Precedence: bulk


SCHRA: HARAPAN UNTUK PENYELESAIAN MASALAH ACEH

Oleh: Saeki Natsuko (Network for Indonesian Democracy, Japan)


Aceh yang tidak deperhatikan masyarakat internasional, Kenapa rakyat Aceh
harus dikorbankan?

Pada tanggal 15 dan 16 Januari, Aceh membuka babakan baru dalam sejarahnya
perjuangan menuntut hakya. Masyarakat Aceh bersama Ornop Indonesia maupun
internasional membangun suatu jaringan baru untuk menyelesaikan masalah
Aceh, namanya SCHRA (Support Committee for Human Rights in Aceh).

Seperti kita ketahui, kawan-kawan Aceh kecewa selama ini karena masalah Aceh
belum begitu menarik perhatian masyarakat internasional.

Mengapa? Saya kira ada 2 alasan besar. Pertama, adanya kesenjangan
informasi. Selama berkuasanya rejim Soeharto, informasi tentang Aceh sangat
terbatas.

Yang kedua, ada prasangka bahwa orang Aceh adalah Muslim yang fanatik. Ini
membuat masyarakat internasional termasuk Ornop agak ragu-ragu mendukung
perjuangan HAM di Aceh.

Tetapi benarkah masalah Aceh adalah masalah Islam? Mari kita kaji bersama
kenyataan yang ada.

Pada tanggal 14 November 1999, Radio Australia melaporkan bahwa Menteri
Pertambangan dan Energi Banbang Susilo Yudhoyono menyatakan perlunya TNI
mengamankan proyek Liquid Natural Gas (LNG) dan minyak bumi di Aceh. Dia
juga meminta Panglima TNI Laksamana Widodo untuk melindungi karyawan yang
bekerja untuk provit (proyek vital) di Aceh. Bagi saya, pernyataan SB
Yudhoyono ini secara gamblang telah menunjukkan latar belakang sebenarnya
dari masalah Aceh, yakni masalah penguasaan sumber daya alam yang sangat kaya.

PT Arun dan Jepang: Siapa harus bertanggung jawab atas masalah Aceh?

Sejak pertengahan 1980-an, untuk mengatasi masalah ekonomi, Indonesia
memalingkan perhatian kepada industri non-migas karena merosotnya harga
minyak di pasar internasional dan penurunan jumlah produksi yang sangat
signifikan.

Angka menunjukkan bahwa ekspor minyak bumi, LNG dan migas memang turun dari
70,2% (1976) ke 23,5% (1996). Namun industri migas masih industri raksasa
bagi Indonesia. Dan Jepang adalah negara terbesar yang mengimpor minyak dan
LNG dari Indonesia.

Pada 1971, Mobil Oil menggali lapangan gas di Lhokseukon, Aceh Utara. Dua
tahun kemudian, pada akhir 1973, kontrak jual-beli unuk 25 tahun
ditandatanggani oleh Indonesia dan Jepang. Pada 1974, Overseas Economic
Cooperation Fund (OECF) Jepang, memberikan pinjaman dana sebesar 31,8 milyar
yen (US$ 106 Juta dengan
nilai valuta dolar pada waktu itu) untuk membangun kilang gas di Arun.

Pada tahun 1980-an Chiyoda Corp. dan Mitsubishi Corp. membuat kontrak untuk
membangun kilang gas Arun itu. Sebagian besar LNG dan semua LPG yang
dihasilkan PT Arun diexpor ke Jepang.

Pada 1973 dan 1974, Jepang dilanda "Oil Crisis." Harga minyak melonjak
tinggi dan dianggap perlu untuk mencari alternatif baru untuk pengadaan energi.

Selain itu, perusahaan Jepang memang mempunyai ambisi untuk menanam modal
atau mengexpor pabrik raksasa sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi tinggi
yang
dirangsang oleh faktor Perang Vietnam.

Kenyataan-kenyataan di atas tadi memberikan indikasi tak terbantahkan bahwa
pembangunan kilang LNG di Aceh adalah untuk keperluan Jepang sendiri.

Di masa DOM (Daerah Operasi Militer), PT Arun dikabarkan terlibat
pelanggaran HAM. Nama Kamp Lancung di PT Arun masih merupakan trauma bagi
masyarakat Aceh. Kalau PT Arun dibangun oleh pinjaman/modal dari Jepang dan
produksinya (LNG) digunakan oleh masyarakat Jepang seperti saya jelaskan
tadi, Jepang bisa dikatakan terlibat dalam pelanggaran HAM, walaupun secara
tidak langsung.

Kita bisa melihatnya dalam perspektif yang sama  pada kegiatan PT Mobil Oil
Indonesia (MOI). Masyarakat Amerika pun harus bertanggungjawab atas
pelanggaran HAM di Aceh selama ini.

Pembangunan dan HAM: Aceh untuk masa depan

Aceh adalah daerah penting bukan hanya untuk negara kapitalis seperti Jepang
atau Amerika saja, tetapi lebih penting lagi tentu untuk Indonesia, terutama
rakyat Aceh sendiri. Aceh kaya sumberdaya alaminya, terutama migas, kemudian
hutan, udang, kelapa sawit, arang bakau dll. Kekayaan Aceh ini bisa mengundang
modal asing, bahkan dsering dikatakan bahwa Aceh sendiri bisa menyumbang 10%
dari APBN.

Tetapi apakah pembangunan di Aceh mensejahterakan masyarakat Aceh sendiri?
Kawan-kawan pasti tahu jawabnya. Saya sendiri lihat proyek-proyek vital
telah merusak lingkungan dan ekonomi rakyat di Aceh. Yang sangat menyakitkan
adalah kenyataan bahwa  penduduk sekitar pabrik justru tidak dilibatkan
sebagai karyawan.

Menurut Suara Pembaruan (30 November 1999), pemerintah Indonesia memperoleh
pendapatan devisa tidak kurang dari Rp 31 triliun dari Arun. Pendapatan itu
sangat kontras dibanding APBD Aceh yang hanya Rp 150 miliar per tahun. Ini
berarti, hanya 0,5 persen dari penghasilan Aceh yang dikembalikan oleh Jakarta.

Memang wajar kalau rakyat Aceh merasa kecewa terhadap kebijakan pembangunan
(industri raksasa) selama ini. Tetapi bagi pemerintah Indonesia, yang harus
diutamakan adalah yang menguntungkan dirinya sendiri. Untuk memuluskan
proses "pembangunan" ini, Hak Asasi Manusia dan kebebasan masyarakat Aceh
"harus" dibatasi. Atas nama "pembangunan", rakyat Aceh sah untuk ditangkap,
disiksa, diculik, diperkosa, dan dibunuh. Saksi bisu adalah lubang-lubang
kubur massal yang terserak di bumi Aceh.

Masyarakat internasional seharusnya memahami apa yang terjadi di Aceh selama
ini. Perjuangan Aceh bukan menuntut didirikannya sebuah negara Islam, tetapi
menuntut pembebasan dari ketidakadilan, ketakutan dan pelanggaran HAM. Harus
ada solidaritas masyarakat sipil yang baru dan bersifat trans-border untuk
menghadapi kekuatan dan kekerasaan negara dan perusahaan raksasa di era
globalisasi ini.

Dari segi ini, SCHRA diharapkan berperan penting.


----------
Network for Indonesian Democracy, Japan <[EMAIL PROTECTED]>
Hills Saneicho 101, 12-6 Saneicho Shinjukuku Tokyo 160-0008 Japan
tel/fax: +81-3-3356-8364

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Reply via email to