--- In Soe_Hok_Gie@yahoogroups.com, Roy Thaniago <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Diambil dari http://www.thaniago.blogspot.com
> 
> 
> Mengkritisi Laskar Pelangi
> 
> 
> 
>  
>  
> “Hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-
banyaknya…”
> 
> SEBARIS kalimat di atas keluar dari mulut Pak Harfan (Ikranegara), 
seorang kepala sekolah di SD Muhammadiyah, Belitong. Dengan berbekal 
cita-cita yang tanpa pamrih untuk membagi ilmu kepada anak-anak 
miskin, mati-matian ia pertahankan sekolah yang sebenarnya sudah 
layak ditutup itu. Sebuah SD yang pada satu waktu harus menimbang-
nimbang antara dilanjutkan atau ditutup berdasarkan jumlah siswa 
yang mendaftar pada hari pertama di tahun ajaran baru.
> 
> Pak Harfan tidak sendirian. Ibu Muslimah (Cut Mini), seorang 
perempuan muda, anak seorang pelopor sekolah Muhammadiyah di 
Belitong, turut hanyut dalam kegigihan Pak Harfan mencerdaskan anak-
anak Belitong yang tidak punya kesempatan masuk sekolah PN Timah 
yang lebih diperuntukkan bagi mereka yang berduit.
> 
> Dan, tahun ajaran baru yang bersemangat, mendadak mesti redup dan 
dihentikan keberlangsungannya karena jumlah siswa yang tidak 
mencapai sepuluh. Namun niat tersebut menjadi urung setelah seorang 
anak limabelas tahunan yang memiliki keterbelakangan mental 
menggenapi angka sepuluh sehingga sekolah bisa tetap berlangsung. 
Nama anak itu Harun.
> 
> Kurang lebih begitulah babak pembuka film Laskar Pelangi garapan 
Riri Riza yang mengadopsi novel karya Andrea Hirata dengan judul 
yang sama. Tema mengenai ironi pendidikan, persahabatan, dan 
semangat hidup, menjadi satu benang merah yang menyulam cerita ini 
hingga memikat khalayak Indonesia . Kelarisan bukunya yang melebihi 
angka satu juta kopi, turut menggiring naluri sineas muda seperti 
Riri Riza untuk mengawetkannya dalam medium yang lebih komunikatif 
â€" juga lebih menjual.
> 
> Film ini berisikan aktor-aktris kawakan seperti Slamet Rahardjo, 
Lukman Sardi, Ikranegara, Alex Komang, Cut Mini, Mathias Muchus, 
Tora Sudiro, Robby Tumewu, Rieke Dyah Pitaloka, dan lainnya yang 
disandingkan dengan duabelas anak-anak asli pulau Belitong.
> 
> Cerita dimulai dari alur mundur. Berkisah tentang Ikal dewasa 
(Lukman Sardi / representatif Andrea Hirata) yang tengah berada di 
atas bus yang melaju. Lalu menyusul adegan-adegan berikutnya yang 
menggambarkan masa kanak-kanak Ikal dan kesembilan temannya yang 
lain: Lintang yang jenius, Mahar sang seniman, Akiong si Tionghoa, 
Borek alias Samson, Sahara satu-satunya prempuan, Harun yang 
keterbelakangan mental, Syahdan, Trapani yang rupawan, dan Kucai si 
kecil yang menjadi ketua kelas. Oleh Ibu Muslimah mereka disebut 
Laskar Pelangi.
> 
> Seperti novelnya, hanya beberapa tokoh yang kebagian peran, sedang 
yang lain figuran sepanjang film. Tentu saja, Ikal dapat porsi 
paling besar. Karena lewat Ikal-lah penuturan cerita ini bergerak. 
Lalu berturut-turut disusul porsi bagi Lintang dan Mahar. Akiong, 
Samson, Kucai, Sahara , dan Harun hanya pelengkap. Bahkan nama 
Trapani dan Syahdan tidak terdengar sama sekali.
> 
> Lewat pembacaan novelnya, alur yang berjalan amat lemah. Begitu 
datar dan antiklimaks. Hampir tidak ada tujuan ke mana muara cerita 
in. Hanya sekedar penggambaran keadaan masa kecil Ikal. Fokusnya pun 
kerap berubah-berubah, tak runut. Padahal, kalau mau mengangkat tema 
ironi pendidikan, harusnyalah tokoh Lintang disorot dengan lebih 
intim. Bukan itu saja, setidaknya ada dua data yang keliru 
dituliskan oleh Andrea, yakni Zubin Mehta yang komposer (padahal 
seorang konduktor, halaman 128) dan alat musik klarinet yang 
dikelompokkan dalamjenis brass instrument (padahal woodwind 
instrument, halaman 234). Sayangnya, kekurangan di novel tidak 
diantisipasi dengan baik pula di film. Ri
> ri Riza masih saja melakukan kesalahan-kesalahan Andrea Hiarata 
dalam novelnya, walau ada beberapa hal yang berhasil dieksekusi Riri 
dengan amat baik.
> 
> Tertangkap kesan kalau Riri ingin menyederhanakan alur yang 
dibangun Andrea tapi dalam bobot yang masih ragu-ragu. Keragu-raguan 
Riri amat terlihat ketika dia berusaha meringkas cerita tapi malah 
membuat bingung penonton yang tidak membaca novelnya. Misalnya 
kejadian ketika Flo, tomboy pindahan dari SD PN Timah, hilang di 
tengah hutan. Sepertinya Riri terkurung dalam perspektif Andrea yang 
masih hijau dalam meramu cerita. Riri seperti sungkan untuk 
merekonstruksi cerita bertolak sedikit jauh dari aslinya.
> 
> Menyaksikan film Laskar Pelangi, penonton serasa menyaksikan 
penuturan Riri yang ngos-ngosan dalam menerjemahkan sebuah novel. 
Ngos-ngosan ini terlihat dari usaha Riri yang dengan pasrahmeladeni 
muatan novelnya yang sebenarnya banyak adegan yang sah bila 
dihilangkan begitu saja. (walau banyak adegan yang dihilangkan tanpa 
mengurangi esensi cerita, seperti mengenai ketakutan Ikal menjadi 
pegawai kantor pos atau mengenai kelompok mistik Societeit de 
Limpai). Mata dan telinga penonton dipaksa ikut ngos-ngosan pada 
adegan tidak tercapainya jumlah 10 siswa ketika hari pertama 
sekolah, pada adegan jatuh cintanya Ikal dengan Aling, serta 
kepergian Aling ke Jakarta, adegan Samson yang memberitahu Ikal 
untuk membesarkan badannya dengan bola tenis, atau adegan ketika 
mereka berkunjung ke Tuk Bayan Tula. Semuanya dipaksakan masuk dalam 
cerita oleh Riri, tapi seakan-akan dikejar durasi untuk 
meringkasnya. Jadi terkesan seperti, “Yah…pokoknya ada adegan itu
>  deh”, namun tanpa melayani hasrat intimitas penonton pada tiap 
detil adegan.
> 
> Namun sayangnya, cerita di novel mengenai Aling yang memberikan 
buku Seandainya Mereka Bisa Bicara kepada Ikal yang dititipkan lewat 
Akiong, justru dihilangkan. Padahal pada novelnya, juga hubungan 
dengan seri tetraloginya Laskar Pelangi (buku ketiganya berjudul 
Edensor), bagian ini amat penting, karena menceritakan sebuah kota 
bernama Edensor yang menghibur Ikal dengan menggantikan peran Aling.
> 
> Pemindahan teks ke dalam medium film, yang berhasil dieksekusi 
Riri misalnya adalah kecerdasannya dalam membeberkan data/fakta 
dalam novel dalam alur yang tidak runut. Kronologis peristiwa diacak 
sedemikian rupa, namun tetap menghadirkan data dalam novel. 
Contohnya adegan ketika Pak Harfan menempelkan poster Rhoma Irama 
sebagai tambalan dinding sekolah yang jebol, adegan penunjukkan 
Kucai sebagai ketua kelas, adegan Lintang yang dicegat buaya dan 
bertemu Bodenga ketika hendak mengikuti lomba cerdas cermat, dan 
adegan permainan perosotan dengan menggunakan pelepah pisang. Tidak 
runut, memang. Tapi tetap meramaikan isi cerita.
> 
> Hal lain yang perlu dipuji dari film ini adalah ketelitiannya 
terhadap hal-hal yang detil seperti dialek Melayu, properti yang 
berdasar pada waktu terjadinya kisah (mobil kuno, sepedamotor kuno, 
plang di PN Timah yang berejaan lama), kostum, latar, dan pemilihan 
lokasi syuting. Semuanya persis merepresentasi apa yang ada dalam 
novel. 
