Laporan Utama Tempo Edisi. 13/XXXVII/19 - 25 Mei 2008 ******* Seabad Indonesia dalam seratus karya: maklumat, peta, pidato, catatan harian, puisi, prosa, serta bukufiksi dan nonfiksi. Inilah potret sebuah negeri yang dicatat dalam sejumlah teks. Tentang susah-senang memelihara sebuah bangsa. Dengan segala kepedihan dan ketidaksempurnaannya....
JUNI 1815, Thomas Stamford Raffles pergi ke Tengger, Gunung Bromo, mencari manuskrip khazanah lokal setempat. Juni itu juga, ia mengunjungi Bali dan, dari Raja Buleleng, mendapatkan naskah Baratayuda versi Bali. Pergi ke Solo, ia dihadiahi Serat Manik Maya oleh Susuhunan Pakubuwono IV. Selama pemerintahannya yang singkat di Jawa, Raffles memburu berbagai macam babad, kesusastraan Jawa. Sejumlah bupatidi antaranya Bupati Semarang Kiai Adipati Sura Adimanggala, Panembahan Sumenep Natakusuma, dan Bupati Tegal Aria Reksanegaramembantunya. Ahli arkeologi Belanda, Mayor Hermanus Christiaan Cornelius, menyuplai informasi dan menolong Raffles menerjemahkan lontar-lontar. Di tengah kesedihan karena ditinggal mati istri dan atasannya, Lord Minto, Raffles pulang ke London dengan membawa 30 ton dokumen tentang Jawa. Dari situlah lahir dua jilid buku: The History of Java, sebuah buku babon 1.000 halaman lebih yang berisi pembahasan luas mengenai geografi, agrikultur, adat istiadat, sastra, agama, tumbuh-tumbuhan, ekonomi, dan statistik kependudukan Jawa. Itulah buku yang luar biasa. Seperti Syekh Amongraga, tokoh dalam Serat Centini, Raffles menapaktilasi reruntuhan candi-candi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, serta mendeskripsikan secara teliti suasana dan anatomi candi. Bukalah halaman tentang kunjungannya ke Candi Sewu, di Klaten, Jawa Tengah. Di hadapannya terbentang sebuah atmosfer kuno, yang menurut dia menyirap dirinya ke sebuah cita rasa arkaik yang terlupakan. Ia menatap sebuah patung penjaga, seorang raksasa gemuk, yang membawa pentungan kecil. Mulutnya bersiung. Rambutnya keriting seperti menggunakan wig. Raffles menulis, "Ekspresi wajahnya belum pernah saya temukan di India atau bagian timur lain mana pun, mukanya sangar tapi menampilkan karakter humor." Kemampuan Raffles menggabungkan data lokal dengan buku ilmiah para ilmuwan, misalnya buku Pendeta F. Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien (1724), dan buku Rumphius, Herbarium Amboinense (1741), sangat mengagumkan. Keistimewaan lain adalah betapa kitab Raffles itu dilengkapi dengan banyak gambar litografi patung yang mungkin kini sudah tak ada lagi di lokasi candi. Tapi Raffles tak berbicara tentang kepedihan Jawa. Di tangannya, Hindia Belanda adalah Hindia yang elok, permai, tanpa kelaparan. Menurut John Bastin, sejarawan yang menulis kata pengantar The History of Java, dari Herman Warner Muntingheorang Inggris yang pernah bekerja sebagai sekretaris Gubernur Jenderal Willem DaendelsRaffles banyak mendapat informasi tentang eksploitasi dan kekerasan di Jawa. Menurut sejarawan Denys Lombard (almarhum), sebagian besar buku yang dihasilkan penulis Barat tentang Nusantara saat itu berkelok-kelok di antara dua kutub yang meninabobokan: beku dalam keindahan warna-warni atau tempat mimpi romantis yang penuh nostalgia. Karena itu, dapat dimengerti mengapa publik Eropa tercengang ketika pada 1860 dari tangan Eduard Douwes Dekker muncul roman Max Havelaar. Karya itu menyajikan sebuah gambaran yang lain tentang Hindia Belanda. Dari kamar loteng sebuah hotel kecil di Brussel, tempat pelariannya setelah kariernya sebagai asisten residen Lebak hancur, anak seorang kapten kapal itu melakukan kritik yang tajam. Dengan memakai nama samaran Multatuli (artinya "aku telah banyak menderita"), ia tanpa ampun membeberkan ketidakadilan sistem tanam paksa Hindia Belanda. Di Hindia Belanda, penduduk harus menyerahkan seperlima tanahnya ke Gubernemen, untuk ditanami kopi karena kopi penting bagi pasar Eropa. Multatuli menampilkan kelicikan kepentingan Belanda tersebut lewat tokoh roman seorang makelar kopi di Amsterdam bernama Batavus Droogstoppel. Makelar kopi ini adalah lambang pemerasan.