"Dialog Peradaban Cides"
Selasa, 09 Oktober 2007

Umat Islam harus bekerja keras membangun generasi baru yang
berkualitas seperti 'Salahuddin al-Ayyubi'. Baca Catatan Akhir Pekan
Adian Husaini ke 210

Oleh: Adian Husaini

Pada 4 Oktober 2007, saya diminta CIDES (Center for Information and
Development Studies) untuk menjadi pemakalah dalam sebuah diskusi
bertema "Islam dan Masa Depan Indonesia: Meneropong Sebuah Pergumulan
Peradaban". Acara dibuka oleh Mensesneg Hatta Rajasa. Ceramah
pembukaan oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin. Pemakalah lain adalah Dr.
Yudi Latif, mantan Wakil Rektor Universitas Paramadina.

Menurut Din Syamsuddin, meskipun umat Islam merupakan mayoritas
penduduk Indonesia, tetapi masih belum memberikan peran yang
signifikan terhadap perjalanan bangsa Indonesia. Ini berbeda dengan
masa-masa pra-kemerdekaan, ketika umat Islam menjadi faktor penentu
dalam perlawanan melawan penjajah. Bahkan, Din Syamsuddin mengingatkan
jika tidak melakukan upaya-upaya yang serius, umat Islam – dan bahkan
bangsa Indonesia – bisa menjadi tamu di negeri sendiri. Din juga
menyorot satu kelemahan gerakan reformasi yang tidak memiliki cetak
biru dalam pembentukan Indonesia masa depan.

Meskipun bukan merupakan pernyataan yang baru, tetapi kata-kata Din
Syamsuddin tersebut memang perlu kita renungkan. Setelah hampir 10
tahun berlalu, banyak yang bertanya: apa sebenarnya hasil reformasi
yang dapat dinikmati oleh masyarakat? Yang jelas jawabnya:
"kebebasan!" Semua orang kini bebas bicara, baik bicara yang baik
maupun yang buruk. Majalah Playboy bisa terbit leluasa di negeri ini.
Pornografi pun semakin marak. Paham-paham dan pemikiran-pemikiran yang
melecehkan Islam, semakin leluasa beredar di kampus dan media massa.

Acara-acara menjelang Sahur di bulan Ramadhan pun banyak diwarnai
dengan hal-hal yang justru bertentangan dengan kesucian bulan
Ramadhan. Banyak pelawak tampil vulgar bahkan secara terang-terangan
melecehkan sabda Rasulullah saw, agar laki-laki jangan berpenampilan
wanita dan sebaliknya. Meskipun MUI sudah mengingatkan itu semua,
tetapi "biar anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu." Media massa
itu sepertinya tahu benar, bahwa dalam era kebebasan ini, merekalah
yang berkuasa. Bukan masyarakat dan bukan MUI.

Dalam kesempatan itu, saya menyampaikan sebuah makalah tentang Islam
dan Indonesia masa depan. Disamping perlu memikirkan hal-hal jangka
dekat dan menengah, umat Islam di Indonesia perlu merumuskan dan
melakukan satu perjuangan yang berdimensi jauh ke depan. Terutama
untuk menyiapkan generasi baru yang mampu mengibarkan risalah Islam di
negeri ini dan juga di forum internasional. Itu semua sangat
tergantung pada umat Islam Indonesia itu sendiri.

Belum lama ini buku Hakadza Zhahara Jīlu Shalahuddin wa Hakadza 'Ādat
al-Quds karya Dr. Majid Irsan al-Kilani diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia. Secara bebas, judul buku itu berarti "Demikianlah
bangkitnya generasi Shalahuddin dan demikianlah al-Quds kembali ke
tangan Islam." Buku ini menarik, terutama dari sudut pandang
kebangkitan sebuah peradaban. Penerjemah buku ini, yang merupakan
alumni Universitas Islam Madinah, menceritakan, bahwa dosen pembimbing
mereka, Dr. Ghazi bin Ghazi al-Muthairi, adalah yang mengenalkan dan
meminta mereka membaca buku ini.

Buku ini sebenarnya bercerita tentang kebangkitan sebuah peradaban,
yakni bagaimana kaum Muslim mampu bangkit dari keterpurukan selama
sekitar 50 tahun dalam masa Perang Salib. Titik balik Perang Salib
terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di
bawah komandan Imam al-Din Zanki, ayah Nur al-Din Zanki. Dua tahun
sesudah itu, Zanki wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat
anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib.
Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan
pada 549/1154 ia sukses menyatukan Suriah di bawah kekuasaan Muslim.
Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan
jihad, dan model penguasa sunni.

Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi,
keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim dalam
melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang
berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187.

Sejarah memang biasanya bercerita tentang kepahlawanan dan
kepemimpinan para penglima perang dan penguasa. Sejarah Islam yang
diajarkan di sekolah-sekolah pun banyak bercerita tentang sejarah
kekuasaan Islam, mulai Rasulullah saw sampai runtuhnya kekuasaan Islam
di Turki Utsmani. Ini akhirnya menimbulkan persepsi di banyak
kalangan, bahwa memperjuangkan Islam harus dimulai dengan merebut dan
menduduki kursi kekuasaan, tanpa melihat proses yang panjang dalam
melahirkan sebuah kekuasaan yang tangguh.

Pada sisi lain, banyak yang menfokuskan diri hanya kepada
faktor-fektor eksternal dalam Perang Salib, seperti kekejaman pasukan
Salib dalam membantai umat Islam, sehingga kurang melihat secara
mendalam faktor-faktor internal yang justru menjadi penyebab utama
kekalahan umat Islam.

Sebagai contoh, dalam melihat sejarah Islam di Indonesia, selain perlu
menyimak keberhasilan pendirian Kerajaan Demak, perlu juga ditelaah
secara mendalam, proses panjang dakwah Islam yang akhirnya
memungkinkan berdirinya Kerajaan Demak tersebut. Para juru dakwah
adalah para wali atau ulama yang bekerja keras dalam mengubah kondisi
masyarakat Indonesia, meskipun rakyat ketika itu dipimpin oleh
penguasa non-Muslim. Pada akhirnya, rakyat di wilayah itu sendiri yang
melahirkan pemimpin-pemimpin muslim, sehingga berdirilah berbagai
kerajaan Islam di wilayah ini.

Maulana Malik Ibrahim, misalnya, diperkirakan tiba di Jawa tahun 1399
M. Kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak) baru berdiri tahun 1478 M.
Raja Demak pertama, Raden Patah, adalah santri dari Sunan Ampel, yang
tak lain adalah putra dari Maulana Malik Irahim. Adalah sangat mungkin
bahwa sebelum Maulana Malik Ibrahim, sudah ada pendakwah-pendakwah
Islam yang menapakkan kakinya di Tanah Jawa. Hanya saja mereka tidak
meninggalkan catatan sejarah. Sebab, diperkirakan Islam sudah bertapak
di Tanah Jawa.

Dalam seminar tentang Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, 17-20 Maret
1963, di Medan, Hamka mengungkapkan bukti dari buku Preaching of Islam
karya Sir Thomas Aranold, bahwa pada tahun 674 M telah dijumpai orang
Arab Islam di Jawa. Dan tahun 684 telah ada perkampungan Arab Islam di
Pesisir Barat Sumatra. (Lihat, Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan
Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: al-Maarif, 1981;
juga Risalah Seminar Sejarah Masuknja Islam ke Indonesia, (Medan:
Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia, 1963).

Kajian yang mendalam seperti ini sangat diperlukan agar tidak muncul
kekeliruan persepsi di kalangan sebagian aktivis Islam bahwa aktivitas
merebut kekuasaan adalah merupakan jalan pintas menegakkan Islam,
tanpa mau mengkaji secara mendalam kondisi masyarakat dan umat Islam
itu sendiri. Dalam hal ini, karya Dr. Al-Kilani bisa dikaji dengan
serius.

