Precedence: bulk


MEMANIPULASI AYAT SUCI UNTUK KEPENTINGAN POLITIK SESAAT

Oleh: Alam Tulus

        Kitab Suci mengajarkan: "bagimu agamamu, bagiku agamaku". Ayat ini
merupakan pengamalan dari ayat: "Tidak ada paksaan dalam agama". Jadi,
masing-masing berpeganganlah kepada agama yang diyakininya. Jangan
memaksakan pihak lain untuk memaksakan agama yang dianutnya.
        Kini muncul pertanyaan dari Ulil Abshar Abdallah, yaitu mengapa
tidak memakai prinsip: "Bagimu ayatmu, dan bagiku ayatku". Pertanyaan ini
muncul karena terjadi perseteruan antara dua orang kiai, yang satu dari
partai Mangga (PPP -pen) dan yang satunya partai Semangka (PKB -pen).
Masing-masing kiai sama-sama menggunakan ayat Al Quran untuk membenarkan
partainya.
        Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kita telaah tulisan Ulil
Abshar Abdallah, yang berjudul "bagimu ayatmu, bagiku ayatku" yang terdapat
dalam buku "Membakar Rumah Tuhan".

PERSETERUAN PARTAI MANGGA DAN PARTAI SEMANGKA
        Ulil Abshar Abdallah menceritakan bahwa ini adalah kisah perseteruan
antara dua orang Kiai. Yang satu pendukung Partai Mangga, yang lain
mendukung Partai Semangka. Perseteruan ini berlangsung di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, dua wilayah di mana populasi santri begitu besar dan setiap
tindakan politik biasanya diekspresikan dengan bahasa agama yang amat kental.
        Sebagai catatan kata Ulil lebih lanjut, bahwa di kalangan aktivis
LSM, metafor "Mangga" biasa digunakan untuk menyindir sejumlah partai yang
sok Islam, tetapi sebetulnya menjadi kakitangan pemerintah atau status quo
(PPP -pen). Sebaliknya di kalangan aktivis Islam metafor "Semangka" juga
digunakan untuk menyindir balik partai yang dari luarnya seolah-olah Islam
berwarna hijau, berbau Islam tetapi dari dalam berwarna merah, kekiri-kirian
sekuler.

AYAT YANG DIGUNAKAN KIAI PARTAI MANGGA
        Menurut Ulil Abshar, di depan ribuan massa yang mengelu-elukannya,
kiai Partai Mangga mengutip ayat dari Surat Al Ashr (103): wal'ashri innal
insana lafi khusrin illa lladzina amanu. Jika tidak pada musim kampanye,
kiai tersebut biasanya menterjemahkan demikian: "Demi masa, sesungguhnya
semua manusia ada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman". Tetapi
pada musim kampanye, terjemahan tiba-tiba berbelok 180 derajat, dan bunyinya
jadi demikian: "Demi massa, sesungguhnya semua manusia ada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang mendukung partai Mangga".
        Di mata kiai ini, rupanya kata "beriman" dalam ayat itu tidak
dibiarkannya berada dalam pengertiannya yang jenerik, yaitu orang-orang yang
beriman kepada Allah dan memeluk agama Islam. Dengan argumen yang canggih,
tetapi agak tricky, kiai ini berkata kepada publiknya bahwa Partai Mangga
adalah partai yang didirikan oleh para ulama dan berasas Islam oleh karena
itu masuk akal jika kata "beriman" dalam ayat tsb diartikan sebagai
pendukung partai Mangga.
        Bagaimana dengan Partai Semangka, yang juga didirikan oleh para
ulama dan juga memperjuangkan Islam? tanya kiai itu, seolah-olah ingin
menebak pertanyaan yang menganjal di benak publiknya.
        "Sodara memang benar. Partai Semangka itu didirikan oleh para ulama.
Tapi harap kalian tahu, partai ini hanya luarnya saja yang nampak Islam,
tetapi di dalamnya tidak. Lihat, bagaimana partai ini tidak tegas-tegas
menggunakan Islam sebagai asasnya, dan mengajak orang-orang non muslim duduk
dalam kepengurusannya. Sodara apa tidak lihat, pemimpin puncak partai ini bukan
orang yang taat menjalankan ibadah agama, dan suka runtang-runtung dengan
orang-orang kafir. Rumahnya yang dibeli dari duit rezim dahulu. Walhasil,
kita meragukan Islamnya Partai Semangka ini!"

