Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 06/III/27 Pebruari-4 Maret 2000 ------------------------------ "TEKA-TEKI" SUTIYOSO (POLITIK): Sutiyoso dan para jenderal yang terkait "kasus 27 Juli", takkan 'tersentuh'. Ada apa? Para jenderal pelanggar HAM masih belum bisa tidur tenang. Belum lagi mereda tuduhan terhadap keterlibatan Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor Timur, mulai lagi serangan dilancarkan pada sejumlah mantan perwira tinggi militer. Kali ini, para jenderal itu dituduh bertanggung jawab terhadap penyerbuan markas Partai Demokrasi Indonesia pada tanggal 27 Juli 1996. Kasus ini kembali menghangat, terutama setelah Kapolri Letjen Roesdihardjo menyatakan tekadnya untuk mengusut tuntas kejahatan pelanggaran HAM berkenaan dengan peristiwa tersebut. Sebelumnya, seperti diketahui, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menjadi kuasa hukum Megawati Soekarnoputri, pernah mengadukan sejumlah nama yang diduga terlibat kasus 27 Juli itu. Mereka antara lain, mantan Panglima ABRI Jenderal (purn.) Feisal Tanjung, mantan Kassospol ABRI Letjen (purn.) Syarwan Hamid, mantan Kapolri Jenderal Dibyo Widodo, mantan Kapolda Metro Jaya Mayjen Hamami Nata serta mantan Pangdam Jaya yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta Letjen (purn.) Sutiyoso. Niat Kapolri ini, tidak dapat dianggap sebelah mata. Paling tidak, hingga Kamis lalu (17/2) Polda Metro Jaya telah mengadakan pemeriksaan pada 17 orang yang dianggap saksi peristiwa 27 Juli atau yang pernah mengadukan kasus itu pada polisi. Memang sampai ditulisnya berita ini belum ada satupun perwira tinggi yang menjalani pemeriksaan. Namun, menurut Roesdihardjo, metode yang digunakan untuk melakukan penyidikan sengaja dilakukan dari bawah ke atas. Dengan demikian, diharapkan bisa terlacak siapa sebenarnya yang memberikan komando penyerbuan pada hari Sabtu pagi kelabu itu. Bahwa ini menjadi masalah yang benar-benar serius, dapat dilihat pula dari dukungan yang diberikan Menko Polkam ad interim Surjadi Sudirdja pada Kapolri. Tidak tanggung-tanggung, Surjadi malah memerintahkan Rusdihardjo untuk memeriksa semua jenderal yang diduga terlibat kasus itu. "Kalau DPR saja bisa memanggil para jenderal, mengapa Kapolri tidak bisa? Mestinya Kapolri pun bisa memanggil mereka untuk mencari bukti-bukti. Kapolri harus berani memanggil untuk klarifikasi," ujar Surjadi seperti dikutip Media Indonesia. Menurutnya lagi, peristiwa 27 Juli harus diungkap kembali secara tuntas, agar tak ada lagi "kebisuan dalam kehidupan kita." Lebih jauh ia berpendapat, penyelidikan kasus ini tidak ada batas waktunya. "Masa 'sih polisi takut sama jenderal-jenderal?" Simpatik memang. Namun, masalahnya, banyak orang yang sudah terlanjur skeptis dengan upaya penyidikan berbau politis semacam ini. Berbagai pernyataan keras boleh saja dikemukakan, tapi hingga saat ini, masyarakat belum melihat ada seorang jenderal pun yang dinyatakan bersalah karena melakukan pelanggaran HAM. Wiranto sendiri belum. Bahkan Prabowo Subianto yang dianggap bertanggungjawab pada kerusuhan Mei 1998, hanya dipecat tanpa pernah melewati meja hijau pengadilan. Pertanyaannya pada upaya pengungkapan kasus 27 Juli ini pun sama: Apakah mungkin mengadili para jenderal? Pernyataan Surjadi bahwa penyelidikan kasus ini tidak ada batas waktunya. Di satu sisi bisa berarti, kasus ini tidak akan dilupakan. Para penanggung jawabnya setiap saat dapat diperiksa, ditangkap dan diadili. Namun, di sisi lain, ini bisa berarti penyelidikan akan terus menggantung, tanpa