> 
> Dramatisasi yang berlebihan di novel pun diseret paksa oleh Riri 
menjadi lebih realistis, medekati kewajaran. Misalnya dalam novel 
dikisahkan dengan amat mengawang-ngawang, tidak realistis, mengenai 
kejeniusan Lintang. Di novel, pada adegan lomba cerdas cermat, 
dikisahkan Lintang yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang 
tidak masuk akal untuk anak SD. Sedang di filmnya sangat masuk akal. 
Misalnya pada adegan ketika jawaban Lintang disalahkan oleh juri. 
Pada novel, substansi yang didebat adalah soal teori Newton yang 
ribet. Di film, perdebatan itu hanya menyoal hitungan fisika yang 
wajar.
> 
> Sebaliknya, beberapa bagian malah diberi aksentuasi dramatisasi. 
Misalnya adegan Ikal yang membeli kapur dan menemukan tangan Aling 
di balik papan, atau adegan ketika Mahar bernyanyi Melayu dengan 
diikuti koreografi teman-temannya dengan wajah datar. Namun kedua 
hal ini justru memberi hiburan tersendiri bagi penonton yang 
sepanjang film berdurasi 125 menit ini dibuat lelah karena alur 
cerita yang amat lemah.
> 
> Buruknya, beberapa bagian tidak tersaji baik: kegigihan Lintang 
(jauhnya rumah dan perjuangannya tidak terlihat sehebat di novel), 
kayanya pulau Belitong dan perbadingannya degan kondisi SD 
Muhammadiyah, adegan ketika pawai karnaval.
> 
> Peran dari musik sangat baik. Musiknya tidak terlalu kuat sehingga 
konsentrasi penonton tidak berpindah kepada musik. Musik benar-benar 
diposisikan sebagai penguat nuansa. Namun ada potongan musik yang 
tidak teliti digarap sang penata musik, Aksan dan Titi Sjuman. Kedua 
drummer suami istri ini terdengar kewalahan mengisi ilustrasi musik 
pada bagian karnaval. Tampaknya, gerakan tarian pada karnaval sudah 
melakukan syuting terlebih dahulu dibanding musiknya. Sehingga 
terlihat usaha musik untuk memberi nuansa lebih kuat tapi seakan 
berkejaran dengan tempo tarian yang tidak konstan, sehingga 
menimbulkan pergesaran ritmik antar keduanya yang menyebabkan tidak 
sinkron.
> 
> Bagaimana pun, terlepas dari kualitas novel yang biasa saja â€" 
hanya beruntung karena mengangkat sebuah tema yang aktual dan seksi 
â€" filmnya mampu mengkomunikasikan beberapa hal dengan amat baik. 
Tema yang diusung dengan dukungan visual dan auditif, mampu memberi 
efek-efek romantisasi dan melankolik kepada penonton. Laskar Pelangi 
menjadi sebuah memori yang merekam keprihatinan pendidikan di 
Indonesia . Sebuah lanskap yang mengguratkan betapa pentingnya 
bermimpi dengan cinta.
> 
> 
>       well, pada dasarnya setiap orang memang berhak 
menyukai/kurang menyukai sebuah karya. saya setuju dengan statement 
anda yang mengatakan "alur dalam novelnya berjalan amat lemah dan 
sayang sekali tidak ada adegan Akiong memberikan Ikal 
buku "seandainya mereka bisa bicara (yang terkait erat dengan 
Edensor, buku ketiga tetralogi LP)."
saya tidak setuju saja dengan perbedaan-perbedaan mendetil yang anda 
jelaskan antara film dan novel. anda pasti tahu betul, film selalu 
tidak bisa membawa keseluruhan alur cerita yang diadaptasi dari 
novel, apalagi bagi novel LP setebal 534 halaman. karena hal itu 
amat sulit, mengingat durasi yang terbatas.
yang kedua dalah mengenai pendapat anda tentang kualitas novel LP 
yang "biasa saja". well, sejauh yang saya tahu, dan setelah 
mempelajari ilmu penulisan populer sendiri, mendeskripsikan sesuatu 
secara unik dan detil tidak mudah. tapi andrea hirata mampu 
melakukannya. deskripsi ilmiahnya (yang kadang seperti buku teks 
biologi)menunjukkan pengetahuannya yang luas dlm bidang tersebut. 
buku jelas berkualitas baik.coba saja anda bikin cerita_mengenai 
hidup anda sendiri (yang mungkin sama uniknya dengan hidup ANdrea). 
bisa nggak anda menjual cerita anda ke publik Indonesia lebih dari 
1juta eksemplar??

yah, setidaknya itu pendapat 
saya.________________________________________________________________
___
> Dapatkan alamat Email baru Anda!
> Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
> http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/
>


Kirim email ke