Serba-serbi renungan . . . 
   
  "If you don't want to get hooked, never bite (kalau Anda tidak ingin 
terpancing janganlah menggigit). Dalam keadaan sakit pun beliau masih tertarik 
akan hal-hal yang dapat memberikan inspirasi atau menarik untuk direnungkan." 
(dari postingan Simson Gintings, tentang Djamin Gintings tulisan Bhudi K 
Sinulingga di SM)
   
  If you wan’t get hooked . . . Djamin Gintings merenungkan ketika itu, di 
kamar rumah sakit di Canada. Saya merenungkan apa yang kira-kira direnungkan 
Djamin Ginting ketika itu. Apakah beliau merasa sudah kena pancing ke Canada? 
  "Jangan menantng nasib" kata orang Swedia. Djamin Ginting tidak menantang 
nasib, tapi beliau sungguh menggunakan dan memanfaatkan perjalanan ’nasib’nya. 
Di Canada beliau menggunakan tugas diplomasinya dengan penuh kesungguhan. 
Disamping itu beliau tetap lebih dekat ke Medan daripada ke Jakarta. Karo enda 
ndai, tentu enda me bas ukurna. 
   
  If you wan’t get hooked . . ... Melala tukang pancing i Sumut, adi i 
Deliserdang tukang pancing enda emkap kalak pendatang Tapanuli, 
Tapsel/Mandailing/Batak. Penduduk asli Sumtim tentu la lit kepentingan kai pe 
mancing-mancing i daerah sendiri. Kucing-kucingan antara pendatang dan penduduk 
asli terjadi diseluruh Indonesia, dan diseluruh dunia. Enda me kapken 
perjuangan abadi antar etnis, ethnicgroups self-assertion and struggling for 
power. Enda ’mutlak dan abadi’. Yang mancing (pendatang) akan berusaha mancing 
supaya penduduk asli tidak percaya terhadap formulasi perjuangan antar etnis 
ini, retapi diam-diam mereka menjalankan tak henti-hentinya. Penduduk asli 
termasuk orang Karo bisa terpancing, misalnya bikin ’persatuan deliserdang’, 
untuk menentang pemekaran Deli, pemekaran mana pada pokoknya akan memperkuat 
modal politik dan ruang politik orang Karo, tetapi sebaliknya mereka ini 
(orang-orang Karo ini) tidak dipancing untuk menentang Sergai atau 9 desa Karo 
Bangun
 Purba. Disini jelas siapa yang mancing dan siapa yang kena pancing. Ibas 
kerangka Propinsi Karo (perlu 5 daerah otonom, Deli (Delihulu/Serdanghulu), 
Langkathulu, Singalorlau, Berastagi, Tanehpinem/Tigalingga) tentu persoalan 
enda merupakan persoalan hidup-mati bagi pendatang Sumtim, terutama orang 
Tapsel/Mandailing sebagai ’raja’ turun temurun di pemerintahan Sumut. Propinsi 
Karo, Sumtim dan Protap adalah titik permulaan kematian Sumut, yang NB adalah 
titik permulaan orang-orang Tapsel/Mandailing hizrah pulang kampung bikin 
Tabagsel. Mengapa mereka ngulur waktu hizrah bikin Tabagsel, tentu semua sudah 
mengetahui. Waktu luang untuk mancing masih banyak. 
   
  If you wan’t to get hooked . . . Kalau tidak mau menyerahkan Berastagi ke 
pendatang, janganlah terpancing pemekaran pemko Berastagi. Enda salah sada cara 
pandang pemekaran Berastagi. 
   
  Lit kang simancing terbalik. ´Bertahanlah terus supaya Karo tidak pernah 
mekar. Karo akan tetap bersuara 1 (satu), tidak pernah dapat dana lebih dari 1 
(suara) seperti selama ini. Etnis-etnis lain sudah lebih dari 1, malah 5 atau 6 
suara secara politis maupun ekonomi (dana dari Pusat). Karo rugi sendiri, dan 
tidak ada pendatang yang tidak gembira, tidak ada etnis lain yang merasa bahwa 
dalam hal ini Karo harus ngomong, tapi lebih baik diam jadi ’orang baik’, 
’pencinta’ NKRI, pencinta ’persatuan deliserdang’ dsb, tanpa perkembangan 
pikiran.
   
   Tanpa propinsi Karo tentu Karo tetap butuh calo dari etnis penguasa jika 
berhubungan ke Pusat atau bahkan ke propinsi Sumut, harus lewat DPRD Sumut yang 
80 % orang Tapanuli, 3 kibul kalak Karo, atau DPD yang 100% Tapanuli. Disini 
jelas siapa yang jadi tukang pancing supaya Karo tidak mekar. 
   
  Bisa terjadi juga dengan pancing umpan upeti, seperti kata Alexander 
Firdaust: "dan lebih ironis lagi kalau ada yang tahu tapi tidak mau tahu 
tentang persoalan ini dikarenakan telah menerima upeti"
   
  Dalam aksi pemrakarsa pemko, perlu Fear-riddance action nina Shodan Purba, 
tapi yang dimaksud disini bukan gaya Sumut, "hantam dulu, perkara belakangan." 
   
  ’Gaya Sumut’ ini tidak mengenakkan, gaya bandit atau mafia, bukan gaya Karo. 
Dengan lenyapnya Sumut (dengan berdirinya prop Karo, Sumtim, Protap, Tabagsel, 
Nias) tentu gaya inipun akan lenyap. Gaya Karo saya kira kebalikan dari sini. 
Karo pikir dulu baru bertindak, tetapi sering pikir terlalu ’dalam’ sehingga 
tidak ada tindakan (aksi). Takut salah? Harus pikir, tapi harus juga ada 
tindakan/aksi, karena tindakan/aksi akan selalu memperluas wawasan pikir, 
keduanya saling memperngaruhi, dan saling mengembangkan. Dari mana pikiran mau 
berkembang kalau tidak ada aksi atau kegiatan apa-apa. Dunia mengubah pikiran, 
artinya didunia tadi ada perubahan lebih dulu. Kalau dunianya itu-itu saja, . . 
. tentu pikiran juga itu-itu juga . . . statis.
  Enda ka sitik renungan holiday 
   
  Bujur ras mejuah-juah
  MUG
   

       
---------------------------------
Går det långsamt? Skaffa dig en snabbare bredbandsuppkoppling.
Sök och jämför hos Yahoo! Shopping.

Kirim email ke