seni, tradisi . . . nasibmu . . . 
tilhang 
kau belum hilang
jangan kau hilang

MUG

--- In tanahkaro@yahoogroups.com, "pelangiharum" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:

Oleh Kenedi Nurhan
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/18/Sosok/4075370.htm
===================

Ngeri-ngeri sedap! Itulah ungkapan cerdas sarat makna dari Zulkaidah
br Harahap (60), mantan maskot opera Batak pimpinan Tilhang Gultom
pada 1960-an hingga awal 1970-an.

Konteks ucapan Zulkaidah br Harahap, yang amat populer dengan
panggilan boru Harahap itu, sebetulnya sederhana. Bahwa, menjadi
seniman tradisi seperti yang ia geluti selama ini ternyata penuh
dinamika. Suka dan duka kerap berjalan beriring. Jarak yang 
memisahkan
keduanya pun terkadang begitu tipis meski di lain waktu bisa begitu
jauh merentang; ibarat bumi dan langit.

Apalagi ketika nasib opera Batak yang ia geluti sejak tahun 1963 kini
sudah lebih dari dua dekade mati suri. Zulkaidah pun dipaksa menerima
kenyataan jauh lebih buruk. Bukan saja ia kehilangan panggung seni
yang menghidupinya, tetapi sekaligus kehilangan kesempatan memenuhi
wasiat (alm) Tilhang Gultom agar ia tetap bisa menghidupi seni 
tradisi
yang ikut membesarkannya tersebut.

Agar bisa bertahan hidup, Zulkaidah harus berjualan tuak dan kacang
goreng keliling. Ikut kapal penyeberangan Danau Toba dari Tuktuk ke
Tomok di Pulau Samosir sudah kerap ia jalani. Setiap ada keramaian di
desa-desa yang bisa ia capai, tentu akan didatanginya.

Namun, satu hal yang tak pernah ia lupakan, ke mana pun pergi aneka
jenis sulimâ€"seruling khas yang biasa ia gunakan untuk
mendendangkan
lagu-lagu opera Batakâ€"selalu menyertainya, bahkan di kala
tidurnya.

"Sambil jual tuak dan kacang goreng, ketika lagi tidak ada pembeli,
kutiuplah sulim dalam irama lagu ungut-ungut (lagu kesedihan). Pernah
sekali waktu, saat aku tiup sulim sambil duduk di pokok kayu tak jauh
dari pesta keramaian, eh, datang bapak-bapak. Katanya, ’Namboru,
sedih
’kali, ya, suara sulim-nya.’ Lalu orang pun satu per satu
datang.
Pokoknya ramai," ujar Zulkaidah.

Alhasil, tambahnya, tak ada lagi orang ke pesta itu. "Semua 
ngerubungi
aku. Pemilik pesta pun datang, bayarin tuak dan kacang goreng. Dia
borong semua, tapi dengan syarat aku dimintanya pergi. Kejadian
seperti itu sering terulang di banyak tempat," katanya.

Kini pun, meski tak lagi jualan keliling lantaran usianya kian senja,
ia masih berjualan tuak serta sedikit penganan di kedai kopinya di
tepi jalan raya Desa Tiga Dolok, Kabupaten Simalungun, Sumatera 
Utara.
Di salah satu tiang penyanggah, tak jauh dari tempat penggorengan,
tersangkut kantong kain lusuh berisikan peralatan sulim, yang hingga
kini masih setia menemani Zulkaidah.

Ditemui pada suatu malam gerimis di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt)
di Pematang Siantar, beberapa waktu lalu, Zulkaidah begitu energik
ketika memainkan sulim dan hasapi (kecapi dua tali) secara 
bergantian.
Sesekali vokalnya yang bening muncul ke permukaan lewat nyanyian
onang-onang (tentang adat istiadat) dan ungut-ungut.

Pada masanya, berkat talenta bermain sulim dan vokalnya yang bening
itu, Zulkaidah tak ubahnya bagai "ratu" yang selalu ditunggu
kemunculannya di atas panggung opera Batak.

Sejak bergabung sebagai tukang masak dan penjaga anak-anak para 
pemain
opera Batak pada usia 13 tahun, Zulkaidah sudah merasakan pahit getir
hidup di tengah komunitas seni tradisi. Sampai kemudian "karier"-nya
meningkat menjadi pemain, pemusik, dan pelantun lagu-lagu opera 
Batak,
ia pun tampil bagai sri panggung yang diidolakan.

Apalagi sejak suara beningnya mulai di-"rekam" dengan tape recorder
saat ia diundang ke rumah orang-orang kaya, Zulkaidah mengaku serasa
bagai hidup di atas awan. Katanya, "Seperti melayang-layang. Ke
mana-mana dijemput naik sedan."

Bahkan, setelah bangkrut pun ia mengaku masih "melayang-layang" bila
ada wartawan datang, difoto-foto, dan masuk koran. Tak peduli para
tetangga kerap men-cemeeh-nya sebagai seniman penjual kacang goreng.

Lebih-lebih saat Rizaldi Siagian (etnomusikolog yang saat itu, 1989,
masih sebagai dosen di Universitas Sumatera Utara) datang ke 
gubuknya.
Rizaldi mengajak Zulkaidah pergi untuk ikut pentas di tempat yang
baginya bagai tak terjangkau: New York, Amerika Serikat.

"Ke Amerika! Ya, ke Amerika. Ini foto-fotonya dan ini fotokopi
koran-koran orang Amerika tentang kami. Lalu, ini piagam dari panitia
dan dari pemerintah," kata Zulkaidah begitu antusias. Juga ketika ia
bercerita tentang lawatan mereka ke Jepang.

Dua sisi mata uang

"Opung meninggal tahun 1973. Sebelum meninggal, ia minta agar aku
meneruskan kelangsungan grup opera Batak yang telah ia bangun dengan
susah payah. Kata dia, ’Boru Harahap, jangan kau sia-siakan usaha
ini.
Kalau kau sia-siakan, awas kau!’ Begitu Opung bilang, seperti
mengancam," kata Zulkaidah mengenang awal dari peristiwa kebangkrutan
opera Batak yang ditinggalkan Tilhang Gultom, sang pendiri.

Tak ada catatan persis bagaimana kehadiran jenis opera yang lebih
mirip teater keliling ini di tanah Batak. Namun, yang pasti, nama
Tilhang Oberlin Gultom selalu dikaitkan sebagai pemicu "kelahiran"-
nya
pada 1920-an ketika ia menggelar tontonan ini di pedalaman Tapanuli
Utara. Adapun istilah opera Batak itu sendiri dilekatkan Diego van
Biggelar, misionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir pada 1930-
an.

Sepeninggal (alm) Tilhang Gultom, atas persetujuan keluarga Tilhang
Gultom, perempuan kelahiran Desa Bunga Bondar, Sipirok, Tapanuli
Selatan, ini memutuskan melanjutkan usaha pertunjukan opera Batak
bernama Seni Ragam Indonesia alias Serindo tersebut.

Untuk menghidupi sekitar 70 anggota, ia jual sebagian besar harta 
yang
sempat dikumpulkannya selama menjadi maskot opera Batak semasa 
Tilhang
Gultom. Sawah, tanah, serta perhiasan emas yang melingkari leher,
lengan, dan pergelangan kakinya pun dilego.

Serindo kembali menggelar pertunjukan keliling dari desa ke desa. 
Akan
tetapi, ternyata "dunia luar" sudah berubah. Penontonnya sebagian
besar sudah pergi ke pertunjukan dangdut dan televisi, sementara 
pajak
tontonan dan "pajak" tak resmi dari oknum aparat membuat keuangan
Serindo kelimpungan.

Modal hidup terus terkuras, sampai akhirnya Zulkaidah menyerah. Tahun
1985 grup opera Batak Serindo ia kembalikan ke pemiliknya, keluarga
(alm) Tilham Gultom. Sekitar 45 anggota yang masih tersisa akhirnya 
ia
bubarkan.

Hidup dari seni tradisi dan menghidupi seni tradisi, bagi Zulkaidah,
ibarat dua sisi dari keping mata uang. Sejak bergabung sebagai tukang
masak sampai pada satu masa menjadi tauke grup tersebut, opera Batak
bagai sudah mengalir dalam darahnya.

"Jadi seniman tradisional seperti kami ini, ya, ngeri-ngeri sedaplah.
Bagaimana tak sedap, waktu di Jepang dan Amerika, semua orang hormat.
Tidur di hotel mewah, makan tak kurang. Awak merasa kayak presiden
saja, padahal cuma penjual kacang goreng," ujarnya.

"Tapi begitu pulang ke rumah, habis dari hotel mewah tidur di tikar.
Air kadang tak ada, makan sehari-hari pun terancam. Belum lagi awak
di-cemeh orang kampung. Ha-ha-ha.... Kadang-kadang awak berpikir,
macam mana pula ini. Tapi sudahlah, darah kita kan sudah di
kesenian...." (ken)

Biodata

Nama: Zulkaidah boru Harahap

Tempat Lahir: Desa Bunga Bondar, Sipirok, Tapanuli Selatan, tahun 
1947

Pendidikan: Tidak tamat SD

Suami: Pontas Gultom alias Zulkarnaen

Anak:

- Nurjunita

- Nurjuniati

- Bandit

- Halijah

- Metro


Reply via email to