pernah dapat diputuskan siapa yang bersalah. Kalau ini yang terjadi, wajar saja bila terdengar nada skeptis terhadap proses peradilan ini. Satu contoh yang membuat munculnya keraguan ini, adalah perlakuan pada Gubernur DKI Sutiyoso. Hingga sekarang, Sutiyoso dianggap sebagai the untouchable atau orang yang tak tersentuh. Padahal, semua orang tahu pada waktu terjadi penyerbuan terhadap markas PDI itu, Sutiyoso yang masih menjabat sebagai Pangdam Jaya, adalah penanggung jawab keamanan ibu kota. Nyatanya, ia tidak "diapa-apakan." Setelah Presiden Soeharto mundur digantikan Habibie, ia malah menjadi Gubernur DKI menggantikan Surjadi Sudirdja. Bahkan, sampai terpilihnya Gus Dur sebagai presiden di era demokrasi Indonesia, Sutiyoso masih tetap dipertahankan sebagai gubernur. Bisa saja ini merupakan kebetulan belaka. Namun, siapapun tahu peristiwa 27 Juli bukanlah peristiwa kecil -setidaknya bagi Megawati Soekarnoputri yang kini telah menjadi wakil presiden. Ada apa sebetulnya? Apa yang membuatnya bisa selalu selamat dari noda 27 Juli? Ada macam-macam analisa yang dikemukakan berbagai sumber tentang hal ini. Misalnya, Sutiyoso dianggap pintar melakukan pendekatan pada atasannya. Atau, ia dikatakan memiliki kedekatan khusus dengan Gus Dur, Presiden RI. Lagi-lagi, apekulasi semacam ini tetap saja tidak memuaskan. Soalnya, Wiranto pun dikenal dekat dengan Gus Dur, namun tetap saja ia "dinon-aktifkan". Lantas? Sumber Xpos mengatakan, Sutiyoso tidak dapat diadili karena pada dasarnya "ia memang tidak tahu-menahu" soal peristiwa 27 Juli. Lho? Menurut sumber tadi, bukan saja Sutiyoso, sejumlah jenderal lainnya termasuk mantan Kasum ABRI (pur.) Letjen Suyono sempat kebingungan dengan "hilangnya kendali" keamanan dari tangan para perwira tinggi ABRI. Sebab, yang bertanggung jawab pada saat itu, tak lain adalah mantan Presiden Soeharto! Ini sesuai pula dengan pernyataan anggota fraksi PDI-P DPR, Sabam Sirait baru-baru ini (18/2) pada wartawan -meskipun Sabam tidak menjelaskan secara detil, mengapa Soeharto dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab. Operasi penyerbuan markas PDI adalah bukti begitu besarnya kekuasaan Soeharto dalam tubuh militer. Melalui sekretaris militernya saat itu, Mayjen. Saukat Banjaransari, Soeharto sengaja memotong garis komando militer ABRI dan memilih sendiri personil-personil yang dapat dilibatkan dalam operasi penyerbuan. Hal ini menurut sumber Xpos diakui sendiri oleh Saukat Banjaransari (informasi serupa, kabarnya dikemukakan juga oleh mantan Kasum ABRI Suyono). Dengan cara begitu, para perwira yang "kecolongan" itu -seperti Sutiyoso- bakal dituduh sebagai pihak yang bertanggung jawab, bila terjadi penuntutan di kemudian hari. Kebiasaan memotong garis komando ini, konon sudah dilakukan Soeharto sejak lama. Untuk mengantisipasi membesarnya gerakan oposisi, Soeharto memang memanfaatkan posisinya sebagai perwira tinggi militer di saat awal berkuasa, untuk membuat sistem kontrol yang efektif dalam tubuh militer. Kabarnya, sampai terakhir ia menjabat sebagai presiden, Seoharto bisa memberi komando hingga level Danramil. Itu semua dapat dilakukannya, karena ia mempunyai sumber daya keuangan yang tidak terbatas untuk melakukan kontrol. Mengingat peliknya persoalan, kini muncul kekhawatiran: jangan-jangan memang bakal tak ada yang bisa diadili. Bukankah sampai sekarang Soeharto masih bebas-merdeka? Nah, Pak Rusdihardjo, kalau belum berubah pikiran, sebaiknya jangan tanggung-tanggung. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html