Tahun 1095 Perang Salib dimulai. Tahun 1099, Jerusalem jatuh ke tangan
pasukan Salib. Meskipun memiliki negara dan pemimpin (khalifah), umat
Islam berada dalam kondisi yang sangat terpuruk. Sekitar 88 tahun
kemudian tampillah pahlawan Islam terkenal, Shalahuddin al-Ayyubi,
yang berhasil membebaskan kembali al-Aqsha dari kekuasaan pasukan
Salib, pada tahun 1187. Buku ini memaparkan data-data, bahwa
Shalahudin bukanlah pemain tunggal yang "turun dari langit". Tetapi,
dia adalah produk sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh
para ulama yang hebat. Dua ulama besar yang disebut berjasa besar
dalam menyiapkan generasi baru itu adalah Imam al-Ghazali dan Abdul
Qadir al-Jilani.

Menurut Dr. Majid Irsan al-Kilani, dalam melakukan upaya perubahan
umat yang mendasar, al-Ghazali lebih menfokuskan pada upaya mengatasi
masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan. Di sinilah,
al-Ghazali mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat dan berusaha
mengatasinya, ketimbang menuding-nuding musuh. Menurut al-Ghazali,
masalah yang paling besar adalah rusaknya pemikiran dan diri kaum
Muslim yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali
tidak menolak perubahan pada aspek politik dan militer. Terdapat
catatan sejarah, bahwa al-Ghazali juga terus berupaya melakukan
kontak-kotak politik dengan penguasa yang baik. Tapi, yang dia lebih
tekankan adalah perubahan yang lebih mendasar, yaitu perubahan
pemikiran, akhlak, dan perubahan diri manusia itu sendiri. Untuk itu,
al-Ghazali melakukan perubahan dimulai dari dirinya sendiri dahulu,
kemudian baru mengubah orang lain. Kata penulis buku ini:

"Al-Ghazali lebih menfokuskan usahanya untuk membersihkan masyarakat
muslim dari berbagai penyakit yang menggerogotinya dari dalam dan
pentingnya mempersiapkan kaum Muslim agar mampu mengemban risalah
Islam kembali sehingga dakwah Islam merambah seluruh pelosok bumi dan
pilar-pilar iman dan kedamaian dapat tegak dengan kokoh."

Dalam bukunya, al-Kilani mengutip Ibn Katsir dalam Bidayah
wal-Nihayah, yang menggambarkan parahnya kondisi umat Islam saat itu.
Umat dicekam penyakit ashabiyah (fanatisme mazhab) yang parah,
kerusakan pemikiran, dan gaya hidup mewah pada kalangan elite.
Gubernur Abu Nashr Ahmad bin Marwan, seorang gubernur ketika itu,
mengucurkan anggaran 200.000 dinar dalam setiap acara hiburan yang
digelarnya. Tahun 516 Hijriah, saat Menteri Sultan al-Mahmud terbunuh,
bertepatan dengan saat istrinya keluar dari rumah dengan diiringi 100
pelayan dan kendaraan-kendaraan terbuat dari emas. Padahal, pada saat
yang sama, banyak rakyat yang menderita kelaparan. Ketika pasukan
Salib membantai puluhan ribu kaum Muslim, sebagian ulama berusaha
menggelorakan semangat jihad kaum Muslim, tetapi gagal. Ada cerita
yang menyebutkan, sebagian pengungsi membawa tumpukan tulang manusia,
rambut wanita, dan anak-anak, korban kekejaman pasukan Salib, kepada
khalifah dan para sultan. Ironisnya, Khalifah justru berkata: "Biarkan
aku sibuk dengan urusan yang lebih penting. Merpatiku, si Balqa',
sudah tiga hari menghilang dan aku belum melihatnya."

Dari hasil kajiannya terhadap gerakan kebangkitan umat di era Perang
Salib, Dr. al-Kilani menyimpulkan, bahwa yang pertama kali harus
dilakukan adalah perubahan dalam diri manusia itu sendiri.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi yang ada pada satu
kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka." (QS
ar-Ra'd:11).

