Seumur hidupku baru kali ini aku lihat pohon cingkeru. Adanya di Padangbulan, di samping Lona. Tanah kosong yang dipasangi papan tanda akan dijual sampai hari ini belum terjual, tetapi terus ditanami dengan berbagai tanaman dari waktu ke waktu.
Sebelumnya adalah pohon jagung yang dipanen ketika sudah tua. Setelah itu, aku melihat ada tunas-tunas keluar. Aku pikir jagung juga. Beberapa waktu batang yang kukira jagung semakin tinggi. Pikirku bukan jagung tetapi rumput gajah yang biasa digunakan untuk makanan lembu. Semakin tinggi ternyata bukan rumput gajah, aku sudah tidak tahu namanya. Setiap hari aku melewatinya setiap hari aku bertanya dalam hati, batang apakah itu? Tebu juga bukan. Hari ini seorang ibu di angkot tiba-tiba berkata,"Ih..enggo galang kap cingkeruna ah ndai me. Entabeh naring akap empuna ah!" Langsung aku tersentak. Aku bertanya memastikan apakah itu cingkeru. Si Ibu langsung semangat bercerita tentang cingkeru. "Seh kel tebuna adi ban jadi tape, meketket, melam. Nai gugung ah e nge rusur jadi pangan, cimpa katandu la lit duana cimpa cingkeru," katanya. Teringat aku pada cerita nande tentang kampungnya, Naman. Katanya, dulu di Naman setiap ladang pasti punya tanaman yang menjadi bahan penganan, cimpalah, kolaklah dan lain sebagainya. Salah satunya cingkeru yang ditanam dipinggir ladang. "Singuda-nguda adi erban cimpa cingkeru nge pakena, adi engkolak jambe. Lit ka jaba, e pe banci ban jadi cimpa," kata nande. Kembali ke cingkeru masa kini. Menurut ibu yang ada di angkot cingkeru harganya mahal. Bijinya sampai puluhan ribu sekilonya. katanya lagi, beberapa orang menyarankan agar menanami ladang dengan cingkeru bukan jagung dengan alasab harga yang bagus. "Cuma kadang kita malas karena cingkeru baru bisa dipanen setelah 8 bulan, kalau jagung 4 bulan sudah dapat uang. Encage mesera maspassa," katanya. Oh, tanaman tradisional yang mulai terlupakan. Senasib dengan padi-padi lampau yang sudah jarang ditanam orang. Seorang adik di Yogya mengatakan, kalau trend petani di sana adalah kembali ke padi lampau. "Tak jaman lagi padi unggul," katanya. Memang belum ada penjelasan darinya, tapi dia janji akan mengirim tulisan tentang trend ini ke Sora Sirulo. Melihat gonjang-ganjing ekonomi saat ini terutama ekonomi petani apakah tidak menjadi pilihan untuk menanam kembali tanaman baheula yang tidak memerlukan banyak biaya dan harganya juga lumayan? Kahoa (maksudnya kopi...biar kelihatan kuta-kutanya :) ) misalnya yang harganya cukup stabil jika dibanding dengan komoditas ekspor lainnya. Oh ya, pindah lagi. Teringat aku dengan Benteng Putri Hijau. menurut penelitian para ahli antara Kerajaan Haru dan armada Portugis sudah terjadi hubungan dagang, terutama dalam soal supply bahan makanan. Dugaan mereka, makanan yang dibeli armada Portugis dari Haru adalah jaba. Kata mereka bahasa inggrisnya jaba adalah millet. Bahasa Indonesianya apa ya? Sekalian bayangkan perumpamaan Karo yang berbunyi : Bagi tjingkeru ni rambasken.........dan Petapis urat nu jaba, pesanggeh ruhi nu page. Ita Apulina (Iseng di akhir pekan sambil nyari inspirasi nulis editorial Sora Sirulo.....)