Yg masalah kan bukan hanya shalat iednya, tapi shaumnya itu lho.. Hehe..
Menurut saya, yang begini tidak bisa dikompromi. Jadi gak harus bareng.
Kita berbeda kriteria dan pengertian kata "melihat bulan".
So, silakan pakai keyakinan masing-masing.
Sama aja dengan masalah batalnya wudhu' dalam hal bersentuhan kulit
dengan istri. Ada yg menganggap batal, ada yang tidak; bergantung pada
pengertian "menyentuh".

Kalau saya di Indo, saya lebaran besok, yakni ikut prinsip wujudul hilal
dan wilayatul hukmi ala Muhammadiyah yang menurut saya paling logis. :))

Salam utk Mas Agus Salim, Direktur Tim Implementasi salah aplikasi PLN
Pamekasan, Mas..
Kenal Erick juga ya? :))

On 10/11/07, hadi siswanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>    Semoga bermanfaat
>
> ----- Original Message -----
> From: "T. Djamaluddin" <[EMAIL PROTECTED] <t_djamal%40hotmail.com>>
>
> Media Indonesia, 10 Oktober 2007
>
> Menuju Titik Temu Menentukan 1 Syawal
>
> Penulis: T Djamaluddin, Peneliti Utama Astronomi Astrofisika, Kepala Pusat
> Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan, Bandung, Anggota Badan Hisab
> Rukyat, Depag RI
>
> Ilmu hisab untuk menghitung posisi bulan dan matahari, sebagai bagian
> astronomi, bukanlah ilmu langka. Kini banyak yang menguasainya, termasuk
> ormas Islam, seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis.
>
> Bahkan dengan banyaknya program komputer, siapa pun yang bisa
> mengoperasikannya dengan mudah dapat menghitung posisi bulan dan matahari.
> Masalahnya, tidak semua orang mengerti arti angka dalam penentuan awal
> bulan
> Qamariyah, khususnya dalam penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul
> Adha.
>
> Kini, dengan metode astronomi yang sama, bahkan dengan program komputer,
> hasil hitungan pasti akan sama. Tidak peduli siapa yang menghitung, apakah
> Muhammadiyah, NU, Persis, atau orang awam. Terlalu naif, ada yang merasa
> hasil hisabnya lebih unggul dan seolah metodenya beda dengan metode ormas
> lain yang menggunakan rukyat. Padahal tidak ada bedanya, semua ormas bisa
> menghitung dengan hasil yang sama.
>
> Dalam astronomi, yang menjadi induk ilmu hisab dan rukyat, tidak ada
> dikotomi hisab (perhitungan) dan rukyat (observasi). Keduanya saling
> mendukung dan tidak bertentangan. Kekisruhan yang terjadi dalam perbedaan
> penentuan Idul Fitri semata-mata lebih bernuansa kesalahpahaman hisab
> rukyat
> yang diperparah dengan ego keormasan.
>
> Kalau kita kaji akar masalahnya, sebenarnya sederhana solusinya. Samakan
> kriterianya dalam menafsirkan angka-angka hasil hisab. Banyak yang
> pesimistis menyatukan pendapat antara Muhammadiyah dan NU, karena berbeda
> keyakinan dalam memahami dalil syariat. Banyak juga yang mengira sumber
> perbedaan adalah pertentangan antara kubu hisab dan rukyat.
>
> Belajarlah dari ilmu induknya, astronomi, untuk menafsirkan makna
> angka-angka hasil hisab yang seharusnya tidak bertentangan dengan hasil
> rukyat. Penyatuan hasil hisab dan rukyat dalam menyimpulkan masuk awal
> bulan
> atau belum, terletak pada kriteria awal bulan. Kini ada dua kriteria yang
> digunakan dua ormas yang sering menimbulkan kesimpulan berbeda ketika
> posisi
> bulan di Indonesia berada pada ketinggian di antara dua kriteria tersebut,
> seperti terjadi pada 2006 dan 2007.
>
> Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (bulan telah wujud di atas
> ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (berlaku di seluruh Indonesia sebagai
> satu kesatuan hukum). Sementara itu, NU menggunakan ketinggian minimal 2
> derajat dengan prinsip menunggu hasil rukyat. Kedua kriteria itu adalah
> kriteria lama yang secara astronomi dianggap ketinggalan zaman. Sebenarnya
> sangat memalukan bila masih ada pihak yang tetap mempertahankannya.
> Apalagi
> bila dianggapnya sesuatu yang qath'i (mutlak benarnya) secara hukum. Kita
> bisa bersatu kalau kita menyempurnakan kriteria kemudian menyepakatinya
> sebagai kriteria hisab rukyat yang baru. Dalam konsep ini, bukan meminta
> yang satu naik yang lain turun, tetapi mengajak semua pihak sama-sama maju
> selangkah.
>
> Muhammadiyah
>
> Bagaimana Muhammadiyah harus melangkah tanpa meninggalkan keyakinannya
> bahwa
> hisab dapat digunakan sebagai penentu awal bulan. Kita coba pendekatan
> lain
> menuju titik temu. Tidak menggunakan alur lama ketika membahas dalil,
> tetapi
> alur alternatif untuk mencari titik temu.
