----- Forwarded by foreman/Plant_MPC/IALK on 13/07/2010 17:21 -----

sultan Badui <sultanba...@yahoo.co.id> 
Sent by: mediau...@yahoogroups.com
11/07/2010 20:16
Please respond to
mediau...@yahoogroups.com


To
MU <mediau...@yahoogroups.com>
cc

Subject
[mediaumat] Bisa Tegak tanpa Pajak






 
Pajak dipungut dari rakyat, tapi alokasinya tidak bagi mereka. Haruskah 
rakyat terus dijerat? Ada alternatif tanpa pajak.

Indonesia ini sebenarnya negeri kaya atau negeri miskin? Mungkin banyak 
dari Anda akan menjawab 'kaya'. Namun fakta menun-jukkan lain. Negeri ini 
sebenarnya negeri miskin. Inilah yang ter-cermin dalam Anggaran 
Penda-patan dan Belanja Negara (APBN). Kenapa? 

Berdasarkan data peneri-maan negara yang tertuang da-lam Laporan Keuangan 
Pemerin-tah Pusat (LKPP) dari tahun 2005 hingga 2010, rata-rata komposisi 
pajak sebesar 70,62 persen, diikuti PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) 
dan hibah dengan masing-masing sebesar 29,16 persen dan 0,22 persen (Tabel 
1). 


Sementara itu, untuk APBN tahun 2010, pendapatan negara diperkirakan 
sebesar Rp 950 trilyun, dengan komposisi pajak sebesar 78,21 persen, PNBP 
sebesar 21,63 persen dan hibah sebesar 0,16 persen.
Dari data APBN terbaca, pemerintah membebankan pen-dapatan negara dari 
pajak. Yang berarti masyarakat diperas untuk membiayai operasional negara. 
Mungkin sebagian orang bilang, wajar dong sebagai warga nega-ra. Tapi 
ternyata, justru alokasi anggaran ini tidak diperuntukkan bagi 
kesejahteraan rakyat. 
APBN tahun 2010 nilainya sebesar Rp 1.047 trilyun. Alokasi untuk 
perlindungan sosial pun turun. Alokasi ini mengalami pe-nurunan dari Rp 
24,44 trilyun menjadi Rp 18.88 triliun. Alokasi untuk Puskesmas dan 
jaringan-nya berkurang drastis dari Rp 2,6 trilyun ke Rp 1 trilyun.


Penurunan juga terjadi pa-da raskin, beasiswa murid miskin SMK, beasiswa 
mahasiswa miskin Depdiknas, beasiswa murid mis-kin SMP dan SMA. Program 
santunan langsung tunai (SLT) juga dihilangkan.
Anehnya, justru pembayar-an bunga utang naik. Dalam tiga tahun terakhir 
belanja subsidi listrik, energi dan non energi sela-ma tiga tahun terakhir 
meng-alami penurunan. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pengurang-an atau 
pencabutan subsidi yang dalam beberapa tahun ini diber-lakukan pemerintah. 
 
Tak salah bila pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy menyebut 
Indonesia se-bagai 'negara preman'. Rakyat dipalak untuk kepentingan 
pe-nguasa. Ini mirip dengan apa yang terjadi pada zaman Belan-da. Saat 
itu, melalui penguasa kolonial dan anteknya, berbagai jenis pajak 
dipaksakan kepada masyarakat Indonesia. 


Maka rakyat negeri tak habis dirundung malang. Lepas dari penjajahan, kini 
ditindas oleh bangsa sendiri. Kalau dulu, sebagian hasil panennya 
diram-pas paksa oleh penjajah, kini sebagian penghasilannya “diram-pas” 
penguasa melalui mekanis-me perundang-undangan.


Buah Kapitalisme
Eksploitasi negara atas rak-yat ini tidak lepas dari penerapan ideologi 
kapitalisme oleh para penguasa. Kalau dulu minyak dan bahan tambang 
merupakan satu-satunya penyumbang utama da-lam penerimaan APBN, lambat 
laun dalam dua dekade ini peran tersebut telah digantikan oleh pajak. 

Di bidang ekonomi, kapital-isme menghendaki adanya kebe-basan kepemilikan 
dalam arti bahwa penguasa memberikan jaminan yang penuh atas kepe-milikan 
individu (private proper-ty). Sehingga setiap orang bebas dan berhak untuk 
mengembang-kan produksi atas berbagai sum-ber daya ekonomi yang ada di 
negeri mereka seperti halnya adanya jaminan individu untuk mengelola 
sumber daya minyak, tambang, listrik, air termasuk berbagai barang dan 
jasa lainnya. Peran negara sedikit demi sedikit dikurangi bahkan dari 
akses terhadap sumber-sumber ekono-mi yang menguasai hajat hidup orang 
banyak seperti migas dan barang tambang lainnya. 

Sebaliknya individu dan swasta yang kemudian menjelma dalam bentuk 
korporasi baik berskala kecil hingga perusahaan multinasional mengambil 
alih pengelolaan kekayaan alam milik rakyat. Sebagai timbal balik atas 
pengecilan peran negara atas sumber daya ekonomi itu negara diberikan hak 
untuk memungut pajak dan pungutan lain sebagai sumber penerimaan APBN.
Tidak mengherankan bila sebagian besar sumber daya migas di Indonesia 
dikuasai oleh asing. Pemerintah hanya meneri-ma sedikit dari bagi hasil 
dan pajak dari pertambangan terse-but. Sebagian besar hasilnya dibawa oleh 
orang asing ke negaranya.


Tanpa Pajak
Ichsanudin Noorsy meng-ungkapkan, sebenarnya Indo-nesia bisa lepas dari 
pajak. “Bisa banget,” katanya. Menurutnya, Indonesia mempunyai 5 
kele-bihan. Pertama, kelebihan letak. Ini yang memberikan keuntung-an. 
Kedua, sumberdaya alam yang cukup, bahkan berlebih. “Namun, karena semua 
itu kita serahkan kepada orang asing, kita jadi melarat, bahkan terhina.” 

Ketiga: kaya akan jumlah penduduk. Dalam ekonomi, sum-berdaya paling mahal 
itu sesung-guhnya sumberdaya manusia, bukan sumberdaya alam. Ke-empat, 
mempunyai utang luar negeri pada tahun 2009 men-capai Rp 988,5 trilyun 
(Surat Berharga Negara). Pinjaman luar negerinya Rp 645 triliun. Jumlah 
total utang negara sebesar Rp 1.633,5 trilyun. Tahun 2010 diper-kirakan 
menjadi Surat Berharga Negara (SBN)-nya Rp 1.065,5 trilyun. Pinjaman luar 
negerinya menjadi Rp 610 trilyun. Totalnya Rp 1.675,5 triliun. Ini, 
menurut Ichsanuddin, sesungguhnya dili-hat sebagai aset. Utang dijadikan 
bargaining position, bukan justru menjadi alat untuk senantiasa ditekan 
dan didikte. Kelima: ke-majemukan. Yang bisa menye-babkan 
terdiversifikasinya pro-duk-produk. “Nah, kelebihan ini yang harus 
dikelola dengan baik dan benar,” katanya.

Secara perhitungan, sebe-narnya sumber kekayaan alam yang ada cukup untuk 
mem-biayai kehidupan negara. Syarat-nya, kekayaan alam itu dikemba-likan 
pengelolaannya kepada negara. Tidak boleh lagi indivi-du/swasta mengelola 
kekayaan alam milik rakyat. Itulah sistem Islam.[] mujiyanto

http://www.mediaumat.com/content/view/1467/68/




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke