Ramadhan: Saatnya Mengubur Sekularisme dan Menegakkan Syariah Islam Secara Total

[Al Islam 518] Ramadhan memang belum tiba. Namun, kita tinggal
menghitung hari menyambut kedatangan bulan suci di tahun 1431 H ini.

Ramadhan adalah bulan agung. Kedatangannya perlu disambut dengan penuh
kegembiraan dan penghormatan yang agung pula. Apalagi kedatangan
Ramadhan cuma setahun sekali. Keagungan Ramadhan diisyaratkan oleh
sejumlah nash al-Quran maupun as-Sunnah, baik secara langsung maupun
tak langsung; di antaranya saat Allah SWT menegaskan bahwa pada bulan
Ramadhanlah al-Quran Mulia diturunkan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).
Karena itu, kaum Muslim menyebut Ramadhan sebagai ‘bulan al-Quran’
(syahr al-Qur’an); selain karena di bulan inilah kaum Muslim lebih
banyak lagi membaca al-Quran dibandingkan dengan di bulan-bulan lain.

Selain itu, di bulan Ramadhan pula terdapat suatu malam yang lebih
baik dari seribu bulan, yakni Lailatul Qadar (QS al-Qadar [97]: 1),
yang banyak dirindukan oleh kaum Muslim. Karena itu, kaum Muslim pun
menyebut Ramadhan sebagai ‘bulan keberkahan’ (syahr[un] mubarak);
selain karena di bulan ini pula Allah SWT melimpahkan pahala yang
berlipat ganda hingga ratusan kali lipat untuk setiap amal salih
dibandingkan dengan di bulan-bulan lain. Rasulullah saw. pun bersabda:

    قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانَ شَهْرٌ مَبَارَكٌ اِفْتَرَضَ اللهُ
عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيْهَ أَبْوَابُ الجَنَّةِ وَ تُغْلَقُ
فِيْهِ أَبْوَابُ الجَحِيْمِ وَ تُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ فِيْهِ
لَيْلَةٌ خَيْرُ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

    Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan keberkahan. Allah telah
mewajibkan kalian shaum di dalamnya. Di bulan itu pintu-pintu surga di
buka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Di bulan
itu pula terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan (HR
an-Nasa’i dan al-Baihaqi).

Karena itu, layaknya kedatangan ‘tamu agung’, seorang Muslim yang
cerdas tentu akan melakukan persiapan yang optimal-dengan
mempersiapkan bekal iman, ilmu maupun amal shalih-dalam menyambut
kedatangan bulan suci Ramadhan ini. Tentu amat mengherankan jika
kedatangan sesuatu yang agung hanya disambut dengan persiapan yang
alakadarnya, dengan sambutan yang juga biasa-biasa saja, tanpa
ekspresi kegembiraan sama sekali.

Dengan persiapan iman, ilmu dan amal shalih, saat Ramadhan tiba setiap
Muslim tentu akan siap untuk mengisi hari-hari Ramadhan dengan ragam
amal shalih: shaum, qiyamul lail, tadarus al-Quran, bersedekah,
mendatangi kajian-kajian keilmuan, meningkatkan aktivitas dakwah dan
melakukan banyak amal shalih lainnya. Semua itu dilakukan tentu dalam
rangka semakin mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.

Hakikat Taqarrub illa Allah

Di dalam sebuah hadis qudsi, Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda,
bahwa Allah SWT telah berfirman:

    وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَ لاَ يَزاَلُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

    Tidaklah hamba-Ku ber-taqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih
aku sukai daripada menunaikan kewajiban yang telah Aku perintahkan
kepadanya. Hamba-Ku selalu ber-taqarrub kepada-Ku dengan ibadah-ibadah
sunnah hingga Aku mencintainya (HR al-Bukhari).

Berdasarkan hadis qudsi ini, hal yang paling utama yang bisa
mendatangkan cinta Allah SWT bagi seorang Muslim adalah melakukan
semua kewajiban, termasuk di dalamnya meninggalkan semua keharaman;
kemudian dibarengi dengan bersungguh-sungguh mengerjakan banyak amalan
sunnah serta meninggalkan hal-hal yang makruh dan subhat (Ibn Rajab
al-Hanbali, I/25).

