "Siapa? Rakyat bangsa ini!" Jawab Sukarno pula pada diri
sendiri, sambil tampak merenung sejurus. Lalu ia lagi
meneruskan bicara.

     "Tidak mungkin lagi aku tampil sebagai orang awam. Di
mata rakyat aku ini Presiden. Pemimpin bangsa. Padahal justru
itulah yang selalu aku rindukan: Menjadi diriku sebagai orang
biasa!"

      Kasto memandanginya. Di atas meja tergeletak naskah
bukunya. Pasti Sukarno sudah membacanya. Ia mengharap agar
penuturan kejadian-kejadian sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Tidak bisa lain! Sekarang tinggal bagaimana ia
menilai tulisannya itu. Kasto sendiri, dalam usaha memaparkan
kejadian-kejadian, tetap bertahan pada kenyataan. Namun dengan
tidak meninggalkan wawasannya yang kritis.  Tidak ada pemujaan-
pemujaan, melainkan hanya mengatakan sebagaimana adanya.
Banyak masalah yang belum terjawab dan, menurut Kasto, memang
hanya masa depan sejarah sendiri yang akan sanggup memberikan
jawabannya.

     "Kenapa kau tidak pindah ke Jakarta saja?" Tiba-tiba
Presiden memotong lamunannya.

     "Di Bandung kau hanya seorang guru SMA. Di sini bisa aku
tempatkan kau pada jabatan yang sesuai dengan kemampuanmu".

     Kasto sudah menduga akan datangnya tawaran seperti itu.
Memang Sukarno akan selalu senang berada dekat dengan kawan-
kawannya dari masa perjuangan dulu. Mungkin hanya terhadap
mereka pula Sukarno ikhlas menyerahkan kepercayaannya. Tapi
Kasto tidak suka tinggal di ibukota yang baginya terlalu
ramai.

     "Terimakasih!" Jawab Kasto. "Tawaranmu aku hargai. Tapi
biarlah aku tetap di Bandung, dan bekerja sebagai guru biasa.
Di sana rasaku lebih tenang
untuk bisa menulis."

     Sukarno mengangguk-angguk. Sambil kelihatan berpikir.
Raut wajahnya menjadi bersungguh-sungguh, dan bayangan
senyumnya yang ironis hilang.

     "Aku sedang dalam kesulitan To!" Katanya sambil menarik
nafas panjang.

     "Kadang-kadang aku tidak tahu lagi, siapa sekarang ini yang
masih dapat aku percaya. Orang pada membohongi aku. Banyak hal-
hal yang terjadi diam-diam di belakang punggungku. Bahkan
melanggar perintah-perintahku. Aku dikelilingi para penjilat
yang setiap waktu sanggup mengkhianati tujuan karya hidupku ."

     Kasto memandanginya dengan penuh pengertian.

     "Ada beberapa pertanyaan padaku, Bung!" Kata Kasto
kemudian. "Dan terus terang aku kurang mengerti. Apa sih
sebenarnya yang kita maksud dengan kata 'revolusi'?"

     Sukarno menatap wajah Kasto dengan heran.    Sejurus
saja. Kemudian bicaralah ia berpanjang lebar tentang arti
kesatuan nasional, dan ancaman bahaya yang mengintai dari
negara tetangga Malaysia. Lalu katanya sambil mengangkat
tangannya:

     "Seluruh dunia sekarang menghadap ke kita, To!  Indonesia
menjadi contoh. Tentu karena keberaniannya. Apakah karena itu,
maka kita mau mereka hancurkan?"

     Kasto berusaha untuk tidak terseret arus emosi. Memang
sudah bukan rahasia lagi, bahwa sang Presiden ini sering
terbawa oleh patosnya sendiri. Tapi apakah dengan patos,
problem negeri akan terselesaikan? Begitu pikir Kasto.

     "Bung!" Pelan-pelan ia kembali membuka pembicaraan.
"Mungkin karena posisimu sekarang jauh di atas rakyat. Bung
terkurung di istana, dan ditambah lagi dengan segala
kebohongan para penjilat yang kau ceritakan tadi. Kau lalu
menjadi kurang sadar terhadap kenyataan."

     Sukarno diam mendengarkan.

     "Aku sebagai guru kecil di daerah, mengalami langsung
kenyataan hidup sehari-hari. Dan karena itu aku merasa
dicengkam semacam firasat, bahwa negeri ini sedang menuju ke
malapetaka ..."

     Sukarno tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi tidak
mengucapkan kata-kata bantahan satu patah pun. Ia hanya
menarik kursinya lebih mendekat pada Kasto. Dan bertanya
perlahan-lahan.

     "Coba To! Katakan, apa yang menggelisahkanmu? Apa yang
menurutmu kita telah melakukan kesalahan?"

     "Sebenarnya kita harus menyelusuri garis benang sejarah,
Bung. Karena tidak semua tekanan dan kepincangan adalah hasil
dari kesalahan masa kini. Aku bahkan sering merasa, bahwa
"rumah" yang bernama Indonesia ini telah  dibangun di atas
fondasi yang lemah. Fondasi yang tak kuat menopang bobot rumah
itu sendiri."

     "Kasto!" Sukarno memotong. "Aku inilah fondasi Indonesia
itu! Rumah Indonesia ini aku. Dibangun dengan keringat dan
kekuatan rakyat, itu benar! Tapi dengan ilhamku. Tanpa aku
Indonesia tidak lahir."

     Penjelasan Sukarno yang berapi-api itu dilewatkan Kasto
tanpa tanggapan. Tapi setelah merenung sejenak, kembali Kasto
yang bicara.

