Diambil dari http://www.thaniago.blogspot.com



Kekeliruan Jurnas dan Kompas

Oleh: Roy Thaniago


Minggu ini, mata kita diusik oleh sebuah iklan koran Jurnal Nasional (Jurnas) 
yang mengiklankan edisi 18 Februari-nya yang berisi wawancara ekslusif dengan 
Presiden SBY. Akhirnya SBY Bicara, begitu bunyi tajuknya.

BARU kali ini sebuah koran harian memasang iklan hingga beberapa kali untuk 
satu edisi. Dan lagi, pada iklan itu, jauh hari sebelum terbit sudah memuat 
kisi-kisi dari isi edisi itu. Sungguh sebuah kerja yang luar biasa dari sebuah 
surat kabar harian yang memiliki ritme kerja sedemikian padat dan ketat setiap 
hari, bahkan setiap waktu. Dengan kata lain, Jurnas mampu bekerja layaknya 
sebuah majalah mingguan yang biasanya memiliki ritme kerja macam itu. Tidakkah 
itu mengundang tanya?

Semua orang tahu, Jurnas memang milik SBY. Didirikan pada masa Pemilu 2004. 
Jangan ditanya untuk apa, jelas untuk menggiring – atau merekayasa? – opini 
publik. Sudah sejak berabad lalu di Eropa, ruang publik (baca: surat kabar) 
dikendarai para penguasa untuk membentuk citra diri, memainkan opini publik, 
atau senjata pamungkas untuk menangkal kritik. Jadi, kalau kita sekalian sudah 
mahfum dengan fakta demikian, perlulah berpikir ulang untuk memberikan dukungan 
pada calon pemimpin macam ini.

Di wawancara khusus itu, yang diwawancarai oleh Ramadhan Pohan (asal tahu, dia 
adalah Caleg Dapil 7 Jawa Timur dari Partai Demokrat), terlihat bagaimana 
wawancara direkayasa agar poin-poin yang menguntungkan SBY-lah yang keluar. 
Semua pertanyaan seakan sudah diplot sedemikian rapih agar alur wawancara yang 
terjadi memberi sugesti kepada pembaca mengenai nilai-nilai positif SBY. Tidak 
ada satu pertanyaan kritis yang dilontarkan. Kalau pun ada, fungsinya lebih 
untuk memberi ruang jawab bagi SBY yang selama ini tidak mampu menjawab pada 
medium yang lebih demokratis.

Itu kekeliruan pertama dari Jurnas sebagai sebuah media milik publik. 
Kekeliruan kedua datang dari Kompas. Harian yang menjadi barometer media cetak 
di Indonesia ini mengulang keteledorannya dalam prinsip-prinsip jurnalistik.

Tentu kita masih ingat betapa Kompas sering melanggar ruang sakral di 
halamannya dengan membiarkan kolom iklan menguasai halaman tanpa ada batas yang 
jelas, yang dalam ilmu jurnalisme disebut pagar api. Dalam kasus lain, Kompas 
juga beberapa kali membiarkan tubuhnya ’diselimuti’ iklan besar yang menutup 
halaman terdepan Kompas – walau sekarang sudah tidak terjadi lagi. (Lebih jauh 
cek tulisan Menanyakan Sikap Kompas di 
http://thaniago.blogspot.com/2008/11/menanyakan-sikap-kompas.html).

Kompas Edisi 19 Februari 2009 juga tidak kalah kelirunya, bahkan amat fatal. 
Pada hari itu, sehari sesudah pemuatan wawancara SBY di Jurnas, artikel itu 
hadir pula di Kompas dalam bentuk sisipan, semacam sisipan koran Kontan yang 
dulu pernah ada di Kompas. Artikel 8 halaman itu, yang isinya sama dengan yang 
ada di Jurnas 17 Februari 2009, disisipi begitu saja tanpa ada keterangan 
apapun. Pembaca mungkin saja terkecoh dengan mengira bahwa dengan memberi ruang 
bagi sisipan Jurnas tersebut, berarti Kompas memiliki sikap politik maupun 
jurnalisme memble yang sama dengan Jurnas. Seharusnyalah dengan pe-de, Kompas 
cukup membubuhkan keterangan bahwa itu iklan, yang tidak dimaknai sebagai 
sebuah sikap yang mendukung. 

--
Posted By  Roy Thaniago  to Saung Kata at  2/19/2009 03:55:00 PM
________________________________
 Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat.
Undang teman dari Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang!


      Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari 
Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Reply via email to