Assalamualaikum Wr Wb

Berikut cuplikan dari kompas hari ini :

Melawan Korupsi "Vis-à-vis" Perlawanan Koruptor

Oleh : VINCENTIA HANNY S

Malang! Begitu kata yang tepat untuk menggambarkan nasib Endin Wahyudin. Endin, 
seorang kuasa hukum Aminah alias Hirja dan kawan-kawan, tak pernah membayangkan 
bahwa upayanya mengungkap suap di Mahkamah Agung justru membuat dirinya harus 
dihukum.

Tahun 2001 Endin mengungkapkan bahwa tiga majelis hakim Mahkamah Agung, yakni 
Marnis Kahar, Supraptini Sutarto, dan Yahya Harahap, telah menerima suap 
darinya, total Rp 196 juta. Endin melaporkan ketiga hakim itu ke Tim Gabungan 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dipimpin Adi Andojo Soetjipto.

Indonesia pun gempar oleh cerita Endin. Kisah Endin tertuang dalam buku 
Menyingkap Tabir Mafia Peradilan karya Wasingatu Zakiyah dan kawan-kawan. 
Namun, malang bagi Endin, ketiga hakim agung itu justru melaporkan Endin ke 
kejaksaan dengan tudingan mencemarkan nama baik.

Jaksa Agung Marzuki Darusman, yang semula berjanji akan mengesampingkan perkara 
pencemaran nama baik, justru memproses perkara itu. Persidangan kontroversial 
tersebut menjatuhkan vonis tiga bulan penjara untuk Endin.

Namun, ketiga hakim itu, yang didampingi Paulus Effendi Lotulung, seorang hakim 
agung Mahkamah Agung, justru dibebaskan dari tuntutan jaksa. Paulus dipilih 
oleh Ikatan Hakim Indonesia untuk menjadi kuasa hukum Marnis dan kawan-kawan.

Akhir dari cerita Endin ini, TGPTPK justru dibubarkan Mahkamah Agung melalui 
putusan judicial review yang diajukan pengacara Marnis dan kawan-kawan, yakni 
Paulus Effendi Lotulung. Pembubaran TGPTPK ini menarik dan terbilang aneh 
karena ketua majelis hakim Mahkamah Agung yang menangani judicial review ini 
adalah Paulus Effendi Lotulung.

Kisah yang dialami Endin adalah potret buram melawan korupsi di Indonesia. 
Upaya pemberantasan korupsi memang selalu vis-à-vis (berhadap-hadapan) dengan 
perlawanan balik sang koruptor. Fenomena ini tak cuma terjadi di era Orde Baru, 
tetapi pada pascareformasi pun perlawanan koruptor terus berlangsung, bahkan 
intensitasnya semakin besar karena yang menerima kue korupsi juga semakin 
banyak.

Perlawanan kuat juga terlihat saat Abdullah Puteh, Gubernur Provinsi Nanggroe 
Aceh Darussalam non-aktif, tersangkut perkara korupsi yang ditangani di Komisi 
Pemberantasan Korupsi.

Selain aksi jalanan, celah lain yang digunakan sebagai perlawanan adalah 
politisasi hukum. Bram Manoppo, rekanan Puteh, mengajukan judicial review 
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ke Mahkamah Konstitusi. Meski 
Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan Bram, sebutir pertimbangan 
hukum Mahkamah Konstitusi telah menjadi peluru baru bagi Puteh.

Kisah terkini dari Puteh adalah tertangkapnya pengacara Puteh, Tengku 
Syaifuddin Popon, bersama dua panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ketiganya 
tertangkap tangan sedang bertransaksi memberi-menerima uang Rp 250 juta untuk 
memperlancar perkara Puteh.

Kisah tertangkapnya Popon, Ramadhan Rizal, dan M Sholeh tak cuma berhenti di 
situ. Guliran kasus ini pun mengakibatkan istri Puteh, Marlinda Purnomo, 
beberapa pegawai pengadilan, pegawai Departemen Kehakiman, hingga dua hakim ad 
hoc tindak pidana korupsi tingkat banding ikut diperiksa.

Kendati masih gelap, tali-temali pihak-pihak yang terlibat atau diduga terlibat 
mulai kelihatan. Untuk memperlancar kasus Puteh, ternyata banyak pihak terlibat 
di dalamnya, termasuk penghubung dan operator. Praktik mafia peradilan yang 
sudah menjadi rahasia umum mulai terbuka dengan tertangkapnya pengacara Puteh 
dan dua panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini.

Perlawanan koruptor

Corruption fight back! ujar Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrrahman 
Ruki dalam berbagai kesempatan. Kekuatan itu bangkit kembali dalam berbagai 
bentuk.

Peringatan Taufiequrrahman bukan tak berdasar. Banyak fakta menguatkan 
peringatan Taufiequrrahman ini. Bahkan, peringatan tersebut sudah menjadi 
peringatan internasional yang diungkap dalam pertemuan elemen-elemen 
antikorupsi di Nairobi, Kenya.

Bungkusnya memang macam-macam, mulai dari aksi jalanan, mengguyur uang ke 
pengadilan dan para hakim, berdiskusi atau seminar, memanfaatkan celah yuridis 
atau celah administrasi pengadilan, hingga politisasi hukum melalui jalur 
judicial review sebuah undang-undang ataupun keputusan yang dibuat pemerintah.

Perlawanan para koruptor memang jauh lebih kuat karena soliditas mereka kental 
berkat kapital besar yang mereka miliki, dan yang pasti nyaris tidak pernah 
berbekas. Tak heran jika bicara soal korupsi, tak cuma menyangkut sang koruptor 
an sich, tetapi juga melibatkan pengacara, aparat penegak hukum, aparat 
pengadilan, para hakim, politisi, bahkan hingga elite politik yang menjadi 
beking di belakangnya.

Mengapa kekuatan korupsi bisa bangkit? Jawabannya singkat, perlawanan terhadap 
kekuatan korupsi di Indonesia baru di atas kertas dan mulut.

Sejarah telah menunjukkan hal itu, yakni pemberantasan korupsi di Indonesia 
baru di atas kertas, yang sudah dibuat oleh para pemimpin negeri ini, mulai 
dari era Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati 
Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, pemberantasan 
korupsi baru sebatas slogan yang mudah hilang diterbangkan angin.

Sejumlah tim pemberantas korupsi telah dibuat, bahkan di setiap rezim 
pemerintahan kalimat mari kita berantas korupsi selalu menjadi slogan yang 
diulang-ulang, tapi tak pernah menyentuh akar persoalan.

Pemberantasan korupsi di Indonesia baru sebatas sebagai pemadam kebakaran, atau 
penekanannya terfokus pada aspek penindakan. Perbaikan sistem nyaris tidak 
pernah dilakukan.

Wajah birokrasi Indonesia masih saja tetap korup, wajah aparat penegak hukum 
pun masih belum jauh berubah dari perdagangan perkara, dan wajah peradilan juga 
masih tetap sama: sarat dengan mafia peradilan. Banalisasi korupsi terus saja 
terjadi meski para presiden di setiap rezimnya berulang-ulang berbicara soal 
pemberantasan korupsi.

Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia B Lynn Pascoe seusai menghadiri 
sebuah acara di Mahkamah Agung menjelaskan, setiap orang yang berusaha di 
Indonesia harus mengeluarkan 10-15 persen dari investasinya untuk praktik 
korupsi.

Babak baru, reformasi, ternyata sama sekali tidak menyentuh perbaikan sistem, 
baik institusi birokrasi maupun penegak hukum.

Upaya pemberantasan korupsi lebih menekankan aspek penindakan yang parsial, 
tanpa berupaya mereformasi birokrasi dan mereformasi peradilan yang korup. 
Akibatnya, penindakan untuk sang koruptor justru memperoleh celahnya di 
pengadilan, baik melalui kutak-kutik putusan maupun celah-celah administrasi 
pengadilan. Tak terhitung sudah banyaknya perkara megakorupsi kandas di 
pengadilan, banyak yang tak masuk nalar secara yuridis.