     "Bung! Kau bersama kami, seluruh rakyat, bersama-sama
berjuang merebut kemerdekaan dari Belanda. Kau juga yang
berhasil menyatukan bangsa ini dalam perjuangan untuk
kemerdekaan itu. Tapi, sesudah tujuan mulia itu tercapai, kita
lalu menjadi tercerai berai. Tidak ada lagi tujuan dan ide
yang menyatukan kita di dalam satu derap langkah bersama. Kita
telah terbagi-bagi dalam berlapis-lapis masyarakat, yang
masing-masing mempunyai visinya tentang masa depan yang
berbeda-beda. Sampai hari ini kita mandek di situ. Kesatuan
nasional yang lahir dan menjadi kuat ketika menghadapi
perjuangan melawan kolonialisme dulu, sekarang ini sudah
mati."

     Sukarno menatap wajah Kasto terheran-heran.

     "Kasto! Sudah berkali-kali aku mendengar teori ini. Apa
kau Komunis, Kasto? Kau juga ikut-ikut membagi-bagi rakyat
dalam klas-klas yang harus saling bentrok satu sama lain?"

     "Aku bukan Komunis, Bung! Kau tahu itu. Tapi terbentuknya
klas-klas dalam masyarakat, itu bukan gejala yang dikarang-
karang oleh Komunis! Itu kenyataan yang objektif!" Bantah
Kasto.

     "Tidak!" Sahut Sukarno. "Kau keliru. Indonesia lain.
Justru keanekaragaman itulah kekuatan kita, Kasto!"

     "Ya, aku juga tahu. Juga setuju. Bhineka Tunggal Ika.
Tapi, apakah Bung benar-benar percaya? Jika ada satu kelompok
kecil korup, yang tanpa batas memperkaya diri di atas
kesengsaraan rakyat jelata, apakah itu akan memperkuat
kesatuan? Atau, apakah Bung tidak percaya kenyataan? Bahwa
hari ini harga satu kilogram beras sudah enam puluh lima kali
lebih mahal ketimbang harga lima tahun yang lalu? Enam puluh
lima kali, Bung ..."

     "Aku tahu itu!" Jawab Sukarno. "Itulah memang salah satu
dari kesulitan-kesulitan yang kita hadapi sekarang. Tapi kau
jangan lupa, bahwa Indonesia adalah negara yang relatif masih
muda. Masih dalam proses belajar sesudah tiga ratus tahun
diperbudak. Apalagi sekarang! Ketika seluruh kekuatan sedang
kita pusatkan pada konfrontasi dengan Malaysia."

     "Tapi Bung!" Kasto belum mau menyerah. "Bukan konfrontasi
yang menjadi problem utama. Tapi fakta, sesudah kemerdekaan
tercapai, pertentangan dalam negeri antargolongan dan antar-
partai menjadi semakin tajam. Dan kau mencoba menyelimuti
fakta itu dengan beledu harmoni dan permadani Bhineka Tunggal
Ika!"

     Sukarno diam.

     "Kau letakkan musyawarah sebagai sendi utama dalam haluan
negara. Benar. Itu semua karena jasamu. Tapi, Bung! Semuanya
itu tidak bisa mengubah kenyataan di dalam negeri kita ini.
Kenyataan yang kumaksud ialah, bahwa perbedaan dan kepincangan
sosial semakin meruncing, dan sebagai akibatnya lahirlah
golongan-golongan yang tujuannya serba berlainan dan bahkan
bertentang-tentangan. Satu-satunya perekat yang selama ini
bisa agak menyatukan hanyalah engkau, Bung. Ya, Bung Karno
sendiri! Tapi, menurut pendapatku, ini bukan basis yang solid
untuk bisa membangun negeri, yang dengan tatanan modern dan
dengan rakyat yang makmur."

     "Kau keliru, Kasto! Sangat Keliru!" Sukarno
memperingatkan dengan sabar. "Bukan. Bukan aku, Bung Karno,
kekuatan pemersatu. Tapi Nasakom itulah yang mempersatukan
kita dan seluruh kekuatan rakyat. Semua aliran bersatu di
dalam front persatuan. Baik yang nasionalis, agama, maupun
komunis. Ini, Kasto. Lembaga inilah basis persatuan kita!"

     "Tapi Nasakom tidak melakukan politik apa-apa, Bung!"
Kasto membantah. "Yang berpolitik adalah Bung Karno. Sekali
lagi, Bung Karno. Bukan Nasakom. Memang Nasakomlah yang
sebenarnya harus giat. Tapi ternyata lembaga ini hanya menjadi
semacam paguyuban. Atau ..., karena memang tidak sanggup?"

     Sukarno sebentar merenung.

     "Mengapa tidak sanggup?" Katanya kemudian. "Ya, mengapa
tidak? Kalau kita bersihkan badan ini dari elemen-elemen yang
korup? Dan kemudian diserahi tanggungjawab? Termasuk untuk
menurunkan harga beras? Mengapa tidak bisa?!"

     "Tentu saja itu bisa, Bung. Apalagi kalau bersatu untuk
tujuan yang sama. Tapi justru tujuan yang sama inilah yang
tidak ada. Sejak republik sudah diproklamasikan, sejak itu
pula sebenarnya tujuan bersama telah hilang ..."

     "Oh, tidak!" Sukarno bangkit melompat dari tempat
duduknya. "Tujuan bersama itu masih ada." Ia melangkah mondar-
mandir di ruangan itu, sambil tangannya tak henti-henti
bergerak, menyertai setiap ucapan kata-katanya.

     "Masih ada tujuan bersama yang agung itu, To!" Katanya
meneruskan. "Yaitu meneruskan revolusi nasional yang belum
selesai. Ini Kasto! Inilah tujuan bersama yang menggairahkan.
Bangsa muda yang sedang bangkit, dan melangkah bersama dalam
satu derap barisan ..."***

(ed.: Hersri)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke