Precedence: bulk DARI OPERASI "PEMBUMIHANGUSAN" MENUJU "OPERASI KEMANUSIAAN" (Catatan tentang kiprah NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB di Timor Lorosae paska referendum) "Tidak ada rumah mewah, tidak ada bar untuk minum bir, tidak ada diskotik, bagaimana mungkin pekerja-pekerja kemanusiaan itu mau menetap di sini", ungkap seorang ketua adat ketika dimintai komentarnya tentang tidak adanya pelayanan kesehatan oleh NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB di Kec. Alas, Same. "Apakah anda memiliki identitas? Apakah lembaga anda memiliki pengalaman bekerja untuk distribusi bahan makanan di daerah ini? Demikian pertanyaan yang diajukan oleh seorang staf WFP (World Food Programme) ketika seorang staf NGO nasional/lokal yang telah lama beroperasi di Timor Lorosae menemuinya dikantor untuk melakukan koordinasi distribusi bahan makanan di Baucau, Timor Lorosae". I. PENGANTAR Operasi pembumihangusan Timor Lorosae oleh milisi dan militer Indonesia telah menimbulkan kerugian yang luar biasa. Mulai dari harta benda hingga jiwa manusia yang melayang akibat operasi pembumihangusan tersebut. Dalam konteks politik internasional, bisa dikatakan bahwa terjadi keterlambatan tindakan oleh PBB yang saat itu sedang bertugas di Timor Lorosae. Akibat "politik ketidak acuhan" dari komunitas internasional (baca: UNAMET), maka milisi bersama militer Indonesia dengan leluasa melancarkan operasi burning down pasca pengumuman hasil referendum, 4 September 1999. Setelah menjadi korban dalam operasi pembumihangusan oleh milisi dan militer Indonesia, kini Timor Lorosae menghadapi operasi baru yakni "operasi kemanusiaan". Penghancuran Timor Lorosae pasca referendum telah menimbulkan persoalan baru. Walaupun diakui bahwa terlepas dari semua itu, Timor Lorosae berhasil mengusir militer Indonesia dari bumi Lorosae. Seolah-olah dengan penghancuran tersebut telah membuka jalan tol bagi berbagai kelompok untuk "mengoperasikan" program-programnya di Timor Lorosae. Dengan bungkus operasi kemanusiaan, berbagai NGO internasional maupun lembaga intergovernmental seakan-seakan berlomba melakukan programnya di Timor Lorosae. Membanjirnya bantuan kemanusiaan lewat berbagai NGO dan lembaga intergovernmental di Timor Lorosae pasca referendum, tidak dengan sendirinya berarti mengakhiri mata rantai penderitaan rakyat. Sebaliknya, dengan membanjirnya bantuan ini bisa saja menjadi rantai baru yang akan menjerat rakyat Timor Lorosae dalam ketergantungan abadi. Belakangan diketahui bahwa jumlah NGO internasional yang beroperasi di Timor Lorosae diperkirakan sekitar 30-an NGO. Sedangkan lembaga intergovernmental (lembaga-lembaga PBB) yang beroperasi di Timor Lorosae antara lain UNHCR, UNICEF, UNESCO, FAO, WFP (World Food Programme). Sementara NGO nasional yang beroperasi di Timor Lorosae sekitar 20-an NGO. Kelompok-kelompok kemanusiaan ini datang dengan berbagai program seperti distribusi makanan, kesehatan, shelter, urusan pengungsi, pembagian benih tanaman dan berbagai program lainnya. Keberadaan semua lembaga ini, seperti dipaparkan diatas menjadi menarik untuk dikaji dalam konteks upaya mengatasi krisis yang terjadi di Timor Lorosae saat ini. Sebelum tiba pada pembahasan mengenai berbagai persoalan yang dihadapi NGO dan lembaga intergovernmental dalam operasi kemanusiaan di Timor Lorosae, terlebih dahulu akan dibahas politik ideologi bantuan kemanusiaan. II. Politik Bantuan Kemanusiaan. Sejarah mencatat bahwa sangat banyak bantuan kemanusiaan yang didrop dinegara-negara jajahan di Afrika. Setiap kali ada gejolak baik internal maupun gejolak eksternal, maka berbagai kelompok, NGO ineternasional maupun lembaga-lembaga PBB (UN agency) dengan caranya masing-masing menceburkan diri dalam konflik tersebut dengan "bungkus operasi kemanusiaan". Di Mozambique, di Angola, di Rwanda, Somalia dan berbagai negara di benua hitam tersebut paling sering menjadi target operasi kemanusiaan karena sering dilanda konflik. Walaupun bantuan kemanusiaan membanjiri wilayah-wilayah tersebut, namun angka kematian karena kelaparan dan penyakit tidak semakin mengecil. Tapi sebaliknya, angka kematian karena kelaparan dan penyakit justru semakin meningkat. Bantuan kemanusiaan lewat NGO maupun lembaga PBB sering menjadi persoalan tersendiri bagi kelompok masyarakat yang diberi bantuan. Ada beberapa persoalan menyangkut bantuan kemananusiaan tersebut. Pertama, persoalan transparansi dana. Kebanyakan NGO internasional memanfaatkan dana bantuan untuk pemerintah yang dilanda bencana guna menjalankan program-program mereka. Hal ini terjadi misalnya di Mozambique. Pada tahun 1989, ketika Mozambique dilanda kelaparan akibat konflik, berbagai NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB melancarkan operasi kemanusiaan. Dana terbesar dari operasi NGO dan lembaga PBB