Diambil dari http://www.thaniago.blogspot.com

Negeri Boneka-nya Teater Kula



Apakah cinta masih diperlukan di sebuah negeri yang karutmarut?
PERTANYAAN di atas rupanya menggerayang di benak sekelompok muda yang berguyub 
dalam kelompok teater. Mereka sadar akan kekarutan negeri, dan karenanya 
merenung. Muara dari perenungan itu, mereka wujudkan dalam kesenian yang 
bersandarkan gerak, suara, dan teks. Biasa dinamakan teater.
Judul lakonnya Negeri Boneka. Di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, pada 27 
Juni 2008 lalu, Teater Kula membawakannya. Di bawah cita-cita William Darmawan, 
sutradara sekaligus penulis naskah, kelompok muda tersebut bergelut dengan 
mimpi mereka untuk mewujudkan dunia yang lebih adab untuk ditinggali. Mereka 
memang tak berniat menjawab, tapi sekedar menyodorkan persoalan, lalu 
menggumuli lewat caranya sendiri, dan menitipkan persoalan itu pada para 
penafsir (baca: penonton).
Teater yang lahir dari lingkungan kampus UI sejak 2004 ini berpentas dalam 
program Pentas Teater Tujuan. Lakonnya bercerita tenbetang dua tokoh utama, 
Zama (Kartika Indriani) dan Merta (Ayu Niken) yang hidup bersahabat di negeri 
yang berantakan dan serba absurd. Para penduduknya berprilaku aneh dan mengaku 
berdosa secara berlebihan. Penduduk ini diwakilkan dalam empat peran, yakni 
Wani (Buday ‘Es Pocong’) yang preman, Meduni (Arie Toursino Hadi) yang waria, 
Jali (Zulfahmi) yang anak muda gaul, dan seorang anak kecil perempuan (Ratih 
Suryani).
Entah mengapa empat tokoh ini yang dimunculkan. Apa perwakilan mereka cukup 
representatif dalam penggambaran sebuah negeri yang dipenuhi penduduk yang 
aneh? Kalau mau ditelisik lebih dalam – juga lebih jujur – rasanya tidak. Empat 
tokoh ini belum mampu mewakili identitas warga sebuah kota yang kompleks. Wani 
dan Meduni jelas adalah penumpukkan peran. Mereka berdua mewakili kaum 
minoritas di jalanan yang berjumlah kecil namun cukup punya daya tawar terhadap 
hidup. Ya, preman dan waria menawar hidup dengan pilihan hidup mereka. Karena 
penumpukkan peran ini, terlihat bagaimana peran dari Wani tidak terlalu 
penting, bahkanbisa ditiadakan dan diganti peran lain. Hal ini dikarenakan 
dalam medium teater yang terbatas, namun harus mampu menampung kompleksitas 
permasalahan, sehingga mampu menyentuh persoalan yang diusung.
Sepanjang adegan, Meduni mendapat ruang lebih. Lawakan ala waria menghiasi 
adegan demi adegan, sehingga porsinya seringkali berlebihan dan menyebabkan 
pembunuhan karakter lain, terutama Wani dan Jali. Kalau mau lebih teliti lagi, 
sebenarnya Jali dan anak kecil pun memiliki warna yang hampir senada.
Lakon berlanjut pada dua tokoh utama, Zama dan Merta yang terbangun dari tidur 
mendapati diri mereka berada dalam sebuah dunia antah berantah – katakanlah 
begitu – yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Mereka bertemu dengan tiga 
ksatria dari duniatersebut. Ketiganya diperankan masing-masing oleh Elpino 
Windy, Tri Mulyono, dan Raditya Oeto. Zama dan Merta kemudian dipaksa oleh 3 
ksatria untuk melayani tantangan mereka dalam sebuah permainan, karena kalau 
tidak, Zama dan Merta tidak bisa kembali ke negeri asalnya – itupun dengan 
syarat kalau bisa mengalahkan 3 ksatria.
Pada permainan itu, rupanya Zama dan Merta berhasil memenangkan dan boleh 
kembali ke negeri asalnya. Namun karena kemudian mereka mencintai ksatria 
tersebut, mereka urung kembali. Cinta mereka berlanjut dengan melakukan 
aktivitas seks yang dimetafor dalam gerakan saling merangkul berhadap-hadapan 
dan membungkuk-naik, persis seperti kedua orang Jepang yang saling memberi 
hormat.
Rupanya salah satu ksatria yang tidak kebagian ‘cinta’, menjadi iridan 
melaporkan perbuatan mereka ke Raja (Gigih Gilang Ramadhan). Raja yang murka 
karena negerinya dikotori oleh perbuatan cabul memberi hukuman. Namun karena 
mendengar juga melihat argumen dan kesungguhan mereka dalam cinta, Raja 
membatalkan amarahnya, malah lantas merestui mereka.
Sepanjang pementasan, penonton yang duduk berlesehan pasti dibuat gelisah. 
Selain memang karena kurang nyamannya posisi menonton – bayangkan berlesehan 
dalam beberapa jam pementasan – alur ceritanya pun terperangkap dalam 
idiom-idiom usang. Bahkan, banyolan yang dibuat para tokoh, khususnya Meduni, 
tidak membuat penonton tertawa karena keusangan idiom tersebut.
Musik yang digawangi oleh Rizaldy Baggus, Berto Tukan, dan James pun kurang 
hidup dan terkesan agak memaksa. Selain kibor dengan segala macam efek 
suaranya, mereka juga memanfaatkan gitar nilon akustik, jembe, dan setidaknya 
satu alat tiup kayu – mungkin suling atau saluang. Tak terlihat satu konsep 
utuh akan tema musik pada lakon ini. Semua musik yang mengilustrasi hanya 
pendamping setia naskah, tanpa tendensi untuk berdiri pada ruh musik itu 
sendiri.
Dengar saja bagaimana musik antar adegan berdiri terpisah tak bertalian satu 
sama lain. Bila satu alat musik sedang dipakai, misalnya gitar, alat itu terus 
menerus dipakai tanpa mempertimbangkan kebutuhan musikal. Seakan ada kesan, 
nanggung nih sudah megang gitar, jadi terusin aja. Tabuhan-tabuhan perkusif 
milik jembe sebenarnya bisa lebih ekploratif bila mampu mengawinkan dengan 
efek-efek suara dari kibor seperti instrumen ensembel gesek untuk memberi kesan 
suram, sunyi – tentunya dengan pilihan interval atau harmoni yang tepat.
Hal lain yang perlu dievaluasi adalah latar. Sama seperti musik, tak jelas pula 
konsep yang mau ditawarkan. Tak ada simbol-simbol penguat kesan sebuah negeri 
yang karutmarut yang menamakan diri negeri boneka. Hanya bentangan kain hitam 
sebagai latar utama, dan dibumbui kain puith yang menggantung vertical di 
tengah-tengah panggung. Simbol-simbol semiotik kiranya perlu ada karena 
karakter naskah ini tidak terlalu kuat. Mungkin masih menyisakan tanya pada 
benak penonton, apa relevansi judul Negeri Boneka dengan lakonnya.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan inilah, apresiasi yang pantas tetap layak 
disematkan pada kelompok yang sudah mencapai produksi ke-9 ini. Semangat muda 
dan sikap mau bergelut dalam pembelajaran hidup berkesenian yang diperlihatkan 
mereka kiranya suatu saat dalam memuntahkan evaluasi dalam catatan kecil yang 
tak ada artinya ini, dibanding keyakinan mereka untuk merenung soal hidup lewat 
seni teater.

--
Posted By  Roy Thaniago  to Saung Kata at  7/03/2008 01:07:00 PM


      
___________________________________________________________________________
Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.
http://id.toolbar.yahoo.com/

Kirim email ke