Menurut Abdur Ra’uf al-Minawi, yang dimaksud kewajiban dalam hadis di
atas mencakup fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah (Abdur Ra’uf
al-Minawi, I/515).

Di antara kewajiban terpenting sekaligus terbesar atas kaum Muslim
adalah menegakkan hukum-hukum Allah SWT (syariah Islam) dalam seluruh
aspek kehidupan; baik dalam tataran individual, sosial maupun negara.
Alasannya jelas, sebagaimana menurut al-Minawi di atas, kewajiban
dalam Islam ada dua. Pertama: fardhu ‘ain (kewajiban individual)
seperti shalat, shaum, haji, menuntut ilmu, melakukan amar makruf nahi
mungkar, dll. Kedua: fardhu kifayah (kewajiban kolektif), seperti
membentuk jamaah yang beraktivitas mendakwahkan Islam dan melakukan
amar makruf nahi mungkar serta mendirikan Khilafah (membaiat seorang
khalifah) yang akan menegakkan syariah Islam secara formal dalam
negara serta untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia
dengan dakwah dan jihad.

Namun sayang, bukan hanya di bulan Ramadhan, di bulan-bulan lain pun,
kebanyakan kaum Muslim hanya ber-taqarrub dengan menunaikan
kewajiban-kewajiban individualnya saja plus beberapa perkara sunnah.
Adapun fardhu kifayahnya mereka tinggalkan. Buktinya, saat ini jauh
lebih banyak kaum Muslim yang tak peduli terhadap tidak diterapkannya
syariah Islam dalam sebagian besar aspek kehidupan mereka dibandingkan
dengan mereka yang peduli dan mau berjuang untuk menegakkannya.
Padahal, hanya dengan melaksanakan semua kewajiban (baik fardhu ‘ain
maupun fardu kifayah)-tentu dengan meninggalkan semua keharaman-itulah
setiap Muslim benar-benar bisa dikatakan sebagai orang bertakwa,
sebagai ‘buah’ dari puasa yang dia lakukan selama bulan Ramadhan.

Hakikat Takwa

Ibadah puasa di bulan Ramadhan ini, sebagai salah satu bentuk
aktivitas taqarrub kepada Allah SWT, pada akhirnya memang diharapkan
dapat mewujudkan ketakwaaan pada diri setiap Muslim:

    يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا كُتِبَ عَلَيكُمُ الصِّيامُ كَما كُتِبَ
عَلَى الَّذينَ مِن قَبلِكُم لَعَلَّكُم تَتَّقونَ

    Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa,
sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum
kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

Menurut al-Jazairi, frasa “agar kalian bertakwa” bermakna: agar dengan
shaum itu Allah SWT mempersiapkan kalian untuk bisa menjalankan semua
perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya (Al-Jazairi, I/80).

Saatnya Mengubur Sekularisme

Jika ‘buah’ dari puasa adalah takwa, tentu idealnya kaum Muslim
menjadi orang-orang yang taat kepada Allah SWT tidak hanya di bulan
Ramadhan saja; juga tidak hanya dalam tataran ritual dan individual
semata. Ketakwaan kaum Muslim sejatinya terlihat juga di luar bulan
Ramadhan sepanjang tahun, juga dalam seluruh tataran kehidupan mereka.

Sayang, faktanya yang terjadi malah sebaliknya. Pertama: Setelah
Ramadhan, kaum Muslim-yang sebelumnya berusaha ber-taqarrub kepada
Allah SWT untuk meraih takwa dengan puasa dan seluruh amal shalih yang
mereka lakukan-justru kembali jauh dari Allah SWT dan kembali
melakukan ragam kemaksiatan kepada-Nya. Banyak wanita Muslimah yang
kembali memamerkan auratnya, padahal saat Ramadhan mereka menutupnya
rapat-rapat. Banyak masjid kembali sepi, padahal saat Ramadhan ramai
dikunjungi. Acara-acara di televisi kembali menampilkan acara-acara
berbau pornografi/pornoaksi, padahal selama Ramadhan mereka menyiarkan
acara-acara religi. Banyak tempat-tempat maksiat dibuka kembali,
padahal selama Ramadhan ditutup. Penguasa dan banyak pejabat kembali
melakukan korupsi dan mengkhianati rakyat, padahal selama Ramadhan
mungkin mereka berusaha berhenti dari perbuatan-perbuatan tercela
tersebut. Bagi orang-orang semacam ini, tentu puasa tak ada artinya.
Inilah yang diisyarakat Baginda Nabi saw.:

    كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ

    Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apapun selain rasa
laparnya saja (HR Ahmad).

Kedua: Setelah Ramadhan, sekularisme (pengabaian agama [syariah Islam]
dari kehidupan) tetap mendominasi kehidupan kaum Muslim. Setelah
Ramadhan, tak ada dorongan dari kebanyakan kaum Muslim, khususnya para
penguasanya, untuk bersegera menegakkan hukum-hukum Allah SWT secara
formal dalam segala aspek kehidupan melalui institusi negara. Bahkan
di antara mereka ada yang tetap dalam keyakinannya, bahwa hukum-hukum
Islam tidak perlu dilembagakan dalam negara, yang penting subtansinya.
Anehnya, pemahaman seperti ini juga menjadi keyakinan sebagian
tokoh-tokoh agama Islam. Keyakinan semacam ini hanya menunjukkan satu
hal: mereka seolah ridha dengan hukum-hukum sekular yang ada (yang
nyata-nyata kufur) dan seperti keberatan jika hukum-hukum Islam
diterapkan secara total oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan
mereka. Padahal Abu Abdillah Jabir bin Abdillah al-Anshari ra. telah
menuturkan riwayat sebagai berikut:

    أنَّ رجلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَقَالَ: “أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الْمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ
رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ، ولَم
أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شيئاً، أَدْخَلُ الجَنَّةَ؟ قَالَ: نَعَمْ”

    Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Bagaimana
pendapat engkau jika saya telah menunaikan shalat-shalat wajib,
melakukan shaum Ramadhan, menghalalkan yang halal dan meninggalkan
yang haram, sementara saya tidak menambah selain itu; apakah saya
masuk surga?” Rasul saw. menjawab, “Benar.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadis ini, meninggalkan keharaman adalah syarat untuk bisa
masuk surga. Di antara keharaman yang wajib ditinggalkan tentu saja
adalah berhukum dengan hukum-hukum kufur. Apalagi Allah SWT tegas
menyatakan bahwa siapapun yang berhukum dengan selain hukum Allah SWT
bisa bertatus kafir, zalim atau fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44,
45, 47).

Karena itu, agar kita tidak termasuk golongan orang-orang kafir, zalim
atau fasik maka tentu kita harus segera menegakkan semua hukum-hukum
Allah SWT melalui institusi negara. Sebab, hanya melalui institusi
negaralah hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan
manusia-dalam bidang ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan,
peradilan, keamanan, dll-dapat benar-benar ditegakkan.

Karena itu pula, hendaknya seluruh kaum Muslim, khususnya di negeri
ini, menjadikan Ramadhan kali ini sebagai momentum untuk segera
mengubur sekularisme, kemudian menggantinya dengan menerapkan syariah
Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan melalui institusi
negara, yakni Khilafah ar-Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Itulah
wujud ketakwaan sejati. Itulah pula yang menunjukkan bahwa kita
benar-benar sukses menjalani puasa sepanjang bulan Ramadhan. Wallahu
a’lam bi ash-shawab. []

Komentar alislam:

DPR kini menganggarkan pembangunan rumah aspirasi per daerah pemilihan
sebesar Rp 112 miliar pertahun (Okezone.com, 3/8/2010).
Itulah demokrasi! Wakil rakyat sering hanya memikirkan diri sendiri,
sementara rakyat mereka abaikan.

-- 
+++
[5:50] apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin? (AL MAA-IDAH (HIDANGAN) ayat 50)
---
Wala' untuk Islam
Shofhi Amhar
http://sites.google.com/site/ibnushobirin

Kirim email ke