AYAT YANG DIGUNAKAN KIAI PARTAI SEMANGKA
        Minggu berikutnya, kata Ulil Abshar, pidato Kiai Partai Mangga
langsung mendapat tanggapan dari Kiai Semangka. Dalam sebuah Rapat Umum di
alun-alun Kabupaten, di depan ribuan massa yang menunggunya, dengan sabar,
kiai Semangka mengutip sebuah ayat dalam Kitab Suci, dan dilantunkannya ayat
ini dengan indahnya.
        "Sodara, partai kita ini bernomor urut 35 (PKB, memang bernomor 35
dalam daftar peserta pemilu -pen). Ini bukan nomor main-main. Coba buka
Kitab Suci, surah Al Ahzab (33) ayat 35. Kiai itu lalu membacakan ayat nomor
35 dalam surat Al Ahzab itu. Karena agak panjang, saya akan terjemahkan
secara bebas dan ringkas saja. Ayat ini, kira-kira begini artinya:
"Sesungguhnya orang Muslim laki-laki dan perempuan, orang-orang Mukmin
laki-laki dan perempuan; orang-orang yang beribadah, baik laki-laki atau
perempuan; orang-orang penyabar, baik laki-laki atau perempuan; orang-orang
yang khusyuk, baik laki-laki atau perempuan; orang-orang penderma, baik
laki-laki atau perempuan; orang-orang yang menjaga kemaluan mereka, baik
laki-laki atau perempuan; orang-orang yang selalu ingat kepada Allah, baik
laki-laki atau perempuan; mereka itu semua akan mendapatkan pengampunan dan
pahala yang besar dari Allah".
        Kurang jelas, kenapa Kiai ini memilih surah nomor 35, dan tidak yang
lain. (Mungkin karena PKB nomor urutnya 35). Tapi marilah kita, ikuti
ayat-ayat lain yang dikutip oleh Kiai Semangka ini.
"Sodara, Partai Mangga itu mempunyai nomor urut 9 (dalam tanda gambar partai
peserta pemilu -pen). Akan saya kutipkan surah 9 ayat 9 dalam Kitab Duci.
Dan kalian simak bagaimana artinya. Lalu Kiai semangka itu mengutip surah At
Taubah, ayat nomor 9, yang memang berisi kecaman atas orang-orang yang
menjual ayat Tuhan dengan harga yang amat murah.

MANA YANG BENAR?
        Seorang awam pastilah akan bingung, ujar Ulil Abshar, bagaimana
mungkin Kitab Suci bisa menyediakan sejumlah ayat untuk dua orang yang
saling berlawanan; bagaimana bisa Kitab Suci mengatakan A dan sekaligus B,
padahal keduanya bertabrakan. Mana yang benar, kalau dua-duanya didukung
oleh Kitab suci?
        Salah satu hal yang menonjol dalam retorika jurkam kedua partai ini
adalah bahasa agama. Karena dominannya bahasa ini, massa partai akhirnya
mempunyai pikiran bahwa afiliasi mereka kepada salah satu partai bukan saja
bermakna secara "keduniaan", tetapi juga bermakna dari sudut "politik",
tetapi lebih-lebih lagi dari sudut "keyakinan agama".
        Ada bahaya besar ketika seorang memakai bahasa agama untuk vote
getting dalam pemilu. Pertama, begitu bahasa agama digunakan dalam konteks
ini, orang lain pun bisa menggunakannya untuk tujuan yang berbeda, bahkan
berlawanan.
        Kisah di atas adalah contoh yang baik untuk itu. Jika ini, terjadi
akan timbul kenyataan yang lucu: pertengkaran yang semula berlangsung di
"kawasan politik " dialihkan arenanya ke kawasan "agama". Orang awam yang
tidak kritis akan menyangka pertengkaran ini adalah benar-benar berhubungan
dengan soal agama, padahal masalahnya adalah soal politik biasa, soal keduniaan.
        Kedua; ayat-ayat dalam Kitab suci Al Quran, biasanya tidak bisa
secara langsung digunakan untuk mengomentari suatu kejadian politik. Dengan
kata lain kenyataan politik tidak bisa secara mudah dijelaskan dalam bahasa
agama. Jika ini terjadi salah satu pasti ada yang rusak, jika tidak ayatnya
yang mengalami distorsi, maka kenyataan politiknya yang terselewengkan.
Akhirnya publik tidak mendapat gambaran yang clear mengenai state of affair,
duduk soal suatu masalah.
        Ini adalah contohnya. Dalam dialog partai-partai Islam di layar
kaca, saya sering mendengar pertanyaan bernada protes dari para pemirsa:
jika Islam menghendaki persatuan, mengapa tidak ada satu partai saja untuk
semua orang Islam? Lalu disebutnya sebuah ayat: wa' tashimu bihablil lahi
jami'an wala tafarraqu; berpeganganlah kalian kepada "tali Allah" dan jangan
bercerai-berai.
        Yang menjadi pertanyaan kita adalah benarkah adanya partai yang satu
untuk semua umat Islam betul-betul merupakan perintah agama berdasarkan ayat
tsb? Bisakah ayat itu langsung digunakan sebagai sandaran untuk menyerang
sistem multi partai, karena akan menyebabkan perpecahan di tubuh umat?