itu kebanyakan diambil dari bantuan/grant yang semestinya dipakai sendiri oleh pemerintah Mozambique saat itu. Kedua adalah persoalan ketergantungan. Bangladesh adalah satu kasus yang sangat baik sebagai gambaran mengenai persoalan ketergantungan akibat operasi kemanusiaan oleh NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB. Masyarakat seolah-olah dimanjakan dengan bantuan kemanusian. Karena itu setelah berhentinya bantuan tersebut, masyarakat seolah-olah kaget dan tidak siap menghadapi kenyataan. Selain itu, operasi bantuan kemanusiaan tersebut tidak jarang memarjinalkan rakyat karena penyaluran bantuan tersebut justru hanya menggemukan kelompok kaya baru baik di desa maupun di kota. Sementara kelompok marjinal semakin termarjinal karena ketergantungan kepada orang kaya baru . Ketiga adalah persoalan minimya koordinasi. Banyak NGO internasional dan lembaga PBB yang melakukan operasi di berbagai tempat dengan tingkat koordinasi dengan kelompok lokal yang sangat minim. Akibat minimnya koordinasi tersebut menimbulkan kesan seolah-olah kelompok NGO lokal/nasional atau kelompok potensial lainnya yang berada di tingkat lokal/nasional menjadi "kelas dua". Bahkan untuk menjalankan program-programnya, NGO-NGO lokal terpaksa harus menjadi "pengemis" kepada NGO internasional ataupun lembaga-lembaga PBB yang notabene sebagian besar memakai dana bantuan untuk pemerintah yang dilanda "bencana" tersebut. Pada titik ini, kelihatannya pemerintahan-pemerintahan yang menjadi donor ataupun lembaga-lembaga donor dunia merasa lebih tertarik untuk memakai NGO internasional yang mempunyai jalinan kerja sama yang kuat dan lembaga PBB guna "menghabiskan" dana baik berupa pinjaman maupun hibah dinegara yang dilanda bencana. Pemerintah yang menjadi donor bahkan kerap mencari sendiri NGO internasional untuk menjalankan operasi kemanusiaan yang dana dan progarmnya telah dirancang oleh pemerintah yang bersangkutan. Karena itu, NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB yang sering melakukan operasi kemanusiaan tersebut cenderung didifinisikan oleh sebagian kalangan sebagai private voluntary organizasation (PVO) atau organisasi voluntir swasta. Misalnya dalam pengamatan yang dilakukan oleh Joseph Hanlon di Mozambique, ditemukan bahwa dalam banyak hal NGO-NGO internasional seperti World Vision atau Care Internasional berperilaku seperti lembaga-lembaga bisnis besar atau lembaga-lembaga transnasional yang mempunyai afiliasi di berbagai negara. Karena berperan sebagai bisnis transnasional, maka kepentingan NGO internasional adalah distribusi uang, distribusi makanan, bantuan darurat dan pelayanan. Sementara untuk overhead cost lembaga, mereka bisa mendapat dari bunga bantuan/grant yang diterima selain dari fundrisingnya sendiri . Akibat minimnya koordinasi, sering kali NGO atau lembaga PBB melakukan proyek-proyek dalam jumlah besar, tapi proyek-proyek tersebut tidak menjadi skala prioritas kelompok masyarakat sasaran yang dibantu. Keempat adalah persoalan "pesan sponsor". Banyak NGO internasional yang dalam operasinya sarat dengan pesan sponsor. World Vision dalam operasi kemanusiaan di Mozambique praktis menjadi pelopor pesan sponsor CIA (baca: pemerintah USA). World Vision terkenal sebagai lembaga kristen yang sangat anti komunis sehingga World Vision "dipakai" oleh lembaga donor untuk melawan pengaruh Frelimo yang dikenal beraliran sosialis. Bahkan dalam operasinya, beberapa staf World Vision malah menyarankan agar Renamo (tandingan Frelimo) mengambil alih tampuk pemerintahan yang sah dari Frelimo . World Vision juga dikenal mempunyai hubungan erat dengan rejim-rejim militer represif di Amerika tengah. Contoh lain adalah kehadiran Care Internasional (khususnya Care USA). Kehadiran Care USA di Mozambique pada tahun 80-an jelas banyak membantu operasi CIA untuk memantau keadaan massa rakyat yang saat itu sangat mendukung program-program Frelimo. Dalam banyak hal NGO-NGO ini memiliki informasi yang lebih lengkap dibanding kelompok lain bahkan pemerintah setempat. Misalnya Care Internasional dalam observasi Joseph Hanlon, memiliki informasi mengenai keadaan sosial dan politik yang lebih lengkap dibanding dengan NGO lain atau bahkan pemerintah Mozambique sekalipun. Informasi-informasi ini tidak pernah didistribusikan kepada pihak lain termasuk pemerintah Mozambique, kecuali kepada pemerintah USA sebagai sponsor saat itu. II. Konteks Timor Lorosae Bagaimana operasi NGO internasional dan lembaga PBB di Timor Lorosae pasca hengkangnya militer Indonesia dari bumi Lorosae? Saat ini sederetan daftar panjang NGO internasional dan lembaga PBB yang melakukan operasi kemanusiaan di Timor Lorosae. Mulai dari kota besar seperti Jakarta, Darwin hingga pelosok-pelosok desa di Timor Lorosae. Mereka bekerja atas nama "pengungsi" (internally displaced person) secara khusus dan atas nama operasi kemanusiaan secara umum. Untuk memahami kiprah NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB di Timor Lorosae saat ini, dapat dilihat dari beberapa faktor berikut. 