Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 07/III/5-12 Maret 2000 ------------------------------ AKAL-AKALAN TRIUMVIRAT (POLITIK): Konsep baru triumvirat buka peluang kekuasaan tanpa kontrol. Benarkah ini untuk menjegal Mega? DPR ternyata belum mandul. Lama ditunggu-tunggu, DPR akhirnya menyatakan telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Kepresidenan. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Akbar Tanjung, Ketua DPR RI, pada pers akhir Februari lalu. RUU itu, menurut Akbar, akan mengatur berbagai masalah kepresidenan yang selama ini belum diatur dalam undang-undang. Khususnya, menyangkut hak-hak yang dimiliki presiden serta kedudukannya. Di situ juga akan diatur mengenai hak prerogatif presiden agar lebih diperjelas. "Termasuk menyangkut pengertian Panglima Tertinggi dan sampai sejauh mana presiden memiliki akses ke dalam dunia militer," ujar Akbar dikutip astaga.com. Sebelum muncul pernyataan dari Akbar ini, kinerja DPR sekarang ini mulai mendapat perhatian serius berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya, setelah sekian bulan bekerja, belum ada satupun RUU yang diajukan para wakil rakyat ini. Ketika ramai dibicarakan tentang rencana penyelenggaraan pemilu lokal misalnya, sejumlah pengamat politik dan kelompok pemantau pemilu sempat menyayangkan kelambanan DPR untuk bersikap antisipatif. "Bagaimana bisa menyelenggarakan pemilu lokal bila belum ada revisi terhadap Undang-undang Pemilu? Soal pemilu lokal kan belum diatur dalam UU yang lama," ujar Muflizar, anggota presidium KIPP Indonesia. Yang menarik dari RUU Kepresidenan yang diajukan DPR sebenarnya, adalah usulan untuk mengganti model pelimpahan kekuasaan pada triumvirat yang selama ini berlaku. Menurut Tap MPR VII tahun 1973, jika Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap, maka kekuasaannya dilimpahkan pada Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Luar Negeri (Menlu) dan Menteri Pertahanan (Menhan). Sedangkan usulan yang diajukan dalam RUU Kepresidenan, posisi ketiga menteri tadi, digantikan secara berturut-turut oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ketua Mahkamah Agung (MA). Ide ini segera saja menjadi kontroversi di kalangan ahli hukum tata negara. Sebab, konsep triumvirat baru ini dianggap sama sekali tidak mengindahkan prinsip pembagian kekuasaan model trias politica. Dengan memberikan kekuasaan pada Ketua MPR, Ketua DPR dan Ketua MA, maka fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi rancu dan bercampur aduk. Semestinya, dengan tetap memberi mandat kekuasaan pada eksekutif (Mendagri, Menlu dan Menhan), fungsi kontrol dan pengawasan masih mungkin dilakukan oleh legislatif dan yudikatif. Tapi, dengan model triumvirat yang diusulkan ini, tidak dimungkinkan adanya fungsi kontrol dan pengawasan. Dan ini berarti, memberikan kekuasaan tanpa batas pada Ketua MPR, Ketua DPR dan Ketua MA. Secara sekilas, model urutan Ketua MPR, Ketua DPR dan Ketua MA ini memang mirip dengan konstitusi yang berlaku di Amerika Serikat. Dalam Presidential Succession Act, urutan pejabat yang menggantikan presiden secara berurutan adalah Wakil Presiden, Ketua Senat, Ketua DPR, Menlu, Menhan, Menkeu dan seterusnya. Namun, di AS, pelimpahan kekuasaan itu tidak terjadi dengan sederhana. Melainkan harus lewat mekanisme yang baku. Apabila presiden tidak sanggup menjalankan tugas dan kewajibannya, ia bisa berinisiatif melimpahkan kekuasaannya. Atau, inisiatif tersebut bisa juga diambil oleh Wakil Presiden dengan dukungan anggota-anggota kabinet, untuk memberitahukan secara tertulis pada Kongres mengenai keadaan presiden yang tidak memungkinkannya menjalankan tugas. Artinya, tidak dengan mudah dapat digeser ke lembaga non-eksekutif. Model triumvirat baru ini, menjadi kontroversi bukan saja dari perspektif filosofi demokrasi, tapi lantaran muncul "bau tak sedap" manuver politik kelompok tertentu untuk menggolkan kepentingannya. Di kalangan tertentu DPR, usulan menggolkan triumvirat ini dianggap sebagai upaya Amien Rais dan Akbar Tanjung untuk mengantisipasi seandainya Megawati naik takhta menggantikan Gus Dur. Kesehatan Gus Dur yang sejak dulu diragukan banyak orang, memang menimbulkan kemungkinan kekuasaannya terhenti di tengah jalan. Bila ini terjadi, otomatis Mega akan naik menggantikan Gus Dur. Lantas, bagaimana bisa Mega dijegal? Bukankah tetap juga Mega yang akan naik pertama kali -bukannya Ketua MPR atau Ketua DPR- bila Gus Dur berhalangan? Benar demikian. Namun, beberapa pihak menduga, akan ada manuver lain yang bakal dilakukan bila presiden tak sanggup terus menjalankan tugas dan kewajibannya. Misalnya, seperti yang dilakukan kelompok Poros Tengah menjelang pemilihan presiden di Sidang Umum MPR RI tahun lalu, yaitu mengangkat isu ketidaklayakan perempuan menjadi pemimpin dilihat dari kacamata hukum Islam. Hal ini memang sangat mungkin terulang. Dan bila skenario semacam ini terlaksana, Amien Rais akan berada dalam urutan berikutnya untuk mengambil-alih kekuasaan. Dan posisi ini tentu amat berarti bagi Amien Rais yang secara terang-terangan mengakui ambisinya untuk menjadi orang nomor satu di republik ini. Adanya manuver semacam ini kontan dibantah oleh Akbar Tanjung. Konsep baru triumvirat ini, menurut Akbar sudah tercetus sejak 1998. "Jadi kalau ada dugaan bahwa konsep ini hanya untuk mengakomodasi ambisi Ketua MPR dan Ketua DPR untuk menjadi presiden, hal itu sama sekali tidak benar," ujar Akbar kepada wartawan. Akbar boleh saja membantah. Namun, masyarakat sudah terlanjur pandai membaca isi pernyataan-pernyataan politik para pejabat. Stop akal-akalan, titik. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html