Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 07/III/5-12 Maret 2000 ------------------------------ APA KABAR "KIRI" INDONESIA? (POLITIK): Marxis dogmatis, perlu disekularisasi? Goenawan Mohamad: "Betulkah teori masih diperlukan saat ini?" Fajrul Rahman: "Bisakah menjadi 'kiri' tanpa menjadi Marxis?" "Marxism is not a dogma, but a guide to reality" tulis John Percy, Sekretaris Nasional Socialist Democratic Party (DSP) Australia, dalam makalah "Relevance of the 'Communist Manifesto' Today", Januari 1998. Percy terang menyatakan "keliru" dogmatisasi teori-teori Marx. Barangkali ia pun mau menyanggah terdapatnya kecenderungan demikian pada sebagian 'orang-orang kiri'. Kalau begitu tidak diperlukan 'sekularisasi' seperti dimajukan Peneliti Lakpesdam NU Ulil Abshar Abdala? Pekan silam sebuah diskusi terbuka tentang Teori dan Gerakan Kiri Indonesia digelar di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko tampil bersama penulis "Nasionalisme Mencari Ideologi" (Nationalism in Search of Ideology) J. Elesio Rocamora sebagai pembicara. Kritik kedua pembicara dan sebagian besar peserta memicu gagasan anti-dogmatisme Marxisme tadi. Ditengarai kemunduran faham dan gerakan 'kiri' -kalau tak disebut gagal bersalah satu sumber dari terjadinya 'pengagamaan' terhadap Marxisme. Diskursus sepanjang tiga dekade belakangan pun kerap menyebut-nyebut determinisme 'manifesto' sebagai biang keteledoran orang-orang Marxis. Budiman Sudjatmiko saat memaparkan perkembangan gerakan 'kiri' Indonesia melontarkan beberapa kritik kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). "Sampai saat ini betapapun belum muncul organisasi Marxis besar selain PKI," terang Budiman. Toh, menurut Budiman, PKI malah tidak banyak memberi kontribusi wacana secara nyata, "Justru di tahun-tahun keemasannya". Budiman memaksudkan periode 1960-an di mana PKI menjadi salah satu parpol terbesar selain PNI dan NU. Peran kritis partai justru menguat di kurun tahun 1920-an. Karakter PKI sebagai partai pelopor lebih kentara dan banyak memunculkan debat-debat kritis. "Analisa Snevliet tentang perlunya mengorganisir kekuatan kaum tani di luar kaum buruh mendapat pengakuan komintern," papar Budiman selanjutnya. Sebaliknya, watak partai kader lenyap setelah PKI turut unggul di Pemilu 1955. Jurnal-jurnal terbitan partai memang dijumpai tetapi berisi melulu, "Slogan-slogan revolusi dan kebenaran analisa Marxisme," ujar Budiman. Kritik tersebut lantas mengundang bantahan. Sosiolog Dr. Arief Budiman mengingatkan Budiman Sudjatmiko tentang paper Tan Ling Gie yang memicu kemunculan argumentasi-argumentasi kritis dari intelektual PKI. Tak ketinggalan, mantan anggota PKI dari Ali Arkam, Hasan Rait membantah kesimpulan Sudjatmiko. "Justru di tahun-tahun 1920-an PKI melakukan banyak kesalahan dengan percobaan-percobaan revolusi," terang Hasan Rait. Peran Snevliet sendiri dinilai Goenawan Mohamad berangkat dari teori Lenin mengenai "Dua Taktik Sosialis Revolusioner". Kerangka analisa yang dibuat Lenin dalam menilai sifat revolusi Rusia. Kala itu Lenin menulis: "Sifat utama situasi Rusia saat ini adalah bahwa negara ini sedang beralih dari tahapan pertama revolusi -yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran kelas dan organisasi kaum ploretariat, telah menempatkan kekuasaan di tangan kaum borjuis- menuju tahapannya yang kedua, yang harus menempatkan kekuasaan di tangan kaum proletariat dan golongan-golongan termiskin kaum tani". Tahap pertama oleh Bolshevik dimengerti sebagai tahapan demokrasi. Lepas dari benar tidaknya asal muasal gagasan Henk Snevliet, Lenin sendiri tidak memaklumkan "dua taktik" secara ketat. Baginya yang paling penting adalah kesadaran kelas kaum proletar dan organisasi. Ada benarnya ketidakketatan Lenin memberlakukan "dua taktik". Cina tahun 1927 ditandai dengan kemenangan kaum buruh komunis bersenjata atas golongan reaksioner. Toh, ketika Shanghai berhasil dikuasai, kemenangan itu diminta pihak nasionalis pimpinan Ciang Kai-Shek. Alasan Khai-Shek, "perlu tahapan demokrasi sebagaimana tesis dua taktik Lenin yang telah dimaklumatkan Stalin". Toh, pasca penyerahan kemenangan berikut senjata, kaum komunis Cina diserbu gerakan nasionalis atas titah Chiang Kai Shek. Dari pengalaman-pengalaman Bolshevik masa Lenin, Stalin, Cina dan Spanyol tahun 1930-an kaum kiri beroleh pijakan betapa menderita kerugian berpolah dogmatis. Maka, bodoh saja bila terulang. Sementara kapitalisme sebagai lawan kian melentur diri dan karenanya kian meranggas dan menggeragas. "Tetapi apa maksud 'kiri' sebenarnya?" cetus Rara, seorang peserta. Lebih jauh Fajrul Rahman mempertanyakan makna menjadi 'kiri' saat ini. Tukikan pertanyaan kemudian, "Bisakah menjadi 'kiri' tanpa sekaligus menjadi seorang Marxis?" Rocamora menelorkan rumusan secara singkat. Kiri, dan orang-orang kiri, tidak lain adalah mereka yang senantiasa melawan, mengkritik dan bermaksud menghancurkan kapitalisme. "Saya kira ini turut memberi jawaban apa maknanya menjadi 'kiri' sekarang ini," terang Rocamora. Bersepakat dengannya Budiman Sudjatmiko menambahkan bahwa 'kiri' merupakan pilihan posisi politik. Kedua pembicara selanjutnya mengemukakan bisa saja menjadi 'kiri' tanpa sekaligus Marxis. "Tetapi 'kiri' yang dimaknai sebagai lawan kapitalisme, sulit tidak menjadi Marxis. Sebab, belum ada teori yang mengkritik dan menganalisa kapitalisme setajam dan sesistematis Marxisme," tukas Rocamora. Namun, seperti ditanyakan Goenawan Mohamad, "Apa perlu teori sekarang? "Tanpa teori PRD tidak dapat menganalisa struktur masyarakat, menentukan basis pengorganisasian, dan menetapkan strategi perlawanan," tutup Budiman Sudjatmiko. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html