1. Faktor Perspektif. Masalah perspektif merupakan persoalan mendasar dari keseluruhan operasi kemanusiaan oleh NGO dan lembaga-lembaga internasional di Timor Lorosae saat ini. Dalam pandangan kebanyakan NGO dan lembaga-lembaga internasional, rakyat Timor Lorosae saat ini "butuh makan", sehingga cukup diberi makanan. Asumsi yang berkembang diantara mereka bahwa rakyat tidak sanggup mengorganisir diri untuk mengatasi kesulitan situasi emergensi ini, sehingga perlu "dibantu". Akibatnya, pemberian bantuan ini cenderung memunculkan ketergantungan. Banntuan ini membuat rakyat semakin pintar bertanya, kapan pembagian beras lagi. Bantuan ini tidak membuat rakyat bertanya, kapan kita bisa memproduksi sendiri jagung atau beras? Selain perspektif tentang bantuan, juga ada persoalan perspektif dalam hal kerja. Di mata NGO dan lembaga-lembaga internasional, orang Timor Lorosae hanya bisa bekerja kasar. Sehingga banyak perekrutan orang Timor Lorosae, kebanyakan bekerja sebagai buruh kasar. Dengan demikian, yang ada dalam operasi kemanusiaan ini adalah pemakaian tenaga lokal hanya sebatas sebagai buruh. Tidak ada upaya transfer teknologi kepada tenaga lokal. 2. Faktor koordinasi. Seperti pengalaman di tempat lain, NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB yang terlibat dalam operasi kemanusiaan di Timor Lorosae cenderung menempatkan kelompok potensial dalam masyarakat korban ataupun NGO lokal sebagai kelas dua. Sejak tibanya di Dili, berbagai NGO internasional dan lembaga PBB langsung saja memulai operasi kemanusiaan. Bahkan jauh sebelum tiba di Timor Lorosae, mereka sudah merancang programnya, tanpa sebuah assessment tentang persoalan riil di lapangan. Akibatnya banyak programnya di lapangan yang tidak optimal. Misalkan, dalam urusan pengungsi. Pihak UNHCR yang semestinya bertanggung jawab dalam persoalan pengungsi, sangat lamban dalam penanganannya. Kelambanan ini terjadi akibat tidak adanya koordinasi dengan pihak terkait lainnya. Sebagai gambaran dapat dilihat pada beberapa kasus berikut. Pada tanggal 25 Oktober direncanakan akan ada repatriasi orang Timor Lorosae yang mengungsi ke Jawa dan Bali maupun yang telah menetap beberapa tahun di Jawa dan Bali. Setelah dijadwalkan oleh UNHCR dan IOM, sekitar tiga ratus orang berdatangan ke Airport Cengkareng Jakarta. Namun setelah semua berdatangan di Airport, oleh pihak UNHCR diumumkan bahwa penerbangan ditunda. Ketika pengungsi bertanya kenapa terjadi penundaan, pejabat UNHCR hanya menjawab tidak tahu dan malah menganjurkan agar semua pengungsi mengangkut barangnya untuk kembali ke tempatnya masing-masing dan tanpa memberi keterangan kapan akan ada penerbangan lagi. UNCHR sama sekali tidak ingin tahu bahwa banyak diantara pengungsi yang "bersembunyi" selama berada di Jakarta karena menghindari kejaran kelompok pro otonomi ataupun militer Indonesia. Sementara terjadi penundaan penerbangan, para pengungsi yang saat itu tetap bertahan di Airport selama 24 jam tidak diberi makan apapun oleh pihak UNHCR yang semestinya bertanggung jawab atas semua urusan pengungsi. Kejadian di Jakarta hanya satu contoh kecil saja. Di Timor Lorosae lebih parah lagi penanganan pengungsi. Banyak pengungsi yang tiba kembali di Timor Lorosae dibiarkan begitu saja untuk waktu yang sangat lama di tempat penampungan pengungsi. Di Asrama Don Bosco Dili, tempat penampungan pengungsi yang tiba kembali keTimor Lorosae pengungsi berjubel dalam jumlah yang sangat besar. Sementara di Don Bosco sendiri sangat minim fasilitas bagi pengungsi seperti kamar mandi, WC dan tempat masak. Belum lagi, pengungsi yang tiba dalam kondisi sakit parah. Mereka harus menunggu hingga beberapa hari bahkan beberapa minggu untuk dikembalikan ke tempat asalnya. Dan menurut informasi yang diperoleh pemulangan pengungsi ke daerah asalnya baru akan dilakukakan jika sudah mencapai jumlah tertentu (sistim 100 orang). Jika pengungsi dari suatu daerah tiba di Dili dalam jumlah kurang dari seratus orang, maka pengungsi-pengungsi tersebut akan tetap tinggal di tempat penampungan sambil menunggu pengungsi dari asal daerah yang sama hingga mencapai jumlah 100 orang. "Kami belum bisa pulang ke kampung kami, karena jumlah kami belum mencapai seratus orang, karena itu persyaratan UNHCR", jawab seorang pengungsi asal Same ketika ditemui di Don Bosco, Dili. Sementara pengungsi ditampung di tempat penampungan, NGO internasional lain misalnya yang bergerak di bidang kesehatan sangat lamban bahkan kurang perhatiannya kepada pengungsi. "Empat hari lalu saya diberi enam tablet obat, tapi sudah dua hari obatnya habis dan saya masih sakit", kata seorang pengungsi asal Ermera yang sedang menderita malaria ketika ditemui di Don Bosco. Ini hanya sebagian kecil keluhan yang muncul dari pengungsi yang hanya tidur beralaskan terpal untuk waktu yang cukup lama di Asrama Don Bosco Dili. Urusan pengungsi di tempat lain berbeda lagi ceritanya. Pada tanggal 28 Desember 1999, tiba sekitar 400 pengungsi dari Atambua di desa Beikala, Kec. Hatudu, Kabupaten Ainaro. Menurut keterangan, mereka tiba dari Atambua dan tinggal selama dua minggu di Suai sebelum diberangkatkan ke Betano. Walaupun pengungsi sudah lama berada di wilayah Timor Lorosae, tapi seolah-olah tidak ada koordinasi antara UNHCR dengan NGO internasional lain yang bekerja untuk bantuan kemanusiaan. Pengungsi yang sebelumnya dibagikan beras di Suai tiba dengan sisa beras antara satu hingga dua kilo untuk masing-masing orang. Setibanya di Beikala mereka tidak tahu akan ditampung dimana karena rumah-rumah mereka praktis terbakar semua. Sementara mereka juga tidak tahu akan makan apa dalam beberapa hari setelah tiba di Beikala. Masalahnya adalah tidak ada satu pun NGO internasional, misalnya yang bergerak di bidang distribusi makanan atau shelter yang berada di lapangan pada saat pengungsi tiba di Beikala. Mungkin ini bukan wilayah prioritas NGO-NGO tersebut, kata seorang pimpinan CNRT, ketika ditanyai mengenai kondisi pengungsi. Sementara pihak UNCHR seolah-olah merasa sukses dengan membawa pengungsi kembali ke desa asalnya, walaupun pengungsi diperlakukan seperti barang saja. Setelah tiba di tempat asal mereka diturunkan begitu saja, tanpa memberi keterangan misalnya penjelasan mengenai tempat penampungan sementara. Sementara itu di Beikala sendiri praktis tidak ada tempat penampungan umum. Satu-satunya bangunan sekolah dasar yang ada di desa itu pun habis dibakar. Sehingga pengungsi kebingungan ketika cuaca mulai gerimis. Kasus lain adalah pengungsi asal Kecamatan Lolotoe, Kab. Bobonaro yang kembali dari Atambua pada bulan November 1999. Pada tanggal 26 November 1999 sekitar 300 pengungsi yang diantar oleh pihak UNHCR ke tempat asalnya Lolotoe terpaksa diturunkan di tengah jalan, tepatnya desa Tapo, sekitar 30 km sebelum memasuki wilayah Lolotoe, karena alasan rusaknya jjalan. Sebelumnya, para pengungsi ini sempat tinggal beberapa hari di Maliana ketika tiba dari Atambua. Pengungsi diturunkan begitu saja di tengah perjalanan selama beberapa hari. Selama menunggu di tengah perjalanan, pengungsi tidak diberi makanan apapun oleh pihak UNHCR. Dan parahnya, tidak ada satupun NGO yang bergerak di bidang kemanusiaan yang mendampingi pengungsi tersebut. Ironisnya, karena tidak diperhatikan oleh UNHCR, sebagian penduduk sempat mencarter mobil pribadi penduduk setempat untuk mengangkut mereka ke Lolotoe, dan tidak ada persoalan dengan jalan yang menurut UNHCR rusak yang tidak bisa dilalui kendaraan. Pengungsi terpaksa mengeluarkan uang untuk mencarter mobil dengan harga yang sangat mahal yakni sekitar Rp. 500.000 per keluarga. Kasus lain adalah pemulangan pengungsi "kelompok orang Indonesia" dari NTT ke Kampung Alor, Dili pada tanggal 1 Januari tahun 2000. Tanpa koordinasi dengan pihak lain, misalnya CNRT, pihak Gereja ataupun dengan UNTAET, pihak UNHCR memulangkan orang Indonesia yang pernah tinggal di Timor Lorosae dan kemudian lari meninggalkan Timor Lorosae bersama pengungsi yang lain ke wilayah Indonesia. Pemulangan kelompok masyarakat Indonesia (kelompok pendatang) ke Timor Lorosae jelas tidak pada waktu yang tepat, komentar salah seorang tokoh pemuda di Kampung Alor. Sementara orang Timor Lorosae menanti anggota keluarganya yang belum kembali ke Timor Lorosae, mereka malah menemui "pendatang" kembali ke Timor Lorosae. Tentu, saat ini orang Timor Lorosae sedang dalam keadaan emosional. Di mata orang Timor Lorosae, kebanyakan pendatang yang kembali ini adalah 'kelompok penikmat "kue integrasi" selama masa invasi Indonesia. Pemulangan "kelompok pendatang" oleh UNHCR ini juga bisa dilihat sebagai upaya terselubung untuk memperpanjang konflik di antara masyarakat Timor Lorosae. Pemulangan ini bisa menimbulkan persoalan baru karena jika masyarakat Timor Lorosae secara emosional mengambil tindakan terhadap mereka, maka dengan sendirinya bisa terjadi pembalasan tindakan kepada pengungsi asal Timor Lorosae yang masih berada di wilayah Indonesia oleh masyarakat setempat. Ini menunjukan bahwa pihak UNCHR hanya mengejar proyek semata. Akibat lain yang muncul dari minimnya koordinasi misalnya dalam persoalan distribusi beras. Di beberapa tempat pengungsi menerima beras hingga beberapa kali. Sementara di tempat lain, pengungsi atau pun penduduk biasa tidak menerima sama sekali. Di desa Waitama, Kec. Uatulari Kabupaten Viqueque, hingga bulan Desember 1999 penduduk tidak menerima apa-apa. Menurut keterangan penduduk setempat, di