Nabi saw juga menyatakan: "Sesungguhnya di dalam tubuh manusia
terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota
tubuh. Namun, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh.
Ketahuilah, itu adalah qalb." (HR Muslim). Era kejayaan dan kekuatan
sepanjang sejarah Islam tercipta ketika terjadi kombinasi dua unsur,
yaitu unsur keikhlasan dalam niat dan kemauan serta unsur ketepatan
dalam pemikiran dan perbuatan.

Bahkan, menurut al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, perubahan
itu harus dimulai dari ulama dan juru dakwah itu sendiri. Karena itu,
sebagaimana al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jilani juga sangat keras
sikapnya terhadap ulama-ulama jahat. Ia menasehati jurid-muridnya:
"Wahai anak-anakku! Jangan terpedaya dengan ulama-ulama yang tidak
mengenal Allah itu. Semua ilmu yang mereka miliki justru menghancurkan
diri mereka sendiri dan tidak membawa berkah. Mereka itu mengerti
hukum-hukum Allah namun tidak mengenal Allah Azza wa-Jalla."
Disamping dikenal sebagai seorang ulama sufi yang zuhud, Abdul Qadir
al-Jilani adalah pakar fiqih mazhab Hanbali. Dia juga aktif berdakwah
kepada non-Muslim, sehingga dikabarkan ada lebih dari 5.000 orang
non-Muslim yang masuk Islam melalui dirinya.

Jika strategi ini direfleksikan dalam perjuangan umat Islam Indonesia,
maka sudah saatnya umat Islam Indonesia melakukan introspeksi terhadap
kondisi pemikiran dan moralitas internal mereka, terutama para elite
dan lembaga-lembaga perjuangannya. Sikap kritis terhadap
pemikiran-pemikiran asing yang merusak tetap perlu dilakukan,
sebagaimana juga dilakukan oleh al-Ghazali. Tetapi, introspeksi dan
koreksi internal jauh lebih penting dilakukan, sehingga 'kondisi layak
terbelakang dan kalah' (al-qabiliyyah lit-takhalluf wa al-hazimah)
bisa dihilangkan, dan akhirnya umat akan meraih kejayaan dengan izin
Allah.

Jadi, tugas umat Islam bukan hanya menunggu datangnya pemimpin yang
akan mengangkat mereka dari keterpurukan. Umat Islam dituntut untuk
bekerja keras dalam upaya membangun satu generasi baru yang akan
melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas 'Salahuddin al-Ayyubi'.

-- 
Lukman --Han'z-- Hakim


Milis Alumni SMA 1 Pamekasan - Obat Awet Muda; Ampuh menghilangkan Ngantuk
Lintas Partai, Lintas Usia, Lintas Bisnis, Lintas Negara, Lintas Ruang :)

Dapatkan:
- Berita Aktual Dunia Islam di www.eramuslim.com
- Unlimited Mail Storage di www.Gmail.com (Featured w/ Conversation View)
- Arsip posting mailing list ini di:
  http://groups.yahoo.com/group/sma1pamekasan/messages
- Free 5GB Storage for private, share or public: www.esnips.com

Kirim email kosong untuk:
- subscribe : [EMAIL PROTECTED]
- no mail     : [EMAIL PROTECTED]
- daily digest: [EMAIL PROTECTED]
- individual email: [EMAIL PROTECTED]

Mailing List ini kita jaga agar senantiasa bersih dari:
- Spam, Virus, Trojan, Spyware, dlsb

Kritik/Saran dan Email mengandung attachment kontroversial, kirim ke: [EMAIL 
PROTECTED]

Vision : Helping People, Healing Nation, and Sharing High Quality of Life
Mission : Winning Career and Business
Strategy: Collaboration, Transparancy, No Cheating, Keep White and Clean 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/sma1pamekasan/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/sma1pamekasan/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke