Memperebutkan Mendiknas

      
Jumat, 12 Juni 2009 | 05:35 WIB
DARMANINGTYAS
Hiruk-pikuk
kampanye calon presiden dan calon wakil presiden juga diwarnai
tarik-menarik kepentingan partai politik peserta koalisi. Peserta
koalisi pendukung capres-cawapres mulai pasang ”tarif” terkait dengan
jabatan sebagai imbalan. Salah satunya, memperebutkan jabatan menteri
pendidikan nasional.
Perebutan kursi mendiknas ini merupakan
berita menarik karena sebelumnya jabatan yang paling diperebutkan
adalah di kementerian bidang perekonomian, terutama keuangan, BUMN, dan
pertambangan. Baru kali ini jabatan mendiknas diperebutkan secara
terbuka. Atau, mungkin karena setelah reformasi menteri pendidikan
dijabat golongan tertentu terus, maka dianggap given sehingga tidak
diperebutkan secara terbuka. Baru setelah peta politik berubah,
perebutan terjadi.

Mengapa diperebutkan?
Mengapa jabatan mendiknas diperebutkan?Pertama,
tiap tahun Departemen Pendidikan Nasional mengelola sekitar 35 juta
siswa (TK sampai SMTA). Bila ditambah jumlah mahasiswa, guru, dan
dosen, sekitar 40 juta jiwa. Ini potensi massa amat besar bagi parpol
yang ingin memenangi pertarungan di masa mendatang. Sejarah
membuktikan, Orde Baru dapat bertahan lama salah satunya karena mampu
”mencuci otak” pelajar dan mahasiswa sehingga tiap lulusan tidak
terbiasa menghadapi perbedaan pendapat. Para pengurus parpol tahu
potensi itu, maka perlu direbut.
Kedua, Depdiknas memiliki
anggaran paling besar dibandingkan dengan departemen lain. Dana
pendidikan bukan hanya dari APBN, tetapi juga dari APBD dan iuran
masyarakat. Secara akumulatif, dana yang terhimpun di dunia pendidikan,
TK-perguruan tinggi, bisa mencapai Rp 200 triliun lebih per tahun dan
dapat digunakan untuk apa saja.Ketiga, menguasai Depdiknas
berarti menguasai murid, mahasiswa, guru, dosen, dana, kurikulum,
prasarana dan sarana, serta kebijakan. Semua itu dapat dipakai untuk
apa saja, termasuk indoktrinasi nilai-nilai yang sesuai dengan garis
politik penguasa. Kata Althusser, institusi pendidikan itu bagian dari
aparatus ideologi, yang mengajarkan know-how, tetapi dalam bentuk
memastikan kepatuhan terhadap ideologi yang sedang berkuasa. Dengan
demikian, tidak terelakkan kepentingan penguasa akan tersampaikan
melalui sekolah/kampus dengan segala kebijakannya. Jabatan mendiknas
itu amat strategis.
Namun, sungguh tragis sekaligus hancur bangsa
ini bila jabatan mendiknas dipegang oleh parpol/golongan tertentu
sebagai imbalan mendukung capres-cawapres. Sebab, kebijakan pendidikan
yang dibuat tidak akan terbebas dari kepentingan partai/golongan.
Padahal, pendidikan seharusnya berpihak pada semua golongan, termasuk
mereka yang tidak beragama dan tidak ikut parpol.Untuk itu,
perlu ditegaskan, siapa pun presiden terpilih, mendiknas jangan
dijadikan bagian dari dagang sapi. Presiden perlu memiliki visi bahwa
pendidikan adalah bagian dari proses integrasi sosial dan bangsa
sehingga harus dijaga netralitasnya dengan tidak menyerahkan kepada
parpol atau golongan tertentu. Terlalu besar risikonya bagi bangsa ini
bila mendiknas diserahkan kepada parpol.

Mendiknas seperti apa yang diperlukan
Pertama,
mendiknas yang mampu berpikir luas, tidak hanya melihat pendidikan dari
aspek pendanaan, tetapi juga dari perspektif filsafat manusia,
peradaban, budaya, seni, sosial, dan keutuhan bangsa. Seorang mendiknas
yang mampu membuat kebijakan yang memanusiakan manusia, menjunjung
tinggi peradaban dan budaya bangsa. Mendiknas hendaknya tidak
memenjarakan jiwa manusia dan mengarahkan kita hidup dalam satu dimensi
(teknologi informatika) belaka dengan corak budaya tunggal.Kedua,
mendiknas yang mampu memahami bahwa pendidikan bukan sekadar masalah
manajerial saja—sampai harus disertifikasi dengan ISO—tetapi bagian
dari proses kebudayaan guna menumbuhkan kepercayaan dan integritas diri
sebagai individu, warga, bangsa, dan negara. Dengan demikian,
pendidikan akan melahirkan manusia yang memiliki kepercayaan diri
tinggi untuk hidup merdeka.
Ketiga, mendiknas harus mampu
mengembalikan sekolah dan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi milik
publik, bukan membiarkan kian elitis karena hanya dapat diakses
kelompok berduit. Masyarakat miskin yang seharusnya menjadi tanggung
jawab negara terpaksa ke sekolah swasta yang biasanya harus ditanggung
sendiri. Di negara-negara normal, sekolah negeri/PTN dibuka bagi semua,
sedangkan yang mahal ada di sekolah-sekolah swasta. Konsekuensi dari
pengembalian sekolah negeri/PTN menjadi milik publik adalah
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan yang liberalistik itu harus direvisi atau dicabut.
Keempat,
mendiknas harus mampu menjadikan pendidikan sebagai bagian dari proses
integrasi sosial dan bangsa. Karena itu, berbagai kebijakan pendidikan
yang mengarah pada eksklusivisme, termasuk melalui formalisasi agama di
sekolah negeri hingga murid diketahui agamanya melalui seragam yang
dipakai, pemisahan siswa laki-perempuan dalam kelas/kegiatan, dan
menutup akses golongan minoritas ke sekolah negeri tertentu, tak boleh
dibuat. Kebijakan yang aneh-aneh itu hanya boleh dilakukan sekolah
swasta, bukan sekolah negeri. Sekolah negeri harus terbuka bagi semua
golongan tanpa membedakan agama, suku, etnis, dan ekonominya.
Kelima,
mendiknas harus bisa diajak berdialog, misalnya soal ujian nasional.
Apakah ujian nasional akan dipertahankan sebagai standar
kelulusan—meski penuh manipulasi dan kebohongan—atau sebagai pemetaan
dan standardisasi mutu yang tidak berdampak pada kelulusan dan tidak
harus dilakukan tiap tahun? Konsekuensinya, perlu revisi PP No 19/2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.Bila Anda profesor doktor
yang merasa mampu memenuhi minimal kelima persyaratan itu, silakan
mengajukan diri sebagai calon mendiknas. Tetapi, bila Anda seorang
profesor doktor yang sepaham dengan aneka kebijakan pendidikan yang
liberalistik, diskriminatif, dan eksklusif, jangan bermimpi menjadi
mendiknas karena hanya akan memerosokkan bangsa Indonesia ke jurang
kehancuran, secara ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun peradaban.
Penolakan
terhadap mendiknas dari parpol juga didasarkan pada sikap pesimisme
terhadap mereka yang tidak mungkin mampu menciptakan kebijakan
pendidikan yang netral, terbebas dari kepentingan agenda politik
internalnya. Untuk itu, dibutuhkan presiden yang sensitif terhadap
aneka persoalan kebangsaan agar tidak salah dalam memilih mendiknas.
Darmaningtyas Aktivis Pendidikan; Tinggal di Jakarta


      

Kirim email ke