Laporan Bank Dunia tahun 2003, Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat 
Akuntabilitas untuk Kemajuan, menyatakan, dalam survei terakhir sebelum laporan 
itu dipublikasikan, ternyata hampir separuh dari seluruh pejabat di Indonesia 
menerima pungli.

Selain sistem birokrasi yang tidak akuntabel, sistem manajemen birokrasi yang 
berorientasi rajin malas sama saja, gaji yang sangat rendah, rendahnya 
akuntabilitas sistem keuangan, dan tidak adanya hukuman bagi mereka yang korup, 
adalah potret birokrasi Indonesia.

Hasil survei terhadap kantor pemerintah yang dilakukan tahun 1999/2000 oleh 
Institute for Policy and Community Development Studies menyebutkan, pejabat 
yang membuat peraturan dan pejabat yang bertanggung jawab dalam pembelian 
adalah pejabat publik yang paling banyak melakukan korupsi besar-besaran.

Di peringkat berikutnya, pejabat yang memberikan pelayanan, para menteri, dan 
anggota parlemen termasuk sebagai pihak yang diperkirakan melakukan korupsi 
besar-besaran.

Kasus Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah potret buram birokrasi Indonesia. Uang 
komisi ini mengalir sampai jauh, tak cuma dinikmati pejabat dan pegawai KPU, 
tetapi juga dinikmati Direktorat Jenderal Anggaran, Badan Pemeriksa Keuangan, 
dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ribuan dollar AS dan ratusan juta rupiah 
dikeluarkan KPU untuk revisi anggaran tambahan pemilu.

Rakyat makin miskin

Berdasarkan survei The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) 
Januari-Februari 2005, Indonesia berada di peringkat pertama sebagai negara 
terkorup di Asia. Korupsi di peradilan Indonesia menduduki peringkat pertama 
dan korupsi di birokrasi menduduki peringkat kedua terburuk.

Angka ini sungguh kontras dengan tingkat kemiskinan Indonesia saat ini. Tingkat 
kemiskinan dan pengangguran di negeri ini masih paling tinggi di antara 
negara-negara ASEAN. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk 
miskin tahun 2004 sebesar 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari seluruh 
penduduk Indonesia.

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia masih berada di peringkat ke-111 dari 175 
negara di dunia. Merosotnya Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia disebabkan 
oleh praktik korupsi yang telah membuat kebocoran dalam anggaran negara.

Enam puluh tahun sudah usia Indonesia, tetapi negeri ini tak kunjung beranjak 
dari posisinya sebagai negara berkembang. Bahkan, tingkat kemiskinan di 
Indonesia saat ini setara dengan kondisi 15 tahun lalu.

Jika perbaikan sistem tak segera dilakukan, bisa jadi benar komentar pedas 
Nietzsche soal sikap tidak adil negara. Dalam karyanya, Sabda Zarathustra, 
Nietzsche menggugat keras peran negara: benarkah negara diciptakan untuk semua 
warga negara, ataukah hanya untuk segelintir mereka yang memiliki kuasa dan 
modal?

Pencipta adalah mereka yang telah melayani hidup, tapi penghancur adalah mereka 
yang menyediakan perangkap untuk banyak orang dan kemudian menyebutnya negara. 
Mereka menggantung pedang dan ratusan keinginan di atas nama rakyat&. Banyak, 
bahkan terlalu banyak, yang dilahirkan: Negara 
memang dirancang untuk mereka yang berkelebihan!
-- 
Using Opera's revolutionary e-mail client: http://www.opera.com/mail/




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hgp1qdq/M=323294.6903898.7846636.3189767/D=groups/S=1705077624:TM/Y=YAHOO/EXP=1124361293/A=2896125/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail";>Take
 a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who 
cares about public education</a>!</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

--
--------------------------------------------------
Berhenti (Quit):  [EMAIL PROTECTED]
Arsip milis:  http://groups.yahoo.com/group/smun65
Arsip Files:  http://groups.yahoo.com/group/smun65/files
Website: http://smun65.blogspot.com
--------------------------------------------------
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/smun65/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke