MUI Haramkan Perubahan Jenis Kelamin
Selasa, 27 Juli 2010 | 18:43 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap perubahan jenis kelamin jika hal itu dilakukan dengan sengaja dan tidak ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan. "Mengubah jenis kelamin, yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram," kata Sekretaris Komisi C yang membahas tentang fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh, di Jakarta, Selasa (27/7/2010). Fatwa tersebut dikeluarkan MUI setelah melalui pembahasan dalam Musyawarah Nasional (Munas) VIII. Selain mengenai perubahan alat kelamin MUI juga mengeluarkan beberapa fatwa lain. Ia mengatakan, membantu melakukan operasi ganti kelamin, jika penggantian tersebut dengan sengaja, maka hukumnya juga haram. MUI juga memfatwakan, tidak boleh menetapkan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait perubahan tersebut. Karena keabsahannya tidak boleh ditetapkan, kata dia, kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi sama dengan jenis kelamin semula seperti sebelum operasi, meski sudah mendapat penetapan pengadilan. Adapun menyempurnakan kelamin bagi seorang khuntsa (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas guna menyempurnakan kelaki-lakiannya hukumnya boleh. Demikian juga sebaliknya bagi perempuan. Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin juga diperbolehkan hukumnya, demikian juga dengan penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat kelamin. Dengan demikian, hal tersebut memiliki implikasi hukum syar’i terkait penyempurnaan tersebut. Kedudukan hukumnya sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan, sekalipun hal itu belum memperoleh penetapan pengadilan terkait perubahan tersebut. Atas dasar fatwa tersebut, MUI memberi rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan untuk menjadikan fatwa itu sebagai pedoman dalam memberikan aturan pelaksanaan operasi kelamin dengan melarang operasi ganti kelamin dan mengatur pelaksanaan operasi penyempurnaan. Hal ini juga ditujukan kepada organisasi profesi kedokteran untuk membuat kode etik kedokteran terkait larangan operasi ganti kelamin dan pengaturan bagi praktik operasi penyempurnaan kelamin. Ia menambahkan, pemerintah dan DPR RI diminta membuat aturan hukum terkait dengan praktik operasi ganti kelamin dan penyempurnaan kelamin. Selain itu, pihaknya juga meminta Mahkamah Agung membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti kelamin. MUI Haramkan Nikah Wisata Selasa, 27 Juli 2010 21:57 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 1968 kali Ketua Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin. (ANTARA) Jakarta (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan nikah wisata atau pernikahan yang dilakukan oleh wisatawan Muslim untuk jangka waktu selama ia dalam perjalanan wisata. "Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mu`aqqat hukumnya haram," demikian dibacakan oleh Sekretaris Komisi C yang membahas fatwa Asrorun Ni`am Sholeh, dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI di Jakarta, Selasa. Pernikahan yang dimaksudkan adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun pernikahan itu diniatkan untuk sementara saja. Ketua MUI Bidang Fatwa Ma`ruf Amin mengatakan setelah penetapan fatwa tersebut pihaknya akan melakukan sosialisasi mengenai keputusan tersebut. "Kita akan sosialisasikan ke daerah-daerah dimana ini terjadi," kata Ma`ruf. Sosialisasi akan dilakukan ke daerah karena Ma`ruf menyebut praktek pernikahan semacam itu biasanya terjadi tidak secara resmi namun dibawah tangan dan umum dilakukan di beberapa daerah tertentu. Di beberapa daerah, praktek nikah wisata itu dilakukan oleh penduduk setempat karena alasan ekonomi dimana para turis yang menikahi mereka biasanya harus membayar "mahar" dalam jumlah lumayan besar. Setelah sosialisasi, MUI juga akan mengeluarkan rekomendasi terkait termasuk kemungkinan mengeluarkan peraturan untuk menjalankan fatwa tersebut. "Kita mungkin akan bicara dengan menteri atau DPR kalau menyangkut (pembuatan) Undang Undang," kata Ma`ruf. (*) MUI: Pilot Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Selasa, 27 Juli 2010 20:10 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 745 kali Jakarta (ANTARA) - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Para penerbang atau pilot diperbolehkan tidak berpuasa selama Ramadhan namun harus membayar fidyah atau menggantinya di hari lain. "Penerbang atau pilot boleh meninggalkan ibadah puasa Ramadhan sebagai rukhshah safar (keringanan karenan bepergian)," demikian fatwa MUI yang dibacakan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni`am Sholeh dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke VIII di Jakarta, Selasa. Meskipun diperbolehkan namun MUI juga memberikan ketentuan bagi pelaksanaan ibadah wajib umat muslim itu. Penerbang yang berstatus musafir tetap (seseorang yang melakukan perjalanan secara terus menerus) dapat mengganti puasa Ramadhan dengan membayar denda atau fidyah. Sedangkan bagi penerbang yang berstatus musafir tidak tetap atau melakukan perjalanan sewaktu-waktu saja tetap harus membayar puasa di hari lain. Fatwa itu dikeluarkan oleh MUI setelah adanya kasus sebuah maskapai penerbangan yang melarang pilotnya berpuasa karena dinilai menurunkan kinerja. MUI menentang kebijakan tersebut karena larangan itu bertentangan dengan hukum agama. "Membuat peraturan yang melarang seseorang berpuasa Ramadhan hukumnya haram karena bertentangan dengan syariat Islam," papar Asrorun.(*) MUI Perbolehkan Pencangkokan Organ Tubuh Selasa, 27 Juli 2010 19:50 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 507 kali (ANTARA/Grafis/ Hanmus)Jakarta (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia memperbolehkan pencangkokan organ tubuh melalui hibah, wasiat dengan meminta atau tanpa imbalan atau melalui bank organ tubuh. Hal itu terdapat dalam fatwa MUI yang disahkan dalam rapat pleno Musyawarah Nasional (Munas) VIII MUI yang dibacakan Sekretaris Komisi C tentang fatwa, Asrorun Ni`am Sholeh di Jakarta, Selasa. "Tranplantasi boleh dilakukan dengan persyaratan, " kata Asrorun. Selain itu, pencangkokan atau tranplantasi dimungkinkan dilakukan antara muslim dengan non muslim jika ada hajat untuk itu. Diperbolehkan juga tranplantasi dari binatang sekalipun najis dalam keadaan darurat. MUI juga memperbolehkan donor organ tubuh dari orang meninggal dengan syarat kematiannya disaksikan dua dokter ahli. Namun, fatwa MUI mengharamkan jual beli organ tubuh. Fatwa tersebut disahkan bersama enam fatwa lainnya yang dibahas Komisi C yaitu fatwa mengenai azas pembuktian terbalik, bank ASI dan bank sperma. Permasalahan lain yang difatwakan yaitu mengenai perubahan dan penyempurnaan alat kelamin, puasa bagi penerbang dan nikah wisata. Selain itu juga difatwakan tentang infotainment. Selama ini pencangkokan organ tubuh sudah sering dilakukan dalam dunia kedokteran. Fatwa yang dikeluarkan MUI lebih untuk menguatkan dan meyakinkan umat muslim dalam menjalankan kehidupan yang lebih baik dan sesuai syar`i. (*) [Non-text portions of this message have been removed]