desa mereka memang masih ada persediaan beras, tapi dalam jumlah yang sangat sedikit. Itupun tidak semua keluarga memiliki persediaan beras, hanya mereka yang menggarap sawah. Penduduk setempat mengeluh karena NGO dan lembaga internasional tidak memiliki data yang jelas mengenai kondisi masyarakat setempat. Tapi karena beberapa keluarga memiliki persediaan beras yang cukup banyak, maka pihak CNRT dan NGO serta lembaga PBB berasumsi bahwa seluruh penduduk memiliki persediaan yang cukup. Selain itu, dengan asumsi bahwa penduduk memiliki persediaan beras, kebutuhan yang lain dari masyarakat pun dianggap ada. Misalnya obat-obatan, sabun, garam, minyak goreng. Semua ini dianggap tidak menjadi kebutuhan penduduk saat ini. Kenyataannya penduduk sangat membutuhkan. Di tempat lain seperti desa Atelari, kecamatan Baucau dan Kec. Baguia yang terdapat penduduk beragama Islam dan Protestan justru tidak mendapat bantuan sama sekali. Hal ini terjadi karena distribusi beras di Baucau dikoordinir oleh WFP dengan Caritas Internasional sebagai implementing partnernya. Sementara Caritas hanya memberi bantuan kepada kelompok masyarakat yang beragama katolik sesuai dengan data yang dimiliki gereja. Sementara gereja tidak memiliki data mengenai penduduk yang beragama Islam dan Protestan. Persoalan ini terjadi karena kurangnya koordinasi di antara lembaga-lembaga yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan. Selain tidak meratanya pembagian beras, koordinasi dengan pimpinan lokal penduduk pun sangat kurang. Hal ini dikeluhkan oleh beberapa pimpinan CNRT di daerah. Persoalan ini dikeluhkan oleh salah seorang pimpinan CNRT di Quelikai menanggapi pembagian beras yang tidak merata di daerahnya. Persoalan lain adalah pemberian bibit-bibit tanaman yang ternyata disalahgunakan oleh rakyat. Misalkan bibit jagung yang diproduksi di pabrik-pabrik dengan zat kimia, malah dikonsumsi oleh penduduk. Ini terjadi karena pendekatan "project oriented" yang dipakai oleh NGO-NGO yang mendistribusikan bibit tanaman. Pembagian bibit-bibit tanaman ini dilakukan tidak tepat pada waktunya. Masa menanam jagung sudah lewat baru bibit jagung dibagikan kepada penduduk. Hal ini terjadi misalnya di Maliana dan desa Boquioli, Baucau. Penduduk diberi bibit jagung, tapi masa tanam jagung sudah lewat. Sementara memasuki musim menanam padi, belum ada NGO internasional maupun lembaga-lembaga PBB yang menaruh perhatian, misalnya menyediakan traktor atau pun peralatan lain yang dibutuhkan untuk mengelola sawah. Penduduk Maliana mengeluh karena tidak ada traktor untuk menggarap sawah. "Kerbau/sapi kami sudah dibunuh dan dibawah semua oleh milisi/militer Indonesia, bagaimana kami menggarap sawah-sawah kami, sementara traktor pun tidak ada"' keluh seorang petani di desa Ritabou Maliana saat ditemui di rumahnya. Ironisnya berbagai kendaraan didatangkan ke Timor Lorosae guna dipakai oleh NGO-NGO internasional dan lembaga internasional lainnya untuk bepergiaan ke seluruh Timor Lorosae. Malah banyak kendaraan yang ngangur di gudang . Minimnya persoalan koordinasi menyebabkan NGO-NGO internasional saling klaim wilayah "garapan". Tidak hanya NGO internasional, tetapi juga NGO internasional dengan NGO Nasional/lokal. "Apa identitas lembaga anda? Apakah lembaga memiliki pengalaman distribusi makanan di Baucau? Ini adalah pertanyaan yang pernah diajukan oleh seorang staf WFP ketika seorang staf NGO nasional menemuinya di kantornya guna melakukan koordinasi untuk distribusi beras. Untuk menjaga wilayah garapannya dari kelompok lain, NGO-NGO besar dan lembaga-lembaga PBB bertindak sangat birokratis dalam menyalurkan bantuan terutama kepada lembaga-lembaga kecil yang langsung bersentuhan dengan masyarakat "grass root". Menghadapi kenyataan ini, NGO-NGO nasional maupun NGO internasional (berukuran sedang) yang menjadi implementing partner NGO besar harus antri menunggu pencairan proposal mereka. Hal ini dialami oleh beberapa NGO nasional yang mencoba mengajukan proposal kepada WFP dan World Vision untuk mendapat beras sehingga mereka bisa mendistribusi kepada kelompok basisnya . Walaupun proposalnya sudah diajukan, tapi mereka harus bersabar untuk antri menanti jawaban atas proposal mereka. Hal yang sama dialami oleh sebuah lembaga internasional asal Jepang. Kelompok tersebut yang dapat dikategorikan sebagai NGO berukuran sedang yang bekerja sama langsung dengan masyarakat basis, terpaksa bersabar karena proposalnya tidak pernah diperhatikan oleh WFP dan World Vision sebagai dua lembaga besar di bidang distribusi beras. 