>
> Secara ringkas, alur alternatif itu; Dalam Alquran (QS) 2:185
> diperintahkan
> berpuasa bila telah menyaksikan syahr (bulan kalender,month, bukan moon).
> Apa tandanya syahr QS 2:189 menjelaskan tentang hilal sebagai penentu
> waktu
> bagi manusia dan penentu pelaksanaan ibadah haji. Bagaimana memanfaatkan
> hilal untuk penentu syahr? Muhammadiyah biasanya menggunakan QS 36:39-40
> yang menjelaskan bahwa matahari tidak mungkin mengejar bulan dan malam pun
> tidak mungkin mendahului siang. Tafsir singkatnya, syahr dapat ditentukan
> ketika matahari mulai mengejar bulan (mendahului terbenam) pada peralihan
> siang dan malam, yaitu kriteria wujudul hilal. Ini adalah kriteria paling
> sederhana, tetapi mengabaikan aspek rukyat. Untuk mencari titik temu,
> alurnya diubah ke dalil lain yang juga kuat.
>
> Apakah tandanya syahr, Rasulullah SAW menjelaskan secara eksplisit,
> "Berpuasalah bila melihatnya (hilal) dan berbukalah bila melihatnya." Maka
> hilal sebagai penentu syahr adalah yang terlihat. Dengan perkembangan
> ilmu,
> posisi bulan bisa dihitung dengan ilmu hisab. Lalu apa syaratnya agar
> terlihat? Ini dirumuskan dengan suatu kriteria imkan rukyat (kemungkinan
> rukyat) atau kriteria visibilitas hilal yang didasarkan pada pengalaman
> rukyat jangka panjang dan dihitung dengan ilmu hisab.
>
> Banyak ahli hisab yang terkesan antikriteria imkan rukyat, dengan ungkapan
> "Kalau sudah menghisab, mengapa harus membahas rukyat." Kepada mereka
> perlu
> dijelaskan, angka-angka hasil hisab tidak bisa langsung ditafsirkan
> menjadi
> awal bulan Qamariyah tanpa menggunakan kriteria. Kriteria itu bisa sekadar
> wujud di atas ufuk (wujudul hilal) dan bisa juga kemungkinan untuk
> dirukyat.
> Komunitas astronomi merujuk pada kemungkinan untuk dirukyat (imkan rukyat
> atau visibilitas hilal). Untuk mencapai titik temu, kriteria yang harus
> dipilih adalah kriteria imkan rukyat. Inilah yang disebut maju selangkah,
> memilih kriteria yang menuju titik temu. Muhammadiyah nantinya perlu
> merumuskan bersama kriteria imkan rukyat yang bagaimana yang diusulkan.
> Apakah berdasarkan rukyat lokal atau hasil analisis internasional.
>
> NU
>
> NU pun harus maju selangkah, tanpa harus mengubah keyakinan, rukyat yang
> menentukan. Kriteria imkan rukyat yang selama ini digunakan perlu diubah.
> Kriteria 2 derajat berasal dari data pengamatan yang menyatakan hilal
> terendah yang berhasil diamati ketinggiannya 2 derajat. Dalam kompilasi
> hasil sidang isbat Depag memang ada data pada 16 September 1974 dilaporkan
> rukyat berhasil dilihat di 3 lokasi dengan jumlah saksi 10 orang, tanpa
> gangguan Venus. Hasil analisis hisab menunjukkan tinggi bulan 2,19
> derajat.
> Setelah itu tidak ada lagi data yang cukup meyakinkan mendukung ketinggian
> 2
> derajat.
>
> Analisis yang dilakukan Lapan dari kompilasi hasil sidang isbat 1962-1997
> itu dijumpai kenyataan, pada umumnya tinggi bulan yang rendah hanya
> dilaporkan dari 1 atau 2 lokasi pengamatan dari sekian banyak titik
> pengamatan. Hal itu menunjukkan besarnya kemungkinan salah lihat objek
> bukan
> hilal. Bahkan sebagian di antaranya mengindikasikan pengamat terkecoh
> cahaya
> planet Venus (bintang Kejora) yang posisinya dekat posisi bulan.
>
> Dari analisis itu diusulkan kriteria imkan rukyat dengan ketinggian bulan
> yang tergantung beda azimut (beda jarak horizontal di kaki langit) antara
> bulan dan matahari. Bila jaraknya jauh dari matahari, ketinggian minimal 2
> derajat, tetapi makin dekat dengan matahari ketinggiannya harus makin
> tinggi, tidak pukul rata 2 derajat seperti kriteria lama. Bila bulan tepat
> berada di atas matahari, saat matahari terbenam ketinggiannya perlu lebih
> dari 8,3 derajat. Kriteria itu masih bisa dikaji ulang. Kalau kriteria
> limit
> Danjon (batas minimal jarak bulan-matahari) diperhitungkan, kriterianya
> akan
> makin mendekati kriteria internasional dengan ketinggian minimal 3
> derajat.
>
> Bila nanti kriteria imkan rukyat sudah ditetapkan, masalah lain yang harus
> diselesaikan adalah bila hilal sudah di atas kriteria imkan rukyat, tetapi
> tidak ada kesaksian hilal. Demi mencapai titik temu, Fatwa MUI 1981 dapat
> digunakan, seperti halnya saat sidang isbat penetapan awal Ramadan
> 1407/1987. Salah satu butir fatwa itu menyatakan bila ahli hisab telah
> sepakat bahwa malam itu sudah imkan rukyat tetapi hilal tidak dapat
> dilihat
> karena terhalang, keesokan harinya dapat ditetapkan tanggal 1 bulan baru.
> Artinya, kriteria imkan rukyat cukup menentukan. NU harus maju satu
> langkah
> dengan memperbaiki kriteria imkan rukyat dan menerima fatwa MUI 1981
> tersebut. Bila masih keberatan dengan fatwa MUI tersebut, perlu juga
> diingat
> bahwa kriteria imkan rukyat juga didasari pada hasil rukyat masa lalu.
> Jadi
> pada dasarnya menggunakan kriteria imkan rukyat dalam mengambil keputusan
> tidak berarti mengabaikan rukyat pada saat itu. Dengan kriteria imkan
> rukyat
> dapat juga ditolak kesaksian yang di bawah kriteria karena kemungkinan
> terkecoh objek bukan hilal, kecuali bila dilaporkan dari banyak tempat dan
> tidak ada pengganggu dari planet Venus atau Merkurius.
>
> Bersatu ber-Idul Fitri
>
> Tampaknya, kalau pun Muhammadiyah dan NU mau maju satu langkah menunjuk
> titik temu kriteria imkan rukyat yang baru, implementasinya tidak bisa
> dilaksanakan untuk mengubah potensi perbedaan Idul Fitri 1428 H. Mekanisme
> organisasi tampaknya akan menghambatnya. Muhammadiyah tetap akan ber-Idul
> Fitri 12 Oktober dan NU ber-Idul Fitri 13 Oktober. Persis yang mendasarkan
> pada hisab, tetapi dengan kriteria imkan rukyat yang disederhanakan
> menjadi
> wujudul hilal di seluruh Indonesia, juga sudah mengumumkan Idul Fitri
> jatuh
> 13 Oktober 2007.
>
> Pertanyaan, dengan perbedaan itu mungkinkah merayakan Idul Fitri bersama?
> Jawabnya, mungkin dengan menunda salat ied agar bersama. Dalam salah satu
> kesempatan rapat Badan Hisab Rukyat, wakil dari Dewan Da'wah Islamiyah
> Indonesia menyampaikan berdasarkan saran dari ulama di Arab Saudi,
> mendahulukan ukhuwah (persaudaraan) yang wajib lebih utama daripada salat
> id
> yang sunah. Karenanya menunda salat id keesokan harinya demi menjaga
> ukhuwah
> sangat dianjurkan, walaupun pada 12 Oktober sudah tidak berpuasa.
>
> Menunda salat id dalilnya merujuk pada hadis riwayat Ahmad, Abu Daud,
> Al-Nasai, dan Ibn Majah. Diriwayatkan Rasulullah SAW tidak melihat hilal
> Syawal sehingga pada hari ke-30 Ramadan itu mereka masih berpuasa. Namun,
> kemudian pada penghujung siang (menjelang zuhur) datanglah rombongan yang
> mengabarkan mereka melihat hilal. Maka, Rasul segera menyuruh mereka untuk
> berbuka pada hari itu dan menunaikan salat id pada keesokan harinya.
>
> Dalil ini diperdebatkan untuk menunda salat id untuk alasan lain selain
> terlambat melihat hilal. Tetapi dari riwayat diketahui bahwa rombongan
> yang
> melihat hilal pun ikut menunda salat sampai melaporkannya kepada Rasul dan
> kemudian diperintahkan untuk salat id keesokan harinya. Alangkah indahnya
> kalau saudara-saudara kita yang sudah meyakini Idul Fitri jatuh 12 Oktober
> membatalkan puasa pada hari itu, tetapi menunda salat idnya bersama
> saudara-saudara yang ber-Idul Fitri 13 Oktober. Ini bersifat ijtihadiyah.
> Kalau pun salah, setelah dikaji matang-matang, tidaklah berdosa. Namun,
> tujuan menjaga ukhuwah (persaudaraan) dan memperkuat syiar tercapai dengan
> bersalat Idul Fitri bersama.
>
> Langkah menyatukan Idul Fitri bisa dimulai dengan bersama salat id, walau
> berbeda keputusan mengakhiri Ramadan. Kelak, setelah kriteria imkan rukyat
> yang baru dapat disepakati, kita dapat mengakhiri Ramadan dan ber-Idul
> Fitri
> benar-benar bersama. Kalender Islam pun mendapatkan kepastian dan
> keseragaman. Kita bisa bersatu.
>

Kirim email ke