Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 04/III/6-12 Pebruari 2000 ------------------------------ Budiman Sudjatmiko, Ketua Presidium PRD: "KAPITALISME HARUS MEMANGSA" (DIALOG): Sri Bintang Pamungkas pernah dianggap membuat kesalahan lantaran menelorkan PUDI. Barisan massa ekstra-parlementer kala itu menilai SBP terburu-buru meng-"eksklusif"-kan diri ke partai politik. Partai Rakyat Demokratik (PRD) pun tidak kurang kritikan lantaran memilih ikut berkontes pada pemilu bulan Juni 1999. Padahal, "taktik perjuangan PRD melihat situasi," tukas Budiman Sudjatmiko. Manakala ruang cukup terbuka, perjuangan lewat parlemen tidak ditabukan. "Tentu bukan satu-satunya jalan, pengorganisasian rakyat juga berlangsung". Sosialisme menurut Budiman, senantiasa mensyaratkan kedua jalan. Ia mengistilahkan sebagai strategi tingkat atas dan bawah. Berikut percakapannya dengan Xpos di Kantor Pusat PRD, Jalan Basuki Rahmat, Jakarta: T: Sekeluar penjara Anda pernah menyatakan menolak 'Jalan Ketiga' Anthony Giddens, kenapa? J: Tawaran Giddens sangatlah normatif, itu pertama. Kedua, 'jalan ketiga' adalah sebuah evolusi dari pemikiran Sosial Demokrat Eropa Barat yang sangat moderat. Giddens sama sekali tidak bermaksud menghentikan kapitalisme melainkan sebatas menjadikan kapitalisme sebagai sesuatu yang manusiawi. Apa ukuran manusiawi dimaksud sangat tidak jelas. Akhirnya, bagi saya 'jalan ketiga' tidak lebih dari memodifikasi kapitalisme secara normatif. Bukan suatu solusi struktural. T: Toh, saat ini wacana 'jalan ketiga' kadung menggejala di negara-negara yang dimenangkan partai sosialis? J: Menurut ukuran barat tawaran-tawaran Giddens mungkin bisa. Mereka telah memiliki basis materialnya. Ada pengalaman di mana negara mensubsidi rakyat dalam negara kesejahteraan. Pengangguran sekalipun menerima subsidi negara. Jelas saja cara-cara seperti itu bisa berlangsung, karena mereka telah menyedot surplus dari dunia ketiga lebih dulu. Nah, bagi dunia ketiga dari mana mereka mendapat surplus untuk "menyogok" kelas buruh. Sekali lagi, bagi saya Giddens adalah evolusi khas Eropa Barat di mana kapitalismenya sudah begitu maju. Sementara kapitalisme dunia ketiga berbentuk imperialisme. Lagipula mencontoh welfrare state bagi dunia ketiga juga sulit selagi masih menjadi subordinat dari kapitalisme internasional. Penentu kebijakan toh berpusat di Washington, di Eropa Barat atau di Tokyo sana. T: Anda mau mengatakan penyebabnya juga karena perbedaan latar kelahiran gerakan Sosdem, termasuk di Indonesia? J: Ya, jelas. Gerakan Sosdem di Eropa Barat lahir bersamaan dengan gerakan buruh. Ya memang semestinya begitu. Tidak heran jika di Jerman, Perancis, Inggris, atau Portugal, mereka bisa memerintah. Di dunia ketiga, terutama di Indonesia, berbeda. Proyek sosial demokrat di sini lebih merupakan proyek intelektual. Ia tidak menjadi realitas dari gerakan buruh atau gerakan rakyat. Anda tentu tahu tradisi PSI (Partai Sosialis Indonesia). Bahwa sekarang banyak bermunculan gerakan sosdem di Indonesia, itu bagus. Bahwa seorang Cak Nur (Nurcholish Madjid) mengaku demikian, silakan saja. Artinya PRD punya teman berdiskusi. T: Apa fenomena kemunculan gerakan sosdem sekarang menandakan gerakan buruh Indonesia juga mulai kuat? J: Kita jangan dulu berkata demikian. PRD belum berani bilang bahwa gerakan buruh Indonesia sudah kuat. Bahkan kita tidak bisa mengatakan bahwa gerakan buruh Indonesia dipimpin oleh ide-ide kiri. Sejatinya buruh di Indonesia mostly unorganized. Lagipun gerakan buruh