http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/opini/13117-mengapa-kita-beraninya-hanya-pada-malaysia


                        Mengapa Kita Beraninya Hanya pada Malaysia?     




        
                        
                        Thursday, 26 August 2010 14:01          
                
                
                

                
                                                                
                                                
                                                
        
        




Apakah kita akan tetap  “berperang” dengan Malaysia atau mempertahankan 
persaudaraan besar bernama “rumpun Melayu?”

Oleh: Afriadi Sanusi*


 
SEORANG
 Profesor Singapura menulis dalam sebuah artikelnya; Kebanyakan rumah 
mewah yang ada di Singapura, Kebanyakan uang yang beredar di Singapura 
adalah punya orang Indonesia. Kebanyakan pembangunan yang ada di 
Singapura, dibangun dari uang yang datangnya dari Indonesia. Dan di saat
 Singapura mengadakan Grand Sale setiap tahunnya, lebih 2 juta orang 
Indonesia datang belanja ke sana..”

Seorang sahabat di Singapura 
pernah mengatakan, “dari jalan ini sampai ke ujung sana dulunya adalah 
lautan, dan sekarang menjadi daratan cantik yang ditimbun dengan pasir 
yang didatangkan dari pulau-pulau kecil di Riau”.

Apa yang sebenarnya kita dapatkan dari Singapura?

Pertama,
 TKI laki-laki dari Indonesia diharamkan bekerja dan mencari nafkah di 
Singapura seperti di bidang pembangunan, kuli kasar, buruh dan 
sebagainya. Singapura lebih memilih warga negara lain daripada WNI, 
dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.

Kedua,
 banyak orang mengatakan dan dari sumber lainnya, “Satu per satu 
pulau-pulau kecil di Riau hilang karena pasirnya diangkut ke Singapura.

Ketiga, identitas
 orang Melayu yang identik dengan Islam seperti istana, rumah, 
perkampungan orang Melayu, dihilangkan. Adat dan budaya melayu 
dimuseumkan. Azan diharamkan menggunakan pengeras suara di semua masjid 
dan surau di Singapura.

Keempat, pemerintah 
Singapura melayani dan melindungi koruptor RI yang telah membuat rakyat 
RI sengsara selama ini  (karena hak-hak rakyat untuk mendapatkan 
pendidikan, rumah sakit, infrastruktur, makan dan tempat tinggal yang 
baik terjajah dan terzalimi), dengan tidak mau menandatangani perjanjian
 ekstradisi.

Kelima, banyak rakyat, nelayan dan 
petugas kita diacungi senjata berat dan diusir dengan pengeras suara 
karena disangka telah melintasi garis batasan laut kepunyaan Singapura.

Malaysia Lebih Baik dari Singapura

“Sejahat”
 apapun Malaysia, saat ini ada 2 juta orang lebih WNI yang sedang 
mencari rezeki di Malaysia untuk nafkah keluarga mereka di RI. 
Triliyunan uang TKI dikirim ke Indonesia setiap tahunnya. Dapat 
dibayangkan, bagaimana dampak sosial, ekonomi dan budaya yang akan 
berlaku di Indonesia kalau TKI pulang sekaligus.

Faktanya, 
TKI-lah sebenarnya “pahlawan” yang harus dilindungi, karena mereka 
penyumbang devisa negara. Di saat lain, ada banyak institusi yang 
keberadaannya hanya menghambur-hamburkan uang negara. Kegunaan mereka 
sangat perlu dipertanyakan di saat keberadaan mereka tidak memberikan 
manfaat yang berarti kepada rakyat. Ibarat pepatah Arab, ”wujuduhu ka adamihi.” 
(adanya seperti tidak adanya). Dengan kata lain, ada atau tidak adanya mereka, 
sama saja. Tak memberi manfaat.

Ribuan
 orang Indonesia sedang belajar S2 & S3 di Malaysia saat ini. 
Kebanyakannya mendapat bantuan atau keringanan biaya dari pemerintah 
Malaysia dan banyak juga yang sambil bekerja. Uang kuliah di perguruan 
tinggi negeri Malaysia lebih murah dari Indonesia. Kualitas, 
infrastruktur dan kemudahan lainnya jauh lebih baik dari di Indonesia 
tentunya.

Sebagai warga asli Indonesia, penulis tidak merasa 
sakit hati kalau ditilang oleh polisi Malaysia. Karena kami yakin, uang 
itu pasti akan masuk ke dalam kas negara untuk pemerintah Malaysia 
memperbaiki jalan, jembatan, lampu jalan yang aku gunakan setiap hari di
 negara ini.

Sebalinya, saya sering sakit hati jika ditilang oleh
 polisi Indonesia. Karena kami yakin, uang itu belum tentu masuk kas 
negara. Bahkan ada yang masuk pribadi polisi, keluarga dan golongannya 
tanpa dikembalikan kepada ke negara untuk membangun infrastruktur.

Lalu
 yang sangat mengherankan, isu-isu yang sebenarnya bisa diselesaikan di 
tingkat diplomat, tetapi menjadi barang dagangan pasar yang dikonsumsi 
oleh rakyat umum. Boleh jadi isu ini sepertinya dimanfaatkan oleh 
segelintir orang yang memang memiliki agenda, bagaimana supaya Islam, 
Melayu dan Nusantara yang kaya dengan SDM & SDA ini, tidak menjadi 
sebuah kekuatan. Mengapa rakyat di negaraku begitu mudah emosi?

Pengalihan Isu

Isu-isu
 penangkapan Abubakar Ba‘asyir, isu VCD porno artis, isu teroris, dan 
sebagainya, faktanya tidak berhasil mengalihkan perhatian rakyat 
terhadap berbagai skandal perampokan uang rakyat melalui kasus BLBI, 
Century, Rekening Gendut Polisi, kenaikan BBM dan harga bahan pokok, 
penangkapan Susno Duadji, buruknya birokrasi dan pelayanan publik, 
maraknya korupsi, pelemahan KPK, gagalnya sebuah kepemimpinan, 
meningkatnya jumlah kemiskinan, pengangguran, perbuatan kriminal, buta 
huruf dan gagalnya hampir setiap departemen dan institusi pemerintahan, 
dalam memberikan manfaat keberadaan mereka yang berarti kepada rakyat.

Isu
 “memanasnya" hubungan Indonesia-Malaysia tidak akan membuat rakyat lupa
 terhadap semua penipuan, pembodohan dan “perampokan” uang rakyat yang 
telah, sedang dan akan berlaku.

Damaikanlah Saudaramu

Pakar
 Melayu Prof. Dr. Dato’ Nik Anuar Nik Mahmud dari  Institut Alam dan 
Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dalam sebuah 
wawancara khusus dengan hidayatullah.com [“Ada Kuasa Besar Halangi Terbentuknya 
Melayu Raya], mengatakan, dalam buku-buku sejarah Melayu yang ditulis sebelum 
perang dunia ke-2, seperti “Sejarah Melayu” yang
 ditulis oleh Abdul Hadi dan Munir Adil, wilayah Semenanjung dan 
Indonesia dianggap sebagai alam “Melayu Raya”. Mereka menamakan tanah 
Melayu; Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Johor, Kelantan,
 Pattani, dan lainnya sebagai “alam Melayu”, atau di Indonesia dikenal 
istilah Nusantara. Yaitu wilayah Semenanjung tanah Melayu dan gugusan 
tanah Melayu.

Sejarah ini diajarkan kepada pelajar-pelajar Melayu
 sebelum Perang Dunia ke-2. Saat itu, ada semangat untuk memulai kembali
 bersatunya Melayu. Intinya, ada hasrat untuk bersatu.

Kalau mau 
jujur, semua suku di Indonesia ada di Malaysia: Jawa, Bugis, Aceh, 
Minang.  Kini banyak orang Jawa di Johor, juga di Selangor. Termasuk 
banyak warga Aceh di Malaysia. Negeri sembilan sebagian penduduknya dari
 Minangkabau. Bahkan Sultan Selangor itu berasal dari Bugis.

Jadi
 seharusnya, semangat kita (Indonesia dan Malaysia) adalah semangat 
“satu rumpun”  untuk bekerjasama untuk bangunkan alam Melayu ini. Hanya 
saja, jika berpecah, mustahil, bangsa Melayu tumbuh menjadi bangsa yang 
besar.  

Aksi ingin mengajak perang dengan Malaysia, pelemparan 
kotoran ke Kedutaan Malaysia, sweeping warga Malaysia pasti akan 
menyakitkan hati  dan membuat hubungan bukan makin mendekat, tapi malah 
menjauh.

Walaupun gerakan LSM Bendera tidak mewakili gerakan 
orang-orang cerdas di Indonesia, seperti Senat Mahasiswa, Muhammadiyah, 
ICMI, HMI, dll., namun warga Indonesia harus lebih peka dan mencari 
tahu, siapakah LSM ini? Ada apa di balik  agenda mereka?

Apakah 
mereka bergerak untuk kepentingan partai politik tertentu, ataukah untuk
 menaikkan partai dan pemimpin tertentu, ataukah mereka dibiayai oleh 
pihak asing untuk menghancurkan rumpun Melayu?

Di sisi lain, 
biasanya, isu-isu yang akan memungkinan pecahnya hubungan 
Malaysia-Indonesia jarang ditanggapi dan dibesar-besarkan media 
Malaysia. Namun akhir-akhir ini, khususnya pemberitaan ‘ketegangan’ 
hubungan Indonesia-Malaysia,   ditanggapi berbagai pihak. Termasuk pakar
 politik di berbagai media massa, seperti oleh Samy Vellu, Bernama dll.

Ada
 dua kemungkinan mengapa mereka menanggapinya. Pertama, untuk 
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat menjelang hari kemerdekaan 
Malaysia yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Kedua, mungkin juga 
dimanfaatkan oleh keturunan China dan India Malaysia yang memang kurang 
suka dengan hubungan baik Indonesia-Malaysia. Karena ini akan menguatkan
 kepentingan mereka dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya dan 
pembangunan di Malaysia.

Apakah kita akhirnya memutuskan 
“berperang” dengan Malaysia? Apakah kita tetap ngotot mengajak perang 
dengan Negara yang di dalamnya banyak keturunan Melayu Riau, Palembang, 
Aceh, Bugis, Minang, Mandailing, Rao, Jambi, Kerinci, Jawa, karena kita 
seagama Islam dan satu rumpun melayu?

Di saat yang sama, sudah 
ratusan kali pasir kita dicuri, minyak kita diselundupkan,  tapi kenapa 
kita selama ini tidak membenci Singapura yang menguras minyak kita 
dengan Caltexnya? yang menguras  gas kita dengan Harunnya dan 
sebagainya, tanpa memberikan dampak yang berarti terhadap pembangunan, 
ekonomi dan sosial rakyat?

Apakah kita takut pada Singapura 
karena mereka memiliki peralatan perang yang sangat canggih dan jauh 
meninggalkan Indonesia? Ataukah kita sengaja dibuat takut, karena para 
pejabat kita banyak yang memiliki hubungan mesra dengan Singapura yang 
menyimpan uang mereka dalam bentuk saham dan investasi?.

Malaysia
 secara tidak resmi telah melarang rakyatnya datang ke Indonesia. Kalau 
ini berlanjut, pasti semua ini akan memberikan pengaruh terhadap 
perusahaan penerbangan, hotel, pariwisata, tempat berbelanja, investor 
di Indonesia.  

Kalau sengketa ini berlanjut di tingkat 
pemerintah, maka akan sama-sama kita dengar, tiga, lima bulan lagi. 
Malaysia akan membeli peralatan perang yang baru, Amerika pula akan 
menawarkan “jasanya” pada TNI untuk memberikan pinjaman utang, untuk 
membeli peralatan perangnya yang katanya, harga sebuah kapal perang 
bekas saja, sama dengan harga sebuah pulau besar di Indonesia.

Namun sebelum itu terjadi, ada sebuah pesan dari al-Quran.

“Sesungguhnya
 orang beriman itu adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara 
kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah semoga kamu mendapat 
rahmat.” (QS: al-Hujurat ayat 10)

Penulis yang berasal dari Sumatera, PhD. Candidate Islamic Political Science, 
University of Malaya, Kuala Lumpur  


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to