SIAPA SAJA BERHAK MENGUTIP
        Kita mesti berpikir seribu kali, kata Ulil Abshar, sebelum mengutip
satu dua ayat untuk menjelaskan atau mengomentari suatu perkembangan politik
yang terus menerus berubah. Dengan  "mencantolkan" sebuah ayat, dengan suatu
peristiwa politik tertentu, maka kita telah memusnahkan keabadian ayat itu.
        Bahaya terakhir yang paling parah adalah bahwa orang seringkali
menyembunyikan kedangkalan (untuk tidak mengatakan: kebodohan) pemahamannya
terhadap suatu peristiwa di balik ayat Quran. Seperti seorang pelukis yang
malas belajar detil, menyembunyikan dibalik gaya surrealisme.
        Jika seorang jurkam terpaksa harus memakai ayat Kitab Suci, karena
publiknya hanya bisa paham, jika dia menggunakan bahasa agama, maka hanya
ada satu cara untuk menghindari pertengkaran, ialah menanamkan kesadaran
bahwa banyak ayat dalam Kitab Suci. Siapa-saja berhak mengutip. Si Polan
boleh mengutip ayat A, dan si Polan yang lain boleh mengutip ayat B. Soal
apakah ayat A tepat untuk dikutip dalam kontek B atau tidak, kita serahkan
saja kepada Tuhan.
        Ulil Abshar Abdallah mengakhiri tulisannya ini dengan mengemukakan:
Sebagaimana Kitab Suci mengajarkan bahwa "bagimu agamamu, bagiku agamaku",
maka mengapa kita tidak memakai prinsip "bagimu ayatmu, bagiku ayatku".

MEMANIPULASI AYAT KITAB SUCI
        Prinsip "bagimu ayatmu, bagiku ayatku" yang dipertanyakan Ulil di
atas, bisa benar dalam arti, karena baik "ayatmu" maupun "ayatku" merupakan
buah dimanipulasinya ayat tsb oleh yang bersangkutan. Bukan tafsir yang
sesungguhnya dari ayat yang dimaksud.
        Seperti tafsir surat Al Ashr (ayat 103) dari kiai Partai Mangga.
Arti yang sesungguhnya dari ayat tsb: "Demi masa, sesungguhnya semua manusia
ada dalam kerugian, kecuali orang yang beriman". Oleh kiai Partai Mangga
perkataan "kecuali orang beriman" itu dimanipulasinya "orang yang beriman"
itu berada dalam Partai Mangga. Padahal orang yang beriman itu bisa juga
terdapat dalam Partai Semangka.
        Begitu pula kiai dari Partai Semangka telah memanipulasi surat At
Taubah ayat 9. Seakan kecaman ayat tsb ditujukan kepada Partai Mangga, yang
nomor urutnya No 9 dalam pemilu yang lalu. Padahal kecaman ayat 9 itu
berlaku terhadap siapapun juga, termasuk kepada kiai-kiai dalam Partai
Semangka, bila mereka juga menjual ayat Al Quran dengan harga murah.
Memanipulasi ayat untuk mengejar keuntungan politik tertentu adalah juga
bentuk lain dari menjual ayat Al Quran dengan harga murah.
        Jadi, baik kiai dari Partai Mangga, maupun kiai dari Partai Semangka
dalam kisah di atas, sama-sama memanipulasi ayat-ayat Kitab Suci untuk
kepentingan politiknya masing-masing. Mereka sama-sama menjual ayat Al Quran
dengan harga yang murah.
        Tampaknya kiai-kiai dari Partai Mangga dan Partai Semangka ini tak
mau kalah dari Suharto yang ahli memanipulasi sesuatu untuk kepentingan
pribadinya. Dimanipulasinya Supersemar sebagai pelimpahan kekuasaan, padahal
hanya pelimpahan tugas Pengamaman untuk dapat menggulingkan Presiden Sukarno
dari kekuasaannya. Dimanipulasinya Sapta Marga dan Sumpah prajurit sebagai
menolak diadakannya perubahan UUD 1945. Padahal pasal 37 UUD 1945 membuka
kemungkinan untuk diadakannya perubahan itu. Dengan memanipulasi Sapta Marga
dan Sumpah prajurit ia lahirkan Konsensus Nasional, yang memberi hak baginya
mengangkat 1/3 anggota MPR dan 100 kursi bagi ABRI di DPR. Dengan itulah ia
bisa berkuasa sampai 32 tahun.

KESIMPULAN
        Jelas kiranya, bahwa Ulil Abshar Abdallah, melalui
tulisan-tulisannya dalam buku "Membakar Rumah Tuhan" menyatakan perang
terhadap politisasi (simbol Islam), seperti menggertak lawan politik dengan
menggunakan ayat; mengabsahkan tindakan politik dengan ayat; mengharamkan
perilaku politik pun dengan ayat.
        Ulil lewat tulisan-tulisannya itu sedang mewujudkan keinginannya
untuk membersihkan wajah Islam yang kini belepotan, akibat
kekonyolan-kekonyolan yang selama ini dilakukan sebagian umat Islam. ***


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke