Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 03/III/30 Januari-5 Pebruari 2000 ------------------------------ MEMBUKA LUKA LAMA (POLITIK): Cara berpikir Orde Baru masih merasuki para elit politik Indonesia. Rekonsiliasi nasional akan sulit dicapai. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja Ny Amirmachmud mengeluarkan pernyataan bahwa Marzuki Darusman merupakan anak salah seorang anggota PKI. Ny Amirmachmud mengatakan bahwa Marzuki adalah anak dari Maruto Darusman, orang PKI yang membunuh Hamid, kakak ipar Amirmachmud. (Menurut sejumlah sumber, Maruto adalah paman Marzuki -Red.) Ny Amir menceritakan, sejak suaminya masih menjabat ketua DPR/MPR, konon selalu mengawasi gerak-gerik Marzuki yang waktu itu juga menjadi anggota DPR. Sehingga sampai saat ini Ny Amir meyakini kebenaran itu, karena yang ngomong suaminya sendiri. Oleh karenanya, ia tidak takut menghadapi gugatan balik, jika Marzuki tidak terima dengan pernyataan tersebut. Maklum, Amir merupakan sekutu baiknya Soeharto dalam membawa lembar sejarah Indonesia selama 32 tahun belakangan ini. Ia ketika menjadi Menteri Dalam Negeri membuat larangan untuk para anggota PKI dan keluarganya masuk dalam profesi dokter, guru, pegawai negeri dan sebagainya. Benar tidaknya tuduhan Ny Amir sebenarnya bukan menjadi masalah. Justru sebaliknya, pemikiran mengungkit-ungkit masalah lama, dengan cara mengkait-kaitkan seseorang dengan PKI adalah tradisi Orde Baru untuk membunuh lawan-lawan politiknya. Setiap orang yang menonjol di masyarakat selalu dicari-cari kaitan-kaitannya dengan para anggota PKI (sebuah organisasi massa yang memikul tuduhan sebagai organ pemberontak 1965). Padahal, peristiwa 1965 sendiri masih perlu dikaji ulang kebenaran dan pelakunya. Bahkan waktu jamannya Soeharto (mungkin juga masih berlaku saat ini), seseorang yang akan masuk sebagai anggota legislatif, tentara, pegawai negeri, maupun pejabat di lingkungan swasta, selalu ada persyaratan lulus litsus (penelitian khusus) atau screening keterpengaruhan dengan ideologi PKI. Mereka harus "bersih diri" dan "bersih lingkungan", sebuah idiom yang sangat mematikan waktu itu. Ternyata sekarang, di jaman reformasi yang sedang berharap akan terjadi rekonsiliasi nasional, persoalan ini masih saja muncul. Sebelum Ny Amirmachmud mempersoalkan Marzuki Darusman, seorang anggota DPRD II Bantul Yogyakarta juga bernasib sama seperti Marzuki. Suyitno, seorang anggota DPRD FPDI-P Yogyakarta dipersoalkan keanggotaan dewannya karena diduga sebagai anggota Pemuda Rakyat, Ormas Pemuda underbouw PKI. Bahkan isu ini menjadi seolah sangat penting dan genting, sehingga pihak DPRD harus melakukan rapat tertutup yang dihadiri Sospol Gunung Kidul dan Camat Paliyan, tempat tinggal Suyitno. Sejumlah pihak melontarkan kritik keras atas "keteledoran" PDI-P yang bisa meloloskan Suyitno hingga dilantik sebagai anggota DPRD. Dan anehnya lagi, orang-orang PDI-P yang semula diharapkan bisa membawa angin rekonsiliasi oleh orang-orang PKI tidak bersikap soal Suyitno ini. Sebaliknya mereka beramai-ramai ikut angin, menyudutkan Suyitno. Hantu PKI, ternyata masih dipertahankan sampai saat ini. Karenanyalah, sejumlah aktifis Partai Golkar dan PBB di DPR menolak tuntutan pencabutan Tap MPRS Nomor XXV/1966 tentang Pelarangan Ajaran Komunisme dan Marxisme serta partai beraliran komunis di Indonesia, apa pun alasan yang mendasari tuntutan itu. Alasannya, mereka menganggap Tap MPRS 25/1966 merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Begitu pula Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB) mendesak Pemerintah segera menghentikan dan membatalkan upaya mengundang kembali sejumlah oknum yang dikenal sebagai tokoh-tokoh penganut paham dan ajaran komunisme/marxisme-leninisme yang sejak peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 banyak yang menetap di Eropa dan tak berani pulang ke Tanah Air. Adapun alasan PBB ini sebenarnya sangat tidak masuk akal, karena didasarkan pada Tap MPR no XXV/MPRS/1966 yang sedang dalam pembicaraan akan dicabut. "FPBB berpendapat, sikap dan langkah Pemerintah tersebut sangat tidak tepat dan bertentangan dengan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 mengenai larangan terhadap ajaran dan gerakan komunisme/marxisme, serta jiwa Pasal 107 a, b, c, d, e, dan f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," kata Ketua FPBB Ahmad Sumargono. Gogon menyatakan ajaran komunisme/ marxismeleninisme sudah berkali-kali terbukti membahayakan keselamatan bangsa. "Dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan, ajaran tersebut terbukti selalu menjelmakan diri dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang menentang. Bahkan merusak prinsip-prinsip demokrasi serta asas dan sendi kehidupan beragama," ujar Sumargono, yang juga Pelaksana Harian Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI). Karena itu FPBB juga sangat menentang keras usulan yang menginginkan ketetapan MPRS mengenai pelarangan ajaran komunisme dicabut, karena bisa memberi peluang bagi masuknya ajaran dan tata cara komunis yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Penolakan pencabutan Tap XXV/MPRS/1966 itu menurut mereka sebagai langkah untuk mengantisipasi kepulangan tokoh-tokoh gerakan organisasi terlarang dari luar negeri. Seperti dalam diberitakan media massa beberapa waktu lalu, pemerintahan Abdurahman Wahid -selain membebaskan para Tapol/Napol- juga mengajak ribuan orang yang tidak boleh pulang dan berada di luar negeri untuk pulang kampung. Mereka ini di jaman Soeharto ditolak kepulangannya karena dituduh sebagai agen PKI/organ-organnya, sehingga harus "dipenjara" di negeri orang. Menurut Yayasan Sapu Lidi, lembaga dokumentasi Sejarah Indonesia yang berkantor di Belanda, mereka yang semula dicegah kepulangannya, berjumlah ribuan orang. Mereka tersebar di beberapa negara Eropa dan Rusia. Menurut Yayasan Sapu Lidi, di Belanda terdapat 400, di Jerman 500, Inggris 200, Swedia 50, Norwegia 20, Perancis 100, Italia 20, Polandia 50, Rumania 20, dan Rusia 50 orang. Rencana pemerintahan Gus Dur untuk mencabut TAP XXV/1966 dan mengajak pulang orang-orang yang dituduh PKI dan kini berada di luar negeri tersebut, dinilai banyak kalangan sebagai sebuah usaha jujur pemerintah untuk melakukan langkah rekonsiliasi nasional. Langkah ini memang pantas dipuji, karena mereka (orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI dan bekas anggota PKI sekalipun) pantas mendapat haknya kembali. Karena persitiwa G30S yang mengakibatkan tuduhan kepada mereka tersebut sedang menjadi wacana pengkajian, artinya masih dicari kebenaran apakah mereka korban politik atau betul-betul bersalah. Jadi langkah pemulangan merupakan langkah awal, sebelum direstitusi, rehabilitasi adan atau kompensasi. Jadi tuduhan-tuduhan atau sejenisnya seperti yang diungkap istri mendiang Mendagri Amirmachmud, Agung Laksono dan Ahmad Sumargono, merupakan kemunduran berpikir seperempat abad yang lalu. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html