3. Faktor Ketergantungan Bantuan kemanusiaan ini mulai menimbulkan persoalan ketergantungan di kalangan penduduk. Tentu munculnya ketergantungan ini bukan karena bantuan itu sendiri, tetapi karena pendekatan yang dipakai oleh NGO-NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB tersebut. Misalnya di tempat-tempat yang kegiatan produksinya mulai jalan, NGO terus memberi bantuan kemanusiaan berupa makanan tanpa mau membantu menjalankan roda produksi petani yang mulai jalan. Di Aileu, penduduk hampir memanen padi. Tetapi tidak ada satupun NGO atau lembaga PBB yang menaruh perhatian bagaimana membantu penduduk setempat agar produksi padi mereka lebih optimal. Di Turiscai penduduk memiliki stok kopi yang cukup banyak. Tetapi karena putusnya rantai pemasaran dan sulitnya transportasi menyebabkan mereka tidak memasarkan hasil padi mereka. Hal yang sama dialami penduduk di desa Bubususu, Manufahi. Menurut keterangan pimpinan masyarakat setempat, di Bubususu terdapat sekitar 40 ton stok kopi. Persoalannya adalah bagaimana pemasarannya. Mereka pernah mengajukan persoalan ini kepada NGO yang beroperasi disana, tapi jawaban yang didapat adalah tidak ada program untuk pemasaran kopi rakyat saat ini. NGO berdatangan ke tempat-tempat seperti itu, tapi hanya untuk membagi beras sesuai dengan program yang telah mereka rancang sebelumnya. NGO dan lembaga-lembaga PBB tidak mau melihat fakta lain yang berbicara di lapangan. Akibatnya, penduduk hanya bertanya kapan kelompok-kelompok kemanusiaan akan mengantar beras lagi ke tempat kami. Mereka tidak "berani" bertanya tentang bagaimana upaya NGO dan lembaga-lembaga PBB memfasilitasi pemasaran kopi mereka. Kalau mereka bertanya tentang traktor untuk menggarap sawah karena kerbau yang biasa dipakai untuk menggarap sawah sudah dibunuh oleh milisi selama operasi mereka, maka jawaban yang didapat adalah "kami tidak mengurus traktor, lembaga kami tidak ada program untuk pengadaan traktor". Kekeliruan pendekatan ini juga telah menyebabkan banyaknya penduduk dari dearah yang memilih tinggal di Dili. Mereka beripikir bahwa tinggal di Dili pun mereka akan dibagikan beras oleh NGO-NGO dan lembaga-lembaga PBB. Mereka menjadi segan untuk kembali ke daerah asalnya untuk menggarap kebun atau sawah. Di Liquica terdapat beberapa kelompok nelayan yang berusaha mengorganisir diri dan kemudian mengajukan proposal kepada Peace Winds Jepang, sebagai satu NGO internasional yang bekerja di Liquica. Kelompok nelayan ini hanya bisa mengeluh, karena walaupun proposalnya sudah diajukan untuk waktu yang cukup lama, tapi pihak Peace Winds tidak pernah menanggapinya. "Mungkin usaha nelayan tidak masuk dalam proposal Peace Winds", ungkap seorang nelayan ketika diminta komentarnya. 4. Faktor transparansi dana. Hampir tidak ada rakyat Timor Lorosae yang tahu bahwa NGO-NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB tersebut menjalankan operasinya dengan sebagian besar dana bantuan/grant dari World Bank yang diberikan untuk kepentingan "rakyat Timor Lorosae". Melalui kesepakatan Bank Dunia dan pemerintahan-pemerintahan donor di Tokyo pada tanggal 16-17 Desember 1999, telah disepakati bantuan berupa hibah/grant bagi Timor Lorosae untuk tiga tahun sebesar US$ 520 juta. Tapi tentang alokasi bantuan itu untuk operasi NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB, praktis tidak diketahui informasinya. Sementara NGO internaional dan lembaga-lembaga PBB bertindak lewat operasi kemanusiaan bertindak seolah-olah sebagai "dewa penyelamat" yang datang dengan fundingnya sendiri-sendiri. Mereka tidak pernah menjelaskan bahwa dana yang dipakai untuk operasi kemanusiaan ini adalah sebagian dana dari World Bank yang menjadi bantuan untuk rakyat Timor Lorosae. Tiadanya transparansi dana menyebabkan penduduk lokal tidak berdaya sama sekali di mata kelompok-kelompok pekerja kemanusiaan ini. Misalnya ketika NGO mengantar beras, dengan mudah mereka berdalih bahwa mereka hanya sanggup membawa beras hingga ke gudang yang ada di kota. Tetapi mereka tidak sanggup membawa ke desa-desa karena tidak ada transportasi. Untuk itu penduduk lokal harus mencari kendaraan sendiri. Hal ini misalnya dialami oleh penduduk di desa Leorema, Kecamatan Bazartete, Liquica. Pada tanggal 6 Januari 2000 mencarter empat buah truk dengan harga Rp. 8.000.000 untuk mengangkut beras dari gudang World Vision yang terletak di Liquica untuk dibawah ke Leorema. Mereka terpaksa mencarter kendaraan karena pihak World Vision beralasan tidak ada kendaraan. Karena penduduk tidak tahu persis dana dan kekayaan yang dimiliki oleh NGO raksasa seperti World Vision, maka penduduk terpaksa merogoh koceknya yang mungkin sudah sangat menipis guna mengangkut beras ke tempat mereka di Leorema. . 5. Aspek Upah Buruh Persoalan buruh adalah persoalan yang cukup rumit saat ini. Banyak orang Timor Lorosae yang bekerja sebagai buruh di NGO-NGO internasional maupun di lembaga-lembaga PBB. Orang-orang Timor Lorosae yang bekerja dengan lembaga-lembaga tersebut, tidak pernah diberi penjelasan misalnya mengenai upah/gaji, atau mengenai jam kerja dan aspek perburuhan lainnya. Bahkan ada sebagian buruh yang telah bekerja untuk waktu yang cukup lama tapi belum pernah menerima gaji. Hal ini misalnya dialami oleh sembilan orang buruh Timor Lorosae yang bekerja di gudang beras milik WFP di Viqueque. Menurut pengakuan salah seorang buruh bahwa mereka sudah bekerja sejak bulan Oktober hingga bulan Desember 1999 tanpa bayaran apapun. Masing-masing mereka hanya diberi imbalan berupa beras tiga kilogram untuk waktu satu bulan. Hal yang sama dialami oleh tiga orang buruh di gudang WFP dan Timor Aid di Betano, Same. "Kami hanya bekerja saja, kami pernah tanya tentang upah, tapi kata pimpinan kami orang bule itu, kami tunggu saja, nanti akan dikasih setelah kami bekerja", demikian komentar salah seorang buruh ketika ditemui di gudang. Sejak bekerja di gudang beras, mereka tidak pernah mendapat penjelaskan mengenai hak-hak mereka sebagai buruh. Sama seperti kesembilan buruh di Viqueque, ketiga orang buruh di gudang Betano itu pun hanya diberi beras tiga kilogram setiap kali menurunkan beras dari kapal dan dibawah ke gudang. Setelah menjelang dua bulan, baru ketiganya diberi gaji berkisar satu juta rupiah. Persoalan yang sama bahkan lebih parah dialami oleh buruh yang bekerja di gudang WFP Dili. Beberapa orang buruh bahkan pernah dipukul oleh pimpinan gudang yang notabene staf asing WFP. Karena terlambat masuk kerja, seorang buruh dipukul oleh mandornya. Sejak bekerja di gudang WFP, Vila Verde, Dili, pimpinan WFP tidak pernah memberi penjelasan mengenai hak-hak buruh. Pada awal Januari, tahun 2000 para buruh melakukan mogok menuntut kenaikan upah yang sementara ini dibayar hanya Rp. 20.000/hari. Dari perhitungan buruh, sehari paling kurang mereka mengeluarkan Rp. 6000 hingga Rp. 7000 untuk tranportasi. Sementara untuk makan sehari, paling tidak mereka harus mengeluarkan Rp. 10.000 sehari. Sehingga dari upah sehari mereka hanya bisa menyimpan uang sekitar Rp. 2000 hingga Rp. 3000. Buruh di Liquica mengalami hal yang sama. Sekitar 10 orang buruh yang bekerja di gudang World Vision di Liquica sejak dua bulan belum menerima upah hingga akhir bulan Desember 1999. Menurut keterangan yang didapat, mereka baru akan digaji oleh pihak World Vision pada tanggal 14 Januari 2000. Selama menjaga gudang mereka hanya diberi beras 10 Kg/bulan. Pihak world Vision tidak pernah menjelaskan mengenai hak-hak mereka sebagai buruh. Tidak pernah ada surat kontrak apapun antara para buruh dan pihak World Vision. Menurut keterangan para buruh, pihak World Vision baru akan mengaji mereka pada tanggal 14 Januari 2000. Persoalan upah buruh tidak hanya dialami oleh mereka yang bekerja di gudang-gudang. Tetapi juga dialami oleh mereka yang bekerja di rumah sakit. Hal ini dialami oleh tukang masak-tukang masak yang bekerja pada rumah sakit umum di Kabupaten Viqueque yang diurus oleh MSF. Mereka telah bekerja selama beberapa minggu, tapi belum dibayar sama sekali oleh pihak MSF yang mengelola rumah sakit tersebut. Selain persoalan upah, buruh yang bekerja di gudang-gudang tidak diberi perlengkapan-perlengkapan untuk bekerja di gudang seperti masker, sarung tangan, sepatu boot, dsb. Hal lain berkaitan dengan buruh adalah tidak adanya perjanjian kerja antara NGO-NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB dengan buruh. 6. Faktor Keseriusan Pelayanan Basis "Saat ini sedang libur dan tidak ada ambulance di sini", kata seorang dokter ICRC yang bertugas di Rumah Sakit Bidau ketika pada suatu malam beberapa orang meminta bantuan ICRC untuk menjemput anggota keluarganya yang sakit parah dan terbaring di rumah. Padahal di garasi rumah sakit tersebut sedang parkir sejumlah ambulance. Peristiwa ini hanyalah sepenggal pengalaman pahit yang dialami oleh penduduk Timor Lorosae saat ini di bidang pelayanan kesehatan. Banyak orang mengeluh terhadap pelayanan oleh staf-staf NGO dan lembaga-lembaga PBB. Mereka seolah-olah hanya mengejar target dan bahkan ada kesan mereka menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, kata beberapa orang pasien di rumah Sakit Bidau. Berdasarkan sejumlah informasi, petugas-petugas kesehatan dari NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB, tidak mau melayani pasien TBC. Untuk bidang kesehatan ada sejumlah NGO internasional yang menanganinya. Antara lain, Medicene Sans Frontiers (MSF), Assistencia Medica Internasional (AMI), International Medica Corps (IMC), Medicins du Monde France (MDM-F) dan masih terdapat beberapa kelompok lainnya. Walaupun dengan jumlah yang sangat banyak ini, pelayanan kesehatan di Timor Lorosae praktis hanya berjalan relatif lancar di Dili. Kelompok-kelompok ini hanya berkonsentrasi di Dili. Sementara di daerah-daerah luar Dili, pelayanan kesehatan praktis terbengkalai. "Di sini tidak ada rumah mewah, tidak ada bar untuk minum atau disko, bagaimana mungkin pekerja-pekerja kemanusiaan itu mau menetap di sini", kata seorang tokoh masyarakat di Alas, Same, ketika ditanya mengenai masalah pelayanan kesehatan. Untuk pelayanan kesehatan lain lagi ceritanya di Kecamatan Atabae, Kab. Bobonaro. NGO internasional yang menangani bidang kesehatan di Atabae adalah MSF. Seminggu petugas MSF bertugas dua kali mengunjungi Atabae. Itupun mereka hanya bertugas di Atabae kota. Sementara desa-desa tidak pernah dijangkau karena rusaknya jalan. Misalnya desa Aidabalete, karena jalannya rusak, maka petugas MSF beralasan bahwa mereka tidak bisa melayani orang sakit di desa itu. Sementar ada mantri-mantri kesehatan lokal yang menawarkan diri untuk membawa obat-obatan milik MSF untuk bisa masuk ke desa Aidabalete, tapi petugas kesehatan MSF tidak mempercaiyai mantri-mantri lokal tersebut. Sehingga beberapa mantri lokal yang selama ini sudah lama bertugas di Atabae mengeluh. "Apakah kita menunggu hingga orang sakit itu mati, baru petugas kesehatan MSF itu datang ke kampung", demikian keluhan petugas kesehatan tersebut. Ada kesan kuat yang berkembang di kalangan masyarakat Timor Lorosae, bahwa banyak pekerja kemanusiaan yang bekerja dengan setengah hati. Malah mereka melihat bahwa banyak pekerja kemanusiaan asal manca negara yang bertindak seolah-olah sedang berwisata di tengah penderitaan rakyat Timor Lorosae saat ini. III. Konteks HAM Bantuan kemanusian lewat operasi kemanusiaan itu sendiri adalah suatu hak dari masyarakat korban. Juga menjadi hak kelompok masyarakat lain untuk menolong kelompok korban lain. Tapi dalam catatan ini, akan disoroti bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang muncul selama operasi bantuan kemanusiaan itu sendiri. Terutama pelanggaran HAM yang dialami langsung oleh masyarakat sasaran operasi kemanusiaan. Hak sipil dan politik : Hak atas informasi; Rakyat Timor Lorosae sama sekali tidak mendapat penjelasan mengenai beberapa hal prinsip dalam operasi bantuan kemanusiaan. Antara lain informasi mengenai dana yang digunakan dalam operasi-operasi tersebut. Informasi mengenai rencana program yang akan dijalankan di lokasi sasaran sehingga masyarakat secara sadar tahu tujuan program tersebut. Hak untuk berpartisipasi secara aktif; Dari observasi di lapangan, praktis rakyat Timor Lorosae hanya menjadi obyek dalam keseluruhan proses operasi kemanusiaan ini. Hak untuk bebas dari penyiksaan fisik; Beberapa buruh gudang, malah pernah dipukul oleh pimpinan NGO internasional yang bekerja di gudang. Hak ekonomi, sosial dan budaya; Hak atas upah yang layak. Selama ini ada gap yang besar dalam upah antara buruh lokal dan staf asing. Hak atas informasi akan pekerjaan; Buruh yang dipekerjakan selama ini tidak pernah diberi penjelasan mengenai hak-haknya sebagai buruh. Mereka hanya dipekerjakan sebagai robot. Hak atas makanan (the right to food). Sementara sebagian penduduk menerima bahan makanan, ada sebagian yang tidak diperhatikan oleh lembaga-lembaga PBB dan NGO internasional karena minimnya informasi mengenai sistuasi lapangan dan kurangnya koordinasi. Hak sosial untuk tetap dalam lingkungan sosialnya. Dan memanfaatkan institusi sosial yang ada guna mengatasi persoalan sosial yang ditemui. Dalam banyak hal, NGO dan lembaga-lembaga internasional ini melakukan pekerjaannya dengan mengabaikan institusi sosial yang hidup dalam masyarakat. IV. Rekomendasi Setelah memahami persoalan sebagaimana dipaparkan di atas, maka kami merasa bertanggung jawab untuk mengajukan beberapa pokok pikiran dalam rangka membantu misi operasi kemanusiaan ini demi memberdayakan rakyat, bukan memperdaya rakyat. · Untuk mengefektifkan operasi kemanusiaan, maka NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB perlu melakukan koordinasi yang jelas dengan semua kelompok potensial dalam masyarakat, rakyat sendiri dan NGO-NGO nasional. Hasil koordinasi ini jangan hanya berhenti sebagai retorika, tapi bisa diwujudkan dalam parktek. · Sebagai hak rakyat Timor Lorosae untuk mendapat informasi, maka lembaga-lembaga PBB dan NGO internasional perlu menginformasikan kepada publik bahwa sebagian dana operasionalnya didapat dari bantuan world bank yang dialokasikan untuk Timor Lorosae. · Pekerja-pekerja kemanusiaan perlu membuka hati untuk bisa bekerja sama dengan rakyat Timor Lorosae di tingkat-tingkat basis, sehingga tidak timbul kesan mereka sedang berwisata di tengah penderitaan rakyat. · Perlu kejelasan mengenai batas waktu NGO dan lembaga-lembaga PBB yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan mengenai keberadaannya di Timor Lorosae. Sehingga rakyat pun bisa mengantipasi ketika lembaga-lembaga ini hendak angkat kaki dari bumi Lorosae. Dili, 10 Januari 2000 Dibuat oleh: Pokja Studi & Pengkajian - Yayasan HAK Dili - Timor Lorosae ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html