Dalam Tulisan ini ada sedikit yang beda yaitu kata2 "Ia tidak merasa masa 
mudanya terampas karena menekuni pencak silat", sungguh penulisnya sangat 
cerdas dalam menuliskan kata2 sehingga dalam tulisan ini ada sesuatu 
motivasi positif bagi pembaca "bahwa ikut silat juga punya masa depan"

selamat membaca

http://silatindonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=3&artid=254


"Ia tidak merasa masa mudanya terampas karena menekuni pencak silat. "

Buk! Kaki jagoan silat itu melayang cepat. Sambil menahan nyeri, lawannya 
menghindar. Entah kenapa tayangan adu jotos di layar kaca itu tak membuat 
gadis kecil tersebut ngeri. Ia malah semakin terkesima oleh adu tendangan 
tersebut. Itulah tendangan yang mengubah sejarah Febriyani Nurkhasanah, 
gadis kecil tersebut. Sejak menonton tayangan laga pencak silat dalam SEA 
Games 1993, Febri--panggilan Febriyani--kecil bersumpah ingin menjadi atlet 
pencak silat. Ia melupakan cita-cita menjadi dokter atau polisi--cita-cita 
yang biasa hinggap di otak anak kecil.

Sejarah pun berpihak kepadanya. Empat belas tahun kemudian, yakni sekarang 
ini, Febri telah melambung menjadi atlet pencak silat untuk SEA Games 2007 
di Thailand. Ia kini mengikuti pemusatan latihan nasional pencak silat untuk 
SEA Games 2007 di Pusat Pendidikan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Tentara 
Nasional Indonesia Angkatan Darat di Batu Jajar, Cimahi, Jawa Barat

Saat ditemui Tempo, Kamis lalu, di pemusatan latihan itu, Febri bercerita ia 
adalah gadis pembelot. Sambil membanggakan seragam seragam loreng hijau 
Kopassus yang ia kenakan, Febri menuturkan bahwa ayahnya, Kartidja, adalah 
karateka yang sering tampil di aneka kejuaraan yang ditayangkan di televisi.

Ayahnya mewajibkan Febri berlatih karate. Awalnya gadis kecil itu menurut. 
Namun, ia hanya bertahan dua kali latihan. Belakangan, gadis itu malas 
belajar karate. Alasannya, ia benci dipaksa oleh pelatihnya melakukan split 
(merentangkan dua kaki sampai lurus sejajar dengan lantai). Aku nggak tahan 
dipaksa-paksa untuk bisa split. Padahal di silat pun nantinya ada ada 
keharusan bahwa aku harus mampu melakukan split, ujarnya sembari tertawa.

Akhirnya, dengan sedikit adu argumentasi dengan ayahnya, Febri kembali 
berlatih silat. Kebetulan di sekolah ada Perguruan Silat Padjadjaran 
Nasional. Akhirnya, setelah naik ke kelas III sekolah dasar, Febri bergabung 
dan mulai berlatih dengan serius.

Kejuaraan pada 1995 mengubah hidupnya. Febri saat itu mengikuti kejuaraan 
untuk pertama kalinya di Kejuaraan Nasional Perguruan Padjadjaran di Bogor. 
Ia turun di kelas C junior (42-45 kilogram) dan pulang membawa medali 
perunggu.

Setelah kejuaraan itu, Febri makin rajin mencebur dalam berbagai kejuaraan. 
Hasilnya? Ia tidak hanya mendapatkan medali, tapi juga deretan luka. Yang 
penting adalah mendapat pengalaman, kata gadis ulet itu.

Jam terbang Febri yang makin tinggi mengantarnya ke pertandingan yang lebih 
besar, yaitu Pekan Olahraga Daerah Jawa Barat pada 1998 sebagai wakil Kota 
Cirebon.

Dalam kejuaraan itu, Febri berhasil merebut emas dan berhak berlaga di 
tingkat nasional. Sejak itulah Febri mulai mendulang banyak medali.

