SKIZOANALISIS: MEMBACA ULANG [melampaui] MODERNISME

Oleh;
Audifax
Penulis buku “Mite Harry Potter” (2005) dan “Imagining Lara Croft” (2006)



Dalam khasanah psikologi klinis mainstream, skizofrenia adalah salah salah satu 
bentuk gangguan jiwa. Skizofren merupakan penggambaran orang yang secara psikis 
tak memiliki batas-batas antara dunia yang memang nyata dan dunia (dianggap) 
yang tak nyata. Namun, di mata Gilles Deleuze dan Felix Guattari, Skizo justru 
ditempatkan sebagai sesuatu yang bisa dijadikan pelajaran penting bagi 
orang-orang yang selama ini menganggap dirinya normal.

Bagi Deleuze dan Guattari, kenormalan adalah sesuatu yang dipaksakan di bawah 
suatu ancaman hukuman. Mereka yang di luar kenormalan akan diasingkan oleh 
kultur di mana seseorang tinggal. Dalam pengasingan itu, akan terkandung 
hukuman dalam berbagai kemungkinan bentuknya. Kenormalan dengan demikian 
merupakan sesuatu yang secara khas dekat dengan apa yang dijelaskan oleh 
Sigmund Freud dalam konsep psikoanalisanya. Manusia di-oedipalisasi melalui 
ancaman kastrasi bagi mereka yang ‘berani’ keluar dari batas-batas normal. Pada 
titik inilah Deleuze dan Guattari menghadirkan Skizoanalisis sebagai antitesis 
bagi psikoanalisis. Berkebalikan dengan psikoanalisis, skizoanalisis justru 
mengenali batasan-batasan bukan untuk berhenti melainkan untuk melampauinya. 
Perlu menjadi catatan tersendiri di sini bahwa melampaui berbeda dengan 
melanggar.

BERMULA KATA, BERMULA SEJARAH
Agustinus Hartono, melalui skripsinya yang diterbitkan Jalasutra, mencoba 
memaparkan Skizoanalisis, yang merupakan salah satu pemikiran penting dari 
kumpulan pemikiran yang ada pada khasanah pemikiran Gilles Deleuze dan Felix 
Guattari. Inno, demikian panggilan penulis buku ini, mengawali paparan buku ini 
dari proses rasionalisasi yang terjadi dalam sejarah manusia. Proses 
rasionalisasi ini ditengarai mendewakan rasio sebagai ukuran normatif yang 
menormalkan manusia.

Pada bab awal, penulis tampak mengajak pembaca melalui rute yang menjelaskan 
bagaimana rasio diposisikan sebagai akses menuju otentisitas, hingga Friedrich 
Nietzche menggeledah rasio dan rasionalisasi serta menemukan hasrat yang 
tersembunyi di balik apa yang tampak. Rasio pun berganti bentuk menjadi hasrat, 
yaitu Will-to-Power. Pemikiran Nietzche memang bisa dikatakan membuka jalan 
bagi banyak filsuf posmodern. Kita bisa menyebut nama-nama: Jacques Lacan, 
Michel Foucault, Jacques Derrida, Julia Kristeva, Helene Cixous, Luce Irigaray 
dan masih banyak lagi. Deleuze dan Guattari adalah salah dua dari filsuf 
posmodern yang jika ditelusuri pemikirannya akan kelihatan bahwa mereka 
berhutang pada jalan yang telah diretas Nietzche.

MEMBACA-ULANG MODERNISME ALA DELEUZO-GUATTARIAN
Deleuze dan Guattari adalah duo filsuf yang mempertemukan psikoanalisis dan 
filsafat dalam jalur postrukturalisme. Sama seperti Nietzche, Deleuze dan 
Guattari menggeledah rasio dengan menghadirkan diskursus hasrat. Bagi Deleuze 
dan Guattari, hasrat ada di mana-mana dan tak pernah benar-benar dapat 
ditaklukkan kehadirannya pada realitas sosial dan diri. Hasrat tak bisa 
direpresi atau dijinakkan oleh ego seperti dalam psikoanalisis freudian.

Filsafat yang diangkat oleh Deleuze dan Guattari adalah filsafat ontologis. 
Mereka mencoba mengajak melihat kompleksitas dalam ontologi. ‘Ada’ merupakan 
sesuatu yang univokal. Ide dasar ini memang bukan sesuatu yang baru. Bahkan 
Deleuze dan Guattari sendiri mengakui pengaruh Baruch Spinoza dalam filsafat 
mereka. Namun, alih-alih mencari hukum representasi realitas yang konsisten, 
Deleuze dan Guattari justru menggunakan filsafat Spinoza-Leibniz untuk melawan 
konsistensi representasi realitas ala Descartes-Kantian.

Kritik terhadap filsafat Deleuze dan Guattari barangkali sama dengan umumnya 
kritik yang dilancarkan penganut aliran filsafat modern bagi pemikiran 
posmodern. Penganut filsafat modern melihat bahwa pemikiran posmodern tidak 
menambahkan apa-apa yang baru pada filsafat itu sendiri. Para filsuf posmodern 
dianggap genit dengan metafor dan permainan istilah/kata namun tidak 
menghadirkan sesuatu yang mampu merubah dunia. Kritik seperti inipun bisa 
dengan mudah ditujukan pada Deleuze dan Guattari.

Kendati demikian, kritik seperti itupun bukannya terbebas begitu saja dari 
pandangan kritis terhadap kritik itu sendiri. Dalam hal ini kritik penganut 
filsafat modern memiliki celah ketika mereka mengabaikan bahwa posmodern memang 
bukan bertujuan untuk menambahkan sesuatu yang baru ataupun merubah dunia. Apa 
yang dilakukan para filsuf posmodern justru adalah membaca ulang segala bentuk 
progres modernisasi, termasuk kritik-kritik dalam cara berpikir modern. Kritik 
yang tak boleh diimunisasi dari kritik justru adalah kritik yang bekerja di 
bawah paradigma bahwa realitas belum optimal sehingga harus selalu ditambah 
dengan yang baru ataupun dirubah. Pembacaan ulang seperti inilah yang justru 
menjadi penting ketimbang terseret untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau 
berpretensi merubah dunia, karena apa yang penting di sini justru terletak pada 
kenyataan bahwa banyak orang bahkan sudah tak mempersoalkan lagi kenapa 
realitas selalu (harus) dipandang sebagai sesuatu yang belum
 optimal.

Skizoanalisis adalah salah satu bentuk pembacaan dari banyak cara pembacaan 
yang dikedepankan oleh para pemikir posmodern. Skizoanalisis melihat bahwa cara 
berpikir modern yang bekerja di bawah paradigma realita yang belum optimal, 
ternyata bekerja berdasar ancaman kastrasi ala psikoanalisis freudian. 
Orang-orang yang terlempar dari apa yang dilabel modern, ternyata berpotensi 
mengalami kastrasi dari kultur tempat modernitas itu eksis. Di sinilah lantas 
pembacaan dengan skizoanalisis menjadi penting. Batas-batas modern dan tidak 
modern itu sendiri harus dibaca ulang sehingga tak membatasi esensi 
kemanusiaan. Pembacaan ulang inilah yang memungkinkan siapapun untuk melampaui 
tanpa harus melanggar batas-batas tersebut.

POSKRIP
Buku pengantar memahami skizoanalisis yang disusun oleh Inno ini, merupakan 
salah satu sarana yang akan membantu mereka yang berminat mendalami lebih jauh 
pemikiran Deleuze dan Guattari. Meski buku ini terkesan reduktif karena hanya 
sekelumit dari rimba pemikiran Deleuze dan Guattari, namun buku ini bisa 
menjadi pintu masuk penting agar pembaca tak tersesat jika ingin memasuki rimba 
pemikiran Deleuze dan Guattari yang seringkali menyesatkan dan penuh jebakan 
yang bakal menjerat seseorang untuk terseret pada paradigma benar-salah, 
sesuatu yang justru ingin dilampaui oleh pemikir postrukturalis.

Bagi peminat psikoanalisis, buku ini juga cukup membantu untuk membuka 
cakrawala perkembangan psikoanalisis. Psikoanalisis umumnya masih berkutat pada 
hal-hal yang sifatnya afirmasi terhadap teori freudian, pada titik inilah 
Deleuze dan Guattari hadir berbeda. Meski berangkat dari titik yang sama, yaitu 
psikoanalisis Sigmund Freud, namun Deleuze dan Guattari justru membalik 
paradigma yang selama ini dikembangkan oleh para freudian dengan menghadirkan 
skizoanalisis. Bagi khasanah buku psikoanalisis di Indonesia, buku ini 
merupakan pembuka bagi pengembangan pemahaman akan psikoanalisis.




Bagi anda yang berminat mendiskusikan esei ini, saya mengundang anda bergabung 
mendiskusikannya di milis Psikologi Transformatif

Bagi mereka yang ingin bergabung dengan milis Psikologi Transformatif, ketik:

www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif



Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang didirikan oleh 
Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung dalam Komunitas Psikologi 
Sosial Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Saat ini milis ini telah 
berkembang sedemikian pesat sehingga menjadi milis psikologi terbesar di 
Indonesia. Total member telah melebihi 1900, sehingga wacana-wacana yang 
didiskusikan di milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa 
dipandang sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk atau 
keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai wacana muncul di 
sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi ”Di mana ada manusia,  di 
situ psikologi bisa diterapkan” di sinilah jargon itu tak sekedar jargon 
melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai sudut pandang dalam membahas 
manusia, bahkan yang tak diajarkan di Fakultas Psikologi Indonesia.

Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang berminat 
mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya untuk 
mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini yang tekstual 
menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari kalangan 
disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam mailing list ini. 
Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium psikologi 
transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan diskusi dan gagasan 
mengenai transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah 
terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari simposium 
Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono, Abdul 
Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang aktif dalam 
milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, 
Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra, Bagus Takwin, Amalia “Lia” Ramananda, 
Himawijaya, Rudi
 Murtomo, Felix Lengkong, Kartono Muhammad, Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni 
Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad 
Dhani Iqbal, Anwar Holid, Elisa Koorag, Kidyoti, Priatna Ahmad,  J. 
Sumardianta, Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana, Yunis Kartika, Ratih Ibrahim, 
Sartono Mukadis, Nurudin Asyhadie


Jika anda ingin bergabung namun tidak ingin inbox e-mail anda dipenuhi oleh 
posting message (yang sangat padat, rata-rata 2500 perbulan), anda bisa 
men-setting no e-mail dan menyaksikan bagaimana tragedi ini berlangsung via 
message archive di web Psikologi Transformatif.


^^^^^^^^^^^^^SPONSOR-LINK^^^^^^^^^^^^^^
Kartu Nama Eksklusif
Membuat Orang Selalu Mengingat Anda
http://pegagajokartunama.blogspot.com/
SMS: 0811 18 59 29
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Kirim email ke