atau gerakan rakyat dunia ketiga kebanyakan larinya ke komunisme atau gerakan nasionalis kiri. Malah kebanyakan ke gerakan keagamaan. Hampir tidak ada pijakan untuk berujung ke Sosdem. T: Tapi Anda tetap percaya bahwa gerakan buruh-lah penggerak utama jalan kepada sosialisme? J: Serikat buruh atau konfederasi serikat buruh yang kuat ditambah gerakan-gerakan rakyat lainnya merupakan penggerak utama sosialisme. Serikat buruh bisa menjadi backbone dari gerakan sosial. Dua tulang punggung gerakan sosial lain adalah gerakan petani dan gerakan lingkungan hidup. Tentunya partai-partai juga harus terlibat, tidak hanya sekedar electoral machine. Gerakan mahasiswa menyumbangkan kader-kadernya untuk menumbuhkan gerakan buruh, petani, dan lingkungan tadi karena mereka memiliki intelektualitas. Begitu juga gerakan perempuan. T: Begitu pula Anda percaya keniscayaan kehancuran kapitalisme sebagaimana diyakini marxisme? J: Itu tetap. Tetap. Krisis kemarin menunjukkan bahwa kapitalismelah yang tengah krisis. Sekarang neo-liberalisme menggejala. Ini sebetulnya fenomena dari perang dingin. Dulu neo-liberalisme tidak bisa berkembang karena Amerika butuh sekutu-sekutu lokal di dunia ketiga yang diberi kesempatan membuat kaya dirinya, membuat korupsi, menyelenggarakan kekuasaan kediktatoran sejauh hal itu efektif membunuh komunisme. Membunuh pengaruh Uni Soviet. Sehingga yang terjadi, modal internasional bergerak melalui jasa centeng-centeng atau komprador lokal. Tapi ketika sekarang komunisme dinilai bukan lagi sebuah ancaman, perekonomian protektif di dunia ketiga dilibas. Ini modal, kok. Dia harus bergerak, mengakumulasi dan memangsa terus. Kapitalisme harus memangsa, kalau tidak dia akan mati. Dalam pertemuan di Australia kemarin kita mencoba melihat perkembangan dunia yang didominasi neo-liberalisme. Bahwa tidak menghasilkan rumusan apapun karena hanya sebuah konferensi dan workshop. T: Ada yang dipetik peserta konferensi dari pengalaman krisis Indonesia kemarin? J: Di Indonesia, kita ternyata kehilangan satu paradigma penting dalam pemikiran politik. Kita menyambut pasar bebas seperti menyambut juru selamat tanpa memahami apa artinya krisis tersebut bagi buruh, petani, dan dunia usaha nasional. Bagaimana BUMN-BUMN, swasta kita jatuh ke tangan swasta dan modal asing. Ini memperlihatkan bahwa intelektual maupun partai politik di Indonesia belum ada atau belum mau atau mungkin tidak mampu merumuskan bagaimana menyikapi liberalisme. Bayangkan. Kita memilih presiden, wakil presiden, MPR menyusun GBHN tapi semua hanya di atas kertas. Mereka menjalankan policy dari Washington, dari IMF. Orang berpikir bahwa yang penting kita masuk pasar bebas, kita keluar dari kediktatoran lama. Itu bagus. Kita juga ingin Soeharto dengan kroninya out. Tapi, bukan berarti kita menyambut juru selamat seolah-olah slogan kita anything but Soeharto. Kita harus tetap kritis menerima permainan liga pasar bebas. Menurut saya, pada tahap tertentu kita mampu. Mahatir Muhammad saja mampu membuat mata uangnya berkurs tetap. Kita pun harus mencoba mencari upaya agar tidak dimangsa oleh pasar bebas. T: Anda tidak setuju modal asing? J: Kalau modal asing, sebetulnya it's okay, that's fine. Asal kita tak di bawah kontrol mereka. Belajar dari negara-negara Amerika Latin, sekitar 10 atau 15 tahun lalu, neo-liberalisme masuk saat negara-negara tersebut ditimpa krisis. Perekonomian memang kemudian berjalan. Tapi tidak ada kekuatan domestik di situ. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html