Koleksi medali yang diraih Febri ternyata tidak otomatis membuatnya mendapat 
dukungan orang tuanya. Ibu Febri, Siti Maemunah, berkeras memintanya hanya 
berkonsentrasi pada sekolah. Gadis penyuka matematika itu menolak. Ia 
menunjukkan bukti bahwa silat tak menyurutkan prestasi akademiknya. Febri 
pun berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri di Bandung melalui jalur 
atlet. Pilihannya pun tidak tanggung-tanggung: jurusan matematika. Orang 
tuaku tidak menyangka aku bisa lulus ujian, kata Febri.

Pada 2002, Febri mengikuti kejuaraan nasional tingkat dewasa untuk pertama 
kali dan sekali lagi berhasil meraih emas. Sejak saat itu, jam latihannya 
terus bertambah sehingga waktu senggangnya semakin berkurang. Namun, sesuai 
dengan janjinya kepada orang tua, anak tertua dari tiga bersaudara ini 
menempatkan pendidikan sebagai prioritas.

Jadi, ya, pulang latihan, istirahat sebentar, lalu belajar. Hampir tidak ada 
waktu untuk kumpul-kumpul dengan teman, ujar Febri. Kendati begitu, ia tidak 
merasa masa mudanya terampas. Ini bukan sekadar impian, ini hidupku, gadis 
berjilbab ini menegaskan.

Pertandingan, buat Febri, selalu memberi kenangan sendiri. Ia memberi contoh 
ihwal kekalahannya melawan Haryanti, atlet silat dari Sumatera Selatan. 
Haryanti tiga kali mengalahkan Febri, bahkan dua kali dalam event yang sama.

Tiga kali kalah oleh dia, aku sempat berpikir, 'Apakah aku akan buat rekor 
jadi empat kali kalah?' Tapi ternyata aku bermain dengan tenang dan lepas. 
Akhirnya 5-0 buatku, ujarnya berbinar-binar.

Di dunia internasional pun Febri mulai mendapatkan perhatian khusus. Pada 
pertandingan internasionalnya yang pertama di United Kingdom Open 2006, 
Febri mendapat emas. Selanjutnya, ia mendapat perak di University Games di 
Hanoi, Vietnam, pada tahun yang sama. Terakhir ia sukses dalam Belgia 
Terbuka 2007 dengan merebut emas di kelas C putri sekaligus menjadi pesilat 
terbaik.

Namun, ia masih belum puas. Targetnya adalah emas di SEA Games Thailand dan 
Pekan Olahraga Nasional XVIII bagi Jawa Barat. Ia telah bersumpah menempa 
dirinya sekeras mungkin.

Saat ini Febri sedang digembleng di Pusat Kopassus di Batu Jajar. Ia menilai 
latihan yang banyak melibatkan anggota Kopassus itu sangat menyenangkan 
karena tidak sekadar menempa fisik dan teknik, tapi juga mental. Aku tidak 
akan melupakan pelatnas ini karena ini adalah pelatnas pertamaku dan 
ternyata sangat menyenangkan, katanya.

Meskipun jauh dari orang tua, Febri mengaku tidak pernah tertinggal berita 
apa pun karena setiap hari ia pasti menelepon sang mama. Bahkan, ketika 
masih di Jakarta, kalau memungkinkan ia menyempatkan pulang ke Cirebon. Tapi 
yang tidak pernah lepas dari pelukannya adalah boneka harimau kecil yang 
diberi nama Maung.

Maung itu keberuntunganku. Aku tidak pernah pergi ke mana pun tanpa Maung. 
Rasanya ada yang hilang deh kalau Maung tidak ada di tempat tidurku, 
katanya.

Oleh : MUSLIMA HAPSARI
Koran Tempo Minggu, 30